Jakarta, Selular.ID – Pasca pemanggilan para operator di Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR-RI membahas tarif interkoneksi (23/8/2016), isu yang mencuat di industri selular justru semakin melebar. Komitmen para operator untuk terus membangun infrastruktur khususnya di daerah pelosok, sesuai modern licensing yang dimiliki, kembali dipertanyakan.
Seperti diketahui, saat ini meski pasar Indonesia dikerubuti banyak operator, bisa dikatakan hanya Telkomsel yang tetap konsisten membangun infrastruktur di daerah pelosok hingga perbatasan. Hingga Agustus 2016, Telkomsel mengoperasikan 627 BTS yang berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, Pilipina, Timor Leste, Australia, dan Papua Nugini.
BTS-BTS tersebut diantaranya di bangun di Pulau Sebatik, Kepulauan Natuna, Pulau Alor hingga Kepulauan Talaud. Dari 627 BTS yang berbatasan langsung dengan delapan negara tetangga tersebut, 148 di antaranya merupakan BTS 3G yang mengakomodasi kebutuhan masyarakat dalam mengakses layanan data.
Di luar BTS-BTS di daerah perbatasan, Telkomsel juga membangun sekitar 16.000 BTS yang tergolong dhuafa. Tidak layak secara ekonomis karena dibangun di daerah-daerah yang terisolir (remote area). Kehadiran BTS yang pendapatannya jauh lebih rendah dari biaya yang dikeluarkan itu, lebih bertujuan untuk membuka askes komunikasi, sekaligus mendorong tumbuhnya ekonomi masyarakat setempat.
Sayangnya langkah Telkomsel itu tak diikuti oleh operator lainnya. Kebanyakan mereka hanya fokus di daerah perkotaan, atau wilayah tertentu yang secara nilai ekonomis memang menguntungkan. Hal ini tercermin dari jumlah BTS yang dimiliki oleh masing-masing operator. Telkomsel dengan jumlah pelanggan 153,6 juta memiliki 116.000 BTS, Indosat dengan 70 juta pelanggan punya 52.300 BTS dan XL Axiata dengan 42,5 juta pelanggan mengoperasikan 66.000 BTS.
Meski timpang, tudingan malas membangun infrastuktur dibantah langsung oleh para petinggi operator. Danny Buldansyah, Wakil Direktur Utama Tri mengatakan, semua operator yang masih beroperasi hari ini pasti sudah membangun jaringan sesuai porsinya berdasarkan modern licensing masing-masing.
“Kalau tidak penuhi komitmen modern licensing, pemerintah sudah cabut izin operasi kami sekarang,” katanya.
Danny pun mengklaim pihaknya sudah memenuhi sekitar 83 persen dari total kewajiban jaringan yang harus dibangun berdasarkan izin lisensi. “Jadi, kalau dibilang tak ada itikad membangun di daerah, kami merasa keberatan,” timpalnya.
Pendapat senada juga disampaikan Alexander Rusli, Presiden Direktur Indosat Ooredoo. Ia mengatakan Indosat Ooredoo selalu ingin berkompetisi dan membangun jaringan di luar Jawa. “Kami banyak membangun di luar daerah, tapi memang tidak sebanyak Telkomsel,” terangnya
Lebih lanjut Bos Indosat Ooredoo ini, meminta operator kecil diberi kesempatan meraup porsi di daerah. Salah satu caranya dengan menurunkan biaya interkoneksi sehingga operator kecil bisa mengeluarkan produk-produk yang lebih menarik.
Dian Siswarini, Direktur Utama XL Axiata, juga sepakat dengan dua rekannya. Menurutnya, sepanjang 2016, XL sudah membangun sekitar 66.000 BTS. Cakupannya sudah memenuhi 93 persen dari modern licensing yang diberikan.
“Kami menggunakan berbagai strategi untuk membangun kualitas jaringan di daerah. Tantangannya memang di jalur transportasi. Pak Merza (Smartfren) kan akan bangun jalur Palapa Ring dan itu bisa bantu kami menjangkau area pelosok,” ia menjelaskan.
Sementara itu Merza Fachys, Direktur Utama Smartfren, mengatakan, walau basis penggunanya masih kalah banyak dibanding operator lain, pihaknya tetap berkomitmen untuk terus membangun infrastuktur jaringan komunikasi.
“Komitmen kami untuk membangun bisa terlihat dari proyek Palapa Ring. Konsorsium kami membangun Palapa Ring Barat dan Timur. Kami bikin backbone-nya di daerah paling pelosok,” tuntasnya.
Penghentian Izin
Tak hanya menjadi bahan perdebatan di parlemen, belakangan polemik tentang komitmen membangun operator, juga merembet ke KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha). Lembaga yang berkantor di Jalan Juanda, Jakarta Pusat ini, mengingatkan pemerintah agar lebih tegas dalam menerapkan aturan membangun ini.
Komisioner KPPU Muhammad Nawir Messi, mengatakan bahwa XL, Indosat, dan Telkomsel berangkat pada titik waktu yang hampir sama. Sesuai lisensi nasional yang diberikan oleh pemerintah, semua tentunya terikat komitmen untuk membangun infrastruktur hingga ke pelosok.
Jika para pelaku industri ini tidak mematuhi komitmen yang disepakati, termasuk membangun jaringan infrastruktur sesuai penguasaan frekwensi yang dimiliki, maka sudah sepantasnya mereka harus dikenakan sanksi, bahkan pencabutan izin, imbuh Nawir.
Ketegasan pemerintah terhadap komitmen membangun operator memang harus terus didorong. Sesuai dengan ketentuan modern lisencing yang menjadi dasar beroperasinya operator telekomunikasi di Indonesia. Apalagi Rudiantara dalam satu kesempatan berjanji akan bertindak tegas kepada operator yang tidak menjaga komitmen modern lisencing.
“Selama ini kan operator cuma janji-janji aja, bilangnya mau ngebangun tapi nyatanya tidak. Saya sekarang akan memberi peringatan kepada operator yang tidak membangun sesuai dengan modern licensing, selama ini terjadi pembiaran,” tegas Rudiantara di sela HUT ke-22 Mastel (2/12/2015).
Rudiantara mengatakan pihaknya selalu mendorong terjadinya konsolidasi antar operator untuk mewujudkan industri yang efisien. Namun di sisi lain, komitmen modern licensing juga tak bisa dipandang sebelah mata.
Pasalnya modern licensing yang telah diatur dalam UU Telekomunikasi No. 36/1999, bertujuan mendorong tersebarnya pembangunan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi ke seluruh wilayah di Tanah Air. Ketentuan tersebut harus diikuti oleh seluruh operator yang memperoleh izin lisensi penyelenggaraan layanan seluler yang pada periode tertentu diwajibkan menggelar infrastruktur jaringan, termasuk menggelar layanan komersial, serta membayar biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi bagi operator.
Operator yang telah memiliki lisensi nasional harus berkomitmen membangun jaringan secara tertulis yang wajib dilaksanakan. Apabila tidak dilaksanakan, maka operator tersebut terancam terkena sanksi denda sampai pencabutan lisensi. Komitmen pembangunan tersebut berupa jangkauan kota (coverage), penetrasi populasi, atau kapasitas sambungan yang akan terpasang yang mengikat.
Persoalannya seperti kita ketahui, tak semua operator yang saat ini beroperasi di Indonesia mampu memenuhi penggelaran jaringan yang seragam. Baik dari sisi jumlah BTS maupun coverage sesuai lisensi yang diberikan.
Muhammad Budi Setiawan, Mantan Dirjen Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI), meyampaikan yang terjadi selama ini adalah operator berjanji untuk membangun di suatu wilayah namun karena pertimbangan bisnis dan sebagainya meminta izin untuk mengalihkan pembangunannya ke wilayah lain. Namun penggantian wilayah yang akan dibangun tersebut juga tidak terlaksana.
Jika sudah jelas aturannya, kini publik tinggal menunggu sikap pemerintah terhadap komitmen para operator dalam membangun jaringan sesuai lisensi yang telah diberikan.