Roket Panas Interkoneksi Mendarat Lagi di BPKP

Kapan jaringan 3G bakal mati?
Kapan jaringan 3G bakal mati?

Jakarta, Selular.ID – Setelah muncul banyak desakan, pada pertengahan Januari lalu, Kominfo akhirnya mengakui bahwa pihaknya telah menerima hasil verifikasi perhitungan biaya interkoneksi yang telah dikerjakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Seperti sudah diduga, verifikasi yang dilakukan BPKP mengungkapkan banyak hal yang selama ini telah ramai diperbincangkan. Namun sebatas permukaan saja.

Lembaga negara yang langsung berada di bawah presiden itu, menemukan kenyataan bahwa masing-masing operator selular memiliki kekuatan jaringan yang berbeda dengan nilai yang cukup signifikan.

Misalnya saja coverage 2G, kekuatan Telkomsel mencapai 44,64%. Bandingkan dengan Indosat Ooredoo, XL Axiata dan Tri Indonesia yang masing-masing 27,71%, 22,96% dan 4,7%.

Jomplangnya kekuatan coverage ini juga terlihat di jaringan 3G. Telkomsel 51,76%, sedangkan Indosat Ooredoo, XL Axiata dan Tri Indonesia masing-masing 15,28%, 26,98% dan 5,98%.

Sedangkan dari sisi belanja modal alias capital expenditure, Telkomsel terbesar yakni 47,45%. Indosat Ooredoo 21,2%, XL Axiata 13,56% dan Tri Indonesia 17,79%.

Mengacu kepada fakta-fakta itu, BPKP pada akhirnya merekomendasikan skema implementasi biaya interkoneksi yang lebih tepat adalah skema asimetris. Yaitu berdasarkan biaya masing-masing operator, mengingat kondisi antar operator yang belum seimbang.

Skema itu sesuai dengan aturan interkoneksi yang telah ditetapkan Pemerintah lewat PP 52/2000, khususnya Pasal 37 yang menjelaskan bahwa besaran biaya interkoneksi ditetapkan berdasarkan formula, dan penetapan formula berdasarkan biaya (cost based).

Alhasil, biaya interkoneksi lokal masing-masing operator yang ditetapkan oleh BPKP juga berbeda-beda. Telkomsel Rp246 per menit, XL Axiata Rp59 per menit, Indosat Ooredoo Rp164 per menit dan Tri Indonesia Rp103 per menit.

Perhitungan biaya interkoneksi yang dikeluarkan BPKP, jauh berbeda dengan versi Kominfo. Kementerian yang dipimpin oleh Rudiantara itu sebelumnya menetapkan tarif interkoneksi turun menjadi Rp 204. Dari sebelumnya Rp 250.

Baca juga: Kebijakan Interkoneksi Buntu Lagi?

Namun perhitungan BPKP tak terpaut jauh dengan penilaian DPR. Sebelumnya, dalam RDP Kominfo dengan DPR (7/5/2017), anggota Komisi I DPR Evita Nursanty menegaskan bahwa biaya interkoneksi adalah cost recovery.

Telkom dan Telkomsel memiliki cost recovery tinggi, yakni Rp 285, karena membangun di seluruh Indonesia hingga ke daerah-daerah terpencil.

Sedangkan cost recovery operator lain jauh di bawah Telkom Group. Sebab hanya membangun di kota-kota besar. Cost recovery Indosat adalah Rp 86, XL Rp 65, Smartfren Rp 100, dan Tri Rp 120.

“Tidak wajar operator yang sudah membangun hingga ke pelosok negeri dengan biaya besar, tarifnya disamakan dengan operator lain, yang irit bangun jaringan. Kalau bangun jaringannya sedikit, lalu ingin minta yang banyak, itu tidak fair,” tegas politisi dari PDIP ini.

Meski BPKP sudah menyodorkan perhitungan interkoneksi yang sesungguhnya sudah bersifat mengikat, namun penetapannya masih menemui jalan buntu. Dalam pertemuan yang melibatkan Badan Regulasi Telekomunikasi (BRTI) (23/2/2018), sebagian besar operator keberatan dengan hasil perhitungan BPKP. Mereka ingin langsung bertemu dengan BPKP.

Setelah BRTI dan Kominfo, kini bola berpindah ke BPKP. Sampai kapan polemik interkoneksi ini akan berujung?