Akrobat Interkoneksi Ala Rudiantara

Jakarta, Selular.ID – Kenapa jadi ribet begini? Sebelumnya nggak ada masalah interkoneksi yang berlarut-larut. Sebaiknya Menkominfo Rudiantara mencari jalan tengah yang adil untuk semua operator, agar ada kepastian dalam menjalankan bisnis.

Demikian pandangan seorang mantan Direktur Utama operator telekomunikasi di Indonesia. Saya sengaja menghubunginya untuk mencari tahu, bagaimana mekanisme penerapan tarif interkoneksi di masa-masa sebelumnya.

Menurutnya, revisi tarif interkoneksi adalah hal yang wajar. Pemerintah lewat PP 52/2000, bahkan sudah mengatur tarif interkoneksi yang disesuaikan sekali dalam dua tahun.

Dalam PP tersebut, khususnya pada Pasal 22 dan 23 jelas disebutkan bahwa kesepakatan interkoneksi antar penyelenggara jaringan telekomunikasi harus tidak saling merugikan, dan biaya interkoneksi ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil.

Selanjutnya dalam Pasal 37 dijelaskan bahwa besaran biaya interkoneksi ditetapkan berdasarkan formula, dan penetapan formula berdasarkan biaya (cost based).

Apabila ditarik satu garis lurus yang menghubungkan seluruh ketentuan tanpa kecuali, maka metode yang seharusnya ditetapkan pemerintah adalah berdasarkan biaya operator masing-masing, yang secara umum dikenal dengan istilah asimetris.

Namun dalam prakteknya, penetapan interkoneksi tak sepenuhnya bersifat asimetris, mengingat tak semua operator punya semangat membangun yang sama. Hal itu tercermin dari luas layanan atau coverage yang tak sama sama. Hal itu tentunya berdampak pada struktur biaya yang berbeda-beda.

Nah, supaya tidak deadlock, semua operator sepakat tarif baru tersebut mengacu pada biaya interkoneksi dari operator dominan. Meski sebenarnya hal itu merugikan operator dominan karena penggelaran jaringan ke seluruh wilayah Indonesia tak dihargai setimpal.

“Jadi prinsipnya pemerintah tinggal ketok palu saja, karena semua operator sudah musyarawah mufakat”, ujarnya.

Sebagai contoh di era Menkominfo Muhamad Nuh, pemerintah memutuskan menurunkan biaya interkoneksi antara operator telekomunikasi berkisar 20-40% pada 2006. Nuh menjelaskan, skema interkoneksi yang ditetapkan berdasarkan biaya (cost based) dan menjadi referensi bagi operator dalam menetapkan tarif kepada konsumen.

Penjelasan Nuh pastinya hanya formalitas belaka, karena faktanya tarif interkoneksi yang ia putuskan adalah hasil mufakat. Menggunakan pola simetris, bukan berbasis cost base. Namun tentunya Nuh tak ingin dinilai melanggar ketentuan yang sudah ada menyangkut interkoneksi.

Maju Kena Mundur Kena

Sayangnya metode yang sudah dijalankan oleh Nuh, tak dilanjutkan oleh Rudiantara. Seperti kita ketahui, dalam dua tahun terakhir, persoalan tarif interkoneksi terus menuai polemik yang tak berujung.

Terbaru adalah sikap Rudiantara yang terkesan enggan memutuskan, meski BPKP sudah menyerahkan penghitungan tarif interkoneksi terbaru kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

(Baca juga: Kominfo Belum Isyaratkan Pengumuman Hasil Perhitungan Biaya Interkoneksi)

“Buat saya, kalau tidak memberi dampak positif bagi masyarakat untuk apa dikeluarkan kebijakan. Kita maunya affordable, lebih terjangkau. Kalau nggak, kenapa dan untuk apa bikin kebijakan yang nggak memberikan dampak positif bagi masyarakat,” kilahnya.

Rudiantara menjelaskan, dirinya masih konsisten dengan pernyataan sebelumnya mengenai interkoneksi. Ke depannya, interkoneksi tidak akan menjadi isu karena masyarakat kini sudah beralih menggunakan layanan data untuk komunikasi, misalnya melalui layanan pesan instan WhatsApp.

“Kita larinya ke (layanan) data. Kalau data di WhatsApp, saya kirim bayar, yang nerima bayar juga. Jadi, apa yang interkoneksi lagi,” tambahnya.

Terlepas dari alasan tersebut, apa sebenarnya yang membuat Rudiantara tak juga menggubris penghitungan tarif interkoneksi yang sudah dibuat oleh BPKP?

Penelusuran Selular mengindikasikan, hitung-hitungan BPKP malah memperlebar gap interkoneksi antar operator. Pasalnya, ada operator yang giat membangun BTS ke seluruh wilayah Indonesia, namun ada yang hanya rajin membangun di satu pulau tertentu. Mengacu kepada hitungan BPKP yang berdasarkan cost base itu, biaya interkoneksi harus naik bukan malah turun.

Inilah yang membuat Rudiantara gamang. Perhitungan dari BPKP malah semakin keluar skenario yang sudah ia bangun. Maju kena mundur pun kena.

Kalau sudah begini, apa akrobat selanjutnya dari Rudiantara?