Beda Cara Gita Wiryawan dan Rudiantara Perangi Ponsel Ilegal

Jakarta, Selular.ID – Tak seperti biasa, kawasan perdagangan ponsel di Roxy Mas, Jakarta Barat, terlihat sepi. Alih-alih menjaring pembeli, hari itu (8/5/2013) sejumlah toko yang tersebar dari lantai satu hingga lantai lima, memilih tutup.

Tentu saja, hal ini membingungkan calon pembeli yang sudah bela-belain datang ke sana. Mimpi membawa ponsel baru dengan harga yang lebih terjangkau, terpaksa harus ditunda.
Apa pasal? Selidik punya selidik, ternyata pada hari itu Menteri Perdagangan (Mendag) Gita Wiryawan tengah melakukan sidak (inspeksi mendadak).

Jadi, ketimbang berurusan dengan pihak berwajib yang tak cuma bikin repot, tapi bisa berujung amsiong, para pedagang memilih untuk menutup toko secepatnya.

Tentu saja, tak semua penjual bisa menutup toko miliknya. Mungkin karena informasi yang datang rada telat. Mereka inilah yang terbilang apes. Apalagi sebagian didatangi langsung oleh Gita.

Baca juga: Rudiantara: IMEI dan Nomor Telepon Sejatinya Berdampingan

Beberapa pedagang terlihat gelagapan saat ditanya oleh Gita. Terlihat mereka tidak cukup siap, menjawab pertanyaan yang dilontarkan sang menteri. Meski pertanyaan yang dilontarkan Gita tidak banyak-banyak amat.

Munculnya Gita di Roxy Mas, tentu bukan kebetulan. Hal itu berkaitan dengan rumor yang menyebutkan bahwa sejumlah pusat perdagangan ponsel di Jakarta, menjajakan ponsel BM (black market).

Sebagai pusat belanja ponsel yang diklaim terbesar di Asia Tenggara, Roxy Mas bahkan disebut-sebut merupakan sentra produk BM, sebelum menyebar ke pusat-pusat perbelanjaan lainnya di Jakarta dan kota-kota lainnya.

Faktanya, dalam sidaknya itu Gita menemukan banyak kejanggalan. Dengan mata kepala sendiri, mantan bankir itu menemukan banyak smartphone dan tablet keluaran terbaru yang masuk secara ilegal ke Indonesia.

“Bukan hanya ilegal tapi diselundupkan,” kata mantan bankir itu dalam keterangan pers pasca “kunjungan” ke Roxy Mas.

Ia menemukan produk telepon pintar terbaru seperti Blackberry Z10 dan Q10 serta tablet Apple Ipad Mini yang tidak dilengkapi kartu garansi, label izin dan panduan berbahasa Indonesia. Selain itu, Gita juga menemukan beberapa produk yang dijual dengan kartu garansi palsu.

“Bahkan ada satu outlet yang memproduksi kartu garansi yang jiplakan atau duplikat. Label, kartu garansi harusnya sesuai ketentuan. Pelanggarannya cukup banyak. Ini merugikan negara, bisa sampai triliunan rupiah. Kita lihat dulu, baru beri sanksi,” tegasnya lagi.

Pasca sidak yang membukakan mata semua pihak itu, publik jelas menunggu langkah selanjutnya dari Gita Wiryawan. Hal yang sangat wajar mengingat peredaran ponsel BM sejak lama nyaris tak tersentuh aparat hukum. Mungkin karena bisnis barang gelap ditempat terang ini memang sudah menggurita dan melibatkan banyak pihak.

Ironisnya, nilai impor produk ponsel terus meroket setiap tahunnya, seiring dengan kebiasaan masyarakat Indonesia yang gemar gonta-ganti ponsel rata-rata setahun sekali.

Menurut catatan APSI (Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia) Hasan Aula, sekitar 45 hingga 50 juta ponsel terjual setiap tahunnya di Indonesia.

Jika 20% di antaranya adalah ilegal, maka jumlahnya sekitar 9 juta unit per tahun. Bila rata-rata harga ponsel itu sekitar Rp 2,5 juta, maka nilai total mencapai Rp22,5 triliun.

Akibat dari maraknya ponsel ilegal tersebut, negara kehilangan potensi pemasukan. Karena Kementerian Keuangan tidak bisa memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% + PPH 2,5% dari ponsel ilegal tersebut. Sehingga diperkirakan total pajak yang hilang sekitar Rp 2,8 triliun per tahun.

Maraknya ponsel BM jelas mengurangi penerimaan pajak. Padahal jika digenjot, PPN ponsel bisa memberi kontribusi yang signifikan bagi pendapatan negara.

Sayangnya, seperti kita ketahui karir politik Gita Wiryawan kemudian meredup, seiring gagalnya ia menjadi capres dari Partai Demokrat.

Partai besutan SBY ini juga pada akhirnya tak mampu berbuat banyak pada Pileg 2014. Kasus korupsi yang membelit sejumlah kader elitnya, membuat partai berlambang mirip mobil Mercy ini banyak kehilangan suara.

Baca juga: Rugikan Negara Triliunan Rupiah, DPR Kecam Pengedar Ponsel Ilegal

Seperti halnya menteri-menteri di era SBY, pasca lengser dari pemerintahan, keberadaan Gita kini juga tak jelas rimbanya. Ia pergi meninggalkan semangat memperbaiki tata niaga ponsel di Tanah Air.

Namun itu tak cukup dengan sekedar melakukan sidak dan tak ada tindak lanjut setelahnya. Wajar jika publik menilai, langkah yang dilakukan Gita itu hanya sekedar pencitraan semata, seperti banyak dilakukan oleh para pejabat di negeri ini.

Validasi IMEI

Meski sidak Gita tak berdampak apa-apa, upaya perbaikan tata niaga ponsel yang carut marut di Tanah Air berlanjut di era pemerintahan Presiden Jokowi.

Agar efektif, model one man show ala Gita ditinggalkan. Tiga kementerian kini bersatu padu. Masing-masing Kementerian Perindustrian, Kementerian Komunikasi dan Infromatika, dan Kementerian Perdagangan.

Ketiganya berencana mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) terkait upaya menekan peredaran ponsel ilegal (black market) melalui aturan validasi IMEI (International Mobile Equipment Identity) yang melibatkan operator selular.

Aturan menggunakan IMEI dianggap lebih efektif. Langkah pengontrolan ponsel ilegal sebelumnya melalui dokumen dan pemeriksaan secara fisik, dinilai tidak mampu mengatur beredarnya barang tersebut, sehingga menggerus pasar industri ponsel dalam negeri.

Hal itu, disebabkan masih banyak oknum-oknum yang tetap berupaya menyelundupkan ponsel ilegal ke Indonesia melalui jalur lain yang tidak dapat dijangkau oleh aparat Bea dan Cukai.

Rencananya permen tersebut, akan ditandatangani pada 17 Agustus 2019. Diharapkan implementasi dari beleid ini, dapat diberlakukan dalam enam bulan ke depan, atau Februari 2020.

Seperti halnya aturan tentang kewajiban para vendor untuk dapat memenuhi TKDN hingga 30% pada 2017, Menkominfo Rudiantara berada di baris terdepan dalam memerangi ponsel BM.

Rudiantara mengakui, aturan ponsel BM dan validasi menggunakan IMEI, yang akan dilakukan pemerintah terbilang telat.

“Kita bisa dibilang terlambat karena negara lain itu sudah melakukan jauh-jauh hari,” kata Rudiantara dalam sebuah diskusi di kantor Kemenkominfo, Jumat (2/8/2019) sore.

Soal aturan ponsel BM di Indonesia dikatakan Rudiantara memang masih panjang. Namun, hal tersebut mesti dilakukan demi mengejar ketertinggalan. Sebab peredaran ponsel BM yang tak terkendali disebut, jelas-jelas telah merugikan negara hingga triliunan rupiah.

Banyaknya ponsel BM juga mendistorsi pasar. Harga murah yang ditawarkan ponsel BM membuat produk yang dijual secara legal menjadi tidak kompetitif.

Hal ini berujung pada keengganan vendor resmi membangun pabrik di Indonesia. Untuk memenuhi ketentuan TKDN 30%, vendor-vendor asing yang beroperasi di Indonesia, sebatas melakukan perakitan produk.

Mereka meggandeng pemain-pemain EMS (Electronic Manufacture Services), seperti Sat Nusa Persada, Panggung Electronic, dan TDK.

Sikap Operator

Sejauh ini langkah tiga kementerian untuk memerangi peredaran ponsel BM melalui validasi IMEI, disambut baik banyak kalangan, termasuk operator yang notabene merupakan ujung tombak dari kebijakan ini.

Menurut Merza Fachys, Wakil Ketua ATSI, pihaknya mendukung adanya regulasi tata kelola IMEI yang bertujuan untuk menghindari kerugian negara serta perlindungan konsumen.

“Operator siap memberikan seluruh data IMEI yang aktif di jaringan. Selanjutnya operator mendukung pelaksanaan blocking layanan atas IMEI yang dinyatakan diblack list oleh pemerintah. Operator bukan pihak yang menentukan dalam mem-blacklist nomor pengguna”, beber Merza.

Meski demikian, ATSI mensyaratkan sejumlah hal. Pertama, pemerintah tetap harus meningkatkan pengendalian dan pengawasan import, perdagangan serta industri perangkat telekomunikasi selular.

Kedua, regulasi tata kelola IMEI hanya boleh menambah beban operator seluler seminimum mungkin, baik secara investasi maupun secara operasional jaringan.

Ketiga, penerapan regulasi tata kelola IMEI dimulai dengan perangkat selular baru, sekaligus memberikan amnesti kepada semua perangkat seluler eksisting.

Keempat, regulasi tata kelola IMEI harus pro pelanggan, tidak menyebabkan bad journey, dan bersifat preventif bukan corrective, sehingga tidak ada blocking setelah pengguna menikmati layanan.

Berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh ATSI, tentunya menjadi PR tersendiri bagi pemerintah. Sebagai pihak yang langsung terdampak dari kebijakan tersebut, sangat wajar jika ATSI ingin diperlakukan secara adil.

Pasalnya, upaya memerangi peredaran ponsel ilegal, sejatinya bukan domain ATSI, melainkan pemerintah dalam hal ini aparat terkait.

Selain masalah waktu pelaksanaan yang dinilai terlalu cepat, poin yang sangat penting dan dikritisi ATSI adalah biaya investasi. Merza mengungkapkan, investasi yang dikucurkan salah satu operator telekomunikasi terbesar di Indonesia untuk mempersiapkan sistem blocking dan unblocking IMEI ilegal ditaksir bisa mencapai Rp 200 miliar.

Merza mengatakan, mewakili para operator, ATSI berulang kali menjalin komunikasi dengan stakeholder lain seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan dan berdiskusi tentang detail aturan yang bakal dirilis bulan Agustus ini.

Namun, ia menyebut sampai saat ini pekerjaan untuk operator belum didefinisikan dengan bulat. Ia berharap agar pelaksanaan aturan validasi IMEI bisa berlangsung, semua stakeholder terkait segera menyepakati peraturannya.

Oleh sebab itu, Merza meminta kepada tiga kementerian itu untuk segera menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah agar aturan IMEI dapat diterapkan dengan baik.

“Kembali lagi kita harus duduk dulu menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah sehingga kita tahu sebanyak apa pekerjaan yang harus dilakukan. Dari situ kita bisa hitung berapa lama itu (blocking dan unblocking) diselesaikan dan seberapa gede duitnya sehingga baru bisa bicara tanggalnya kapan,” pungkas Merza.