Catatan Akhir 2019: Tak Ada Lagi Brand Lokal Dalam Daftar Elit Smartphone

Jakarta, Selular.ID – Seperti sudah diduga, kiprah brand-brand lokal di pasar dalam negeri semakin keteteran. Agresifitas vendor-vendor asal China terus menggerogoti market share yang sebelumnya dikuasai.

Mereka menggoda pasar lewat produk yang inovatif, teknologi terkini, serta harga yang kompetitif. Untuk mendukung ekspansi pasar, budget pemasaran dan operasional yang sangat besar juga telah disiapkan. Imbas dari penetrasi vendor-vendor China, kini tak ada lagi merek lokal dalam daftar elit.

Laporan kuartal ketiga 2019 dari lembaga riset IDC, memperlihatkan perubahan yang signifikan dalam daftar Top 5 vendor smartphone di Indonesia. Sepanjang periode Juli-September, brand-brand China semakin merangsek ke posisi puncak.

Dalam daftar terbaru, lima vendor teratas masing-masing Oppo (26,2%), Vivo (22,8%), Samsung (19,4%), Realme (12,6%), dan Xiaomi (12,5%).

Bukan hanya Samsung yang terjungkal, setelah 6,5 tahun berkuasa di pasar Indonesia, brand lokal pun terlempar. Padahal dalam periode yang sama tahun lalu, lewat Advan, vendor lokal masih cukup berjaya.

Pada Q3-2018, Samsung masih merajai dengan raihan 28%. Di posisi kedua ditempati Xiaomi dengan capaian 24%. Tiga posisi setelahnya adalah Oppo (19%), Vivo (11%) dan Advan (5%).

Advan pada periode 2017 malah punya prestasi mentereng. Brand yang memiliki pabrik di Semarang itu, tak surut bertarung dengan brand-brand China yang punya produk bagus dan budget pemasaran gila-gilaan.

Berdasarkan laporan IDC pada Q3 2017, Advan mampu menyegel posisi ketiga mengalahkan Vivo dan Xiaomi. Pada periode itu, Samsung memiliki pangsa pasar 30%, Oppo 25%, Advan 8,3%, Vivo 7,5%, dan Xiaomi 5,2%.

Dengan mengacu pada laporan IDC Q3-2019, ini adalah kali pertama brand lokal terjungkal dalam daftar top five. Advan bahkan tak mampu menahan laju pendatang baru, Realme. Padahal vendor yang sebelumnya merupakan sub brand Oppo ini baru nongol di Indonesia setahun yang lalu.

Dengan keberhasilan itu, Realme bisa disebut sebagai game changer. Bukan hanya membuat Advan terlempar dari posisi top five, Realme juga mampu membuat Xiaomi turun kelas. Dari peringkat kedua menjadi peringkat kelima.

Dalam pandangan Market Analyst IDC Indonesia, Risky Febrian, brand-brand lokal saat ini sudah sangat sulit untuk bisa bersaing dengan merek smartphone China yang beringas dan menjangkau seluruh segmen, sampai ke produk yang paling murah sekalipun.

“Produk lokal sangat sulit berkompetisi. Tadinya kan vendor lokal hanya bisa selamat di low end dan ultra low end (Rp 1-2 juta). Tapi makin ke sini makin banyak vendor global yang agresif di rentang harga ponsel tersebut. Ini membuat vendor lokal sangat sulit berkompetisi,” jelas Risky.

Selain mulai merangsek ke segmen murah meriah yang sebelumnya menjadi zona aman smartphone lokal, tawaran spesifikasi menggiurkan juga menjadi faktor merek lokal kian sulit bersaing.

Sebagaimana diketahui, merek-merek smartphone Tiongkok diketahui berani menawarkan perangkat dengan spesifikasi mumpuni di harga yang sangat terjangkau.

“Dari sisi spesifikasi pun cenderung kalah jauh dibandingkan dengan tawaran yang diberikan top vendor (merek-merek Tiongkok) ini. Ini juga membuat merek lokal tambah sulit lagi”, imbuh Risky.

Ironi Pasar

Surutnya pamor brand lokal sesungguhnya menjadi ironi. Pasalnya, saat ini pertumbuhan smartphone di Indonesia sedang bagus-bagusnya.

Lembaga survey pasar terkemuka, Canalys melaporkan bahwa Indonesia mencatat pertumbuhan tercepat dari sepuluh pasar smartphone global pada kuartal ketiga, dengan pengiriman naik hingga 29 persen tahun-ke-tahun.

Sebagai negara dengan peringkat pasar terbesar keempat di dunia, analis Canalys Matthew Xie, mengatakan Indonesia menawarkan potensi yang kuat untuk pertumbuhan karena “populasi muda yang besar” dan penetrasi smartphone yang relatif rendah.

Dalam laporan itu, Canalys menyebutkan pengiriman mencapai 11,5 juta di Q3, dengan pertumbuhan tahunan yang meningkat dibandingkan dengan kuartal kedua, ketika pengiriman naik sebesar 10 persen.

Dengan pertumbuhan yang mengesankan itu, Nicole Peng, VP of Mobility Canalys, mengatakan bahwa pasar Indonesia siap untuk memberikan “pertumbuhan yang kuat dalam 12 bulan ke depan berkat dorongan pemasaran dari vendor utama dan penyegaran produk yang cepat”.

Xie menambahkan stabilisasi rupiah terhadap dolar AS tahun ini, juga memperkuat kepercayaan investasi vendor luar negeri di Indonesia.

Dengan permintaan yang terus meningkat, menunjukkan pasar telah pulih seratus persen.

Seperti diketahui, permintaan smartphone di Indonesia, mencapai titik terendah di 2016 (pertumbuhan tahunan -3,3%) dan 2017 (pertumbuhan tahunan 0,6%), imbas diberlakukannya kebijakan TKDN sebesar 30% kepada seluruh vendor smartphone.

Setelah TKDN, Canalys menilai bahwa, aturan pemberlakuan IMEI yang baru saja diumumkan oleh pemerintah, akan menjadi tantangan selanjutnya. Vendor yang selama ini mengandalkan pasar BM, dipastikan akan langsung terdampak.

Dengan permintaan mencapai 40-50 juta unit ponsel per tahun, Canalys menyebutkan persaingan vendor smartphone, terutama di ranah online semakin memanas.

Vendor-vendor kini mempercepat mesin ekspansi di pasar online, mengingat kalangan milenial sebagai konsumen terbesar, semakin menggandrungi belanja gadget melalui pelapak-pelapak daring.

Minim Dukungan Pemerintah

Sayangnya ditengah euphoria permintaan itu, merek ponsel lokal justru kesulitan bersaing dengan vendor asing. Bisa dibilang tahun ini menjadi anti klimaks.

Padahal di era 2,5G – 3G yang merupakan era transisi dari feature phone ke smartphone (2007 – 2011), brand ponsel lokal sempat merajai pasar Indonesia.

Siapa tak kenal Nexian yang disebut-sebut sebagai ponsel sejuta umat asli Indonesia.

Popularitas Nexian bahkan mampu menyaingi Blackberry yang saat itu menjadi primadona. Pada September 2010 market share Nexian meningkat 40% dari tahun sebelumnya.

Dari jumlah market tersebut, sebanyak 80% di antaranya merupakan ponsel kelas menengah yang memiliki harga kurang dari Rp 1,5 juta.

Sayangnya, pencapaian gemilang Nexian tak berlangsung lama. Memasuki era smartphone, kiprah Nexian harus terhenti.

Pasca meredupnya Nexian, brand lokal tetap bertaji berkat kehadiran Andromax. Merek yang diusung oleh Smartfren demi menggaet pelanggan operator CDMA itu, sempat menjadi smartphone terpopuler setelah Samsung.

Merujuk laporan IDC di Q3 2013, Andromax berada di posisi kedua setelah Samsung. Pencapaian Andromax mengungguli dua vendor internasional yaitu Blackberry dan Nokia.

Sayang, seperti halnya Nexian, kiprah Andromax juga tak berumur lama. Memasuki era 4G yang dimulai pada 2015, brand ini mulai surut. Perubahan kebijakan Smartfren yang tak lagi mengandalkan penjualan handset untuk mendongkrak jumlah pelanggan, membuat Andromax tak lagi berkembang.

Meski demikian, merek-merek lokal lain tak surut bertarung dengan vendor asing. Sebut saja Evercoss, Polytron, Advan, Mito, Axioo, Asiafone, HiCore, SPC Mobile dan HiMax. Meski harus dengan cara bergerilya.

Sebelum melejitnya Advan, Evercoss bahkan pernah menjadi smartphone favorit. Laporan lembaga riset Counterpoint pada Q1-2105, menunjukkan, Samsung di posisi puncak dengan 21,2%. Evercoss nyaman di posisi kedua dengan 18,2%, disusul Microsoft (10,9%), Mito (8,5%) dan Andromax Smartfren (6,7%).

Namun peralihan dari 3G ke 4G yang menjadi titik balik kebangkitan vendor-vendor China, membuat Evercoss keteteran. Puncaknya terjadi pada Q3-2017. Tak ada lagi Evercoss dari daftar top five smartphone di Indonesia.

Tak dapat dipungkiri, nasib brand lokal kini tengah berada di persimpangan. Dengan segala keunggulan yang dimiliki, brand-brand asal China sudah menjadi penguasa pasar Indonesia.

Selaku regulator, pemerintah sepertinya lupa menyiapkan aturan tambahan untuk memberikan “proteksi” kepada vendor lokal untuk tetap bisa bertahan di tengah gempuran vendor asing.

Hingga kini tak pernah kita dengar pemerintah mendorong terbentuknya hilirisasi industri komponen yang sangat penting dalam memasok kebutuhan perangkat smartphone.

Begitupun dengan insentif fiskal yang terbilang minim. Rencana untuk membentuk asosiasi ponsel lokal, juga terbukti hanya sebatas lip service. Hal ini jelas membuat brand lokal seperti kehilangan arah.

Hal yang sangat berbeda dengan pemerintah China. Seperti diketahui, bangkit industri manufaktur China khususnya smartphone, tak lepas dari campur tangan pemerintah negeri Tirai Bambu itu.

Berbagai fasilitas diberikan, dari pengadaan tanah untuk pabrik, biaya energi yang relatif murah, akses terhadap industri jasa keuangan, keterhubungan dengan industri komponen, proteksi terhadap pasar dalam negeri, hingga insentif pajak yang sangat menarik.

Pada akhirnya, hanya dalam tempo satu dekade, China tak hanya menjadi basis pasar, namun telah menjelma menjadi basis produksi yang memasok ratusan juta unit ponsel ke seluruh dunia.

Seiring dengan implementasi 5G, vendor-vendor China juga semakin mempertegas dominasinya lewat inovasi teknologi.

Hal yang sama kini juga mulai ditiru oleh India. Lewat aturan yang mewajibkan vendor asing untuk membangun pabrik, India berusaha untuk semakin kompetitif sekaligus naik kelas.

Bukan hanya menjadi pasar namun juga menjadi pengekspor perangkat-perangkat cerdas. Hal itu sejalan dengan visi “Make in India” yang dicanangkan oleh PM Narendra Modi.

Sejauh ini kebijakan untuk membangun pabrik, menunjukkan hasil positif. Hampir semua vendor utama telah membangun pabrik di India.

Baik Samsung, Apple, Oppo, Vivo, Xiaomi, One Plus, dan lainnya telah memiliki pabrik sendiri. Beberapa merek bahkan membangun fasilitas riset dan pengembangan (R&D), yang kelak membuat India berada di baris terdepan dalam industri dan teknologi mobile, bersama dengan China.

Tentu saja kita bisa meniru langkah-langkah pemerintah China dan India yang sukses membangun dan membesarkan industri smartphone.

Terpenting adalah political will. Keberpihakan terhadap brand lokal harus diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan hanya memberikan karpet merah bagi brand global.

Jika peduli dengan nasib brand lokal, selayaknya pemerintah mengubah cara pendang dan memberikan perlindungan bagi vendor-vendor yang saat ini masih mampu bertahan.

Mumpung belum terlambat, mari kita dukung vendor lokal dan industri dalam negeri untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri.