Jakarta, Selular.ID – Dengan jumlah operator yang terbilang surplus, industri selular di Indonesia sudah mengalami perlambatan. Sejak 2010, rata-rata pertumbuhan industri per tahun hanya 9%. Padahal periode sebelumnya mampu mencetak pertumbuhan hingga 20% per tahun.
Tentu saja perlambatan ini membuat operator sesak nafas, karena peningkatan revenue tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Di sisi lain, operator harus tetap membangun dan memelihara jaringan, terutama BTS broadband yang kini dituntut oleh pengguna yang semakin haus layanan data. Dan hal itu memerlukan investasi yang tak sedikit.
Menkominfo Rudiantara mengakui, jumlah operator yang terlalu banyak membuat industri selular, seolah tak lagi prospektif. Apalagi layanan data yang seharusnya dijual mahal, sudah menjadi komoditas bahkan barang gratisan, demi meningkatkan jumlah pelanggan.
Tak heran jika operator terus-terusan terjebak dalam perang tarif yang mengancam keberlangsungan industri telekomunikasi. Tingkat harga layanan komunikasi data di Indonesia sudah sangat rendah dan jauh di bawah harga layanan sejenis di negara lain. Layanan ini dijual dengan harga di bawah biaya produksi.
Menurut Rudiantara, untuk kembali sehat operator sebaiknya segera mempercepat langkah konsolidasi. Ia ingin para petinggi operator menepis rasa gengsi, sebab konsolidasi baik dalam bentuk merger maupun akusisi adalah hal yang lumrah dalam dunia bisnis.
Semakin sedikitnya pemain di industri ini, maka akan jauh lebih sehat. Saat ini, terdapat 11 operator selular yang mengantongi izin. Dia berharap, nantinya jumlah operator menyusut drastis.
“Harapan saya ada operator yang mau konsolidasi dan nantinya tersisa tiga atau empat operator selular,” jelas pria yang akrab disapa Chief RA ini saat berbicara dalam seminar nasional bertema “Mencari Tarif Data yang Ideal” yang digelar oleh ITF (Indonesia Technology Forum), di Jakarta, (26/7/2017).
Dalam banyak kesempatan, Rudiantara memang selalu menggaungkan perlunya konsolidasi yang dapat mendorong efisiensi. Jumlah operator yang sedikit akan membuat ruang bertumbuh tetap terjaga.
Keuntungan lainnya mendorong pengelolaan spectrum menjadi lebih optimal. Operator yang sehat juga akan membuat kualitas layanan terjaga sekaligus affordable. Laba yang mereka dapat akan kembali dapat diinvestasikan, yang kelak akan menguntungkan konsumen.
Sayangnya setelah akusisi Axis oleh XL pada 2014, langkah konsolidasi antar operator selular belakangan memang jalan di tempat. Dorongan konsolidasi tak ditanggapi serius. Tak hanya operator GSM, konsolidasi yang diinginkan pemerintah untuk operator Broadband Wireless Access (BWA) yang menempati frekuensi 2,3 GHz juga tak kunjung dijalankan.
Jelas tanpa campur tangan pemerintah, langkah konsolidasi hanya sebatas wacana.
So, kita tunggu guideline yang jelas dari Rudiantara agar jumlah operator kelak benar-benar menyusut, sehingga industri selular kembali sehat.