Jakarta, Selular.ID – Gara-gara kisruh tarif interkonesi, saat ini operator telekomunikasi di Indonesia seakan terbelah, menjadi dua kubu yang beseberangan. Telkom bersama Telkomsel berada dipihak yang kontra terhadap revisi interkoneski baru. Sedangkan Indosat Ooredoo, XL, Smartfren serta Tri, ada dikubu pro penurunan tarif interkoneksi.
Menurut Muhammad Ikhsan Modjo, pengamat ekonomi Financial Report Institute, adanya pihak yang pro maupun kontra terhadap sebuah kebijakan, adalah sesuatu yang wajar.
Muhammad Ikhsan melanjutkan, interkoneksi menjadi elemen penting untuk memastikan tingkat kompetisi yang efektif dalam layanan di suatu negara. “Dan seandaikan ada operator yang menolak itu sudah lumrah,” ucapnya.
“Biasanya langkah tersebut dilakukan oleh operator yang dominan. Tapi seperti yang saya terangkan tadi, penolakan sesuatu yang wajar,” tegas pria berkacamata ini.
Iksan menerangkan, dari kacamata bisnis penurunan tarif interkoneksi sejatinya, malah membuka peluang besar bagi industri telekomunikasi. Sebab penetapan tarifnya hanya melibatkan antar pelaku bisnis.
“Ketika biaya interkoneksi turun justru menjadikan kompetisi bukan lagi terbatas persaingan kuatnya modal, tapi mendorong hadirnya inovasi produk dan jasa pelayanan kepada konsumen,” ujar Ikhsan.
Ditambahkan biaya penurunan interkoneksi berpotensi besar menurunkan churn rate karena tarif menelepon yang murah antar operator. Tapi yang lebih penting adalah menjaga pasar karena bisa terbentuk kompetisi bisnis yang sehat.
“Tingkat harga yang dibayarkan konsumen tidak serta merta merefleksikan struktur ongkos produksi provider, dengan alasan praktek monopoli dan kolatif oligopoli bahwa recovery cost suatu operator tinggi karena faktor pembangunan infrastruktur tidak sepenuhnya tepat,” imbuhnya lagi.
“Untuk itu, saya mengimbau pemerintah harus tegas dalam mengatur soal tarif interkoneksi. Agar tingkat kompetisi lebih efektif dan sehat,” tuntasnya.