Minggu, 3 Agustus 2025
Selular.ID -

Sama-sama Simetri, Apa Beda Interkoneksi 2008 dan 2016?

BACA JUGA

Uday Rayana
Uday Rayana
Editor in Chief
Menkominfo Rudiantara (Foto: Hendra/Selular.ID)
Menkominfo Rudiantara (Foto: Hendra/Selular.ID)

Jakarta, Selular.ID – Setelah molor cukup lama, pemerintah pada 2 Agustus 2016 memutuskan tarif interkoneksi yang baru. Menkominfo Rudiantara mengklaim bahwa proses perhitungan sejalan dengan payung hukum Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No : 8/2006 tentang Interkoneksi. Alhasil, biaya interkoneksi turun secara rata-rata untuk 18 skenario panggilan dari layanan selular sekitar 26%.

Rudiantara berharap dengan keluarnya perhitungan biaya interkoneksi baru akan menghasilkan efisiensi bagi pelaku usaha dan tercermin dari penawaran tarif pungut ke konsumen.

“Saya maunya efisiensi yang didapat pelaku usaha itu dirasakan oleh pelanggan,” kata Rudiantara sepekan setelah penetapan.
Meski telah ditetapkan, resistensi terhadap kebijakan baru itu, terus menuai polemik. Padahal penetapan tarif interkoneksi 2016 itu tidak berbeda dengan kebijakan yang ditempuh oleh Kemenkominfo pada 2008, yakni berbasis simetri.

Pola ini sebenarnya merugikan operator dominan karena agresifitas penggelaran jaringan ke hampir seluruh wilayah Indonesia tidak diberikan reward yang setimpal.
Seperti diketahui, dalam penetapan tarif interkoneksi, terdapat dua formula, yakni simetri dan asimetri. Dimana perbedaannya?
Asimetri berarti pembayaran tarif interkoneksi oleh operator asal ke operator tujuan adalah sebesar biaya perhitungan tarif interkoneksi operator tujuan sesuai hasil perhitungan konsultan dan persetujuan pemerintah.

Hal ini didasarkan pada perhitungan biaya investasi pembangunan yang sedang dilaksanakan operator yang menjadi tujuan. Dengan pola asimetri, tarif interkoneksi setiap operator akan berbeda beda sesuai dengan cost based masing masing operator.

Sedangkan jika menggunakan metode simetri, berarti pembayaran tarif interkoneksi oleh operator asal ke operator tujuan menggunakan satu operator referensi yang terefisien. Dengan kata lain, dengan pola simetris, biaya interkoneksi besarannya ditetapkan adalah sama untuk semua operator.

Melongok ke belakang, yakni pada 2008, berdasarkan perhitungan yang dilakukan konsultan yang ditunjuk pemerintah, yakni TriTech, Menkominfo Muhamad Nuh (saat itu), memutuskan penurunan interkoneksi secara simetri sebesar 6%.

Nah, mengapa dengan pola yang sama, tarif interkoneksi yang ditetapkan oleh Rudiantara justru menimbulkan kegaduhan? Dari penelusuran yang dilakukan Selular.ID, ternyata pangkal persoalan terletak pada proses pengambilan keputusan yang dinilai tak transparan dan tidak menggunakan prinsip keadilan (fairness). Selain juga tidak melibatkan konsultan independen yang disepakati seluruh operator.

Saat penetapan interkoneksi 2008, meski angkanya tidak signifikan, operator sudah setuju di awal dengan besaran yang akan ditetapkan. Dengan kata lain, meski tak satu suara, namun semua operator pada akhirnya bisa melakukan musyawarah mufakat. Sehingga ketika diketok palu oleh Muhamad Nuh, tak ada resistensi sedikit pun.

Kondisi yang terjadi saat ini terasa berbeda. Meski rencana perubahan tarif sudah melibatkan seluruh operator yang sudah memasukan hitung-hitungan melalui BRTI, kemudian BRTI mengajukannya kepada Menkominfo, namun Rudiantara rupanya punya skenario sendiri.

“Operator mintanya beda-beda. Ada yang 10%, ada 40%, 50%, ada macam-macam. Kita nggak mungkin ikuti salah satu, yang lain pasti nggak mau kalau kita ikuti salah satu. Jadi, Kemenkominfo bikin perhitungan sendiri”, kilahnya.

Mengacu pada pernyataan Rudiantara itu, bisa disimpulkan, penurunan tarif interkoneksi sebesar 26% merupakan jalan tengah. Padahal, sesuai dengan Permen No : 8/2006 tentang Interkoneksi, perhitungan tarif interkoneksi bukan merupakan kebijakan, namun melalui prosedur dan tahap tahap pemodelan pembangunan jaringan operator dengan menggunakan data operator. Jadi hasilnya at cost saja di sisi pemerintah. Artinya dalam keputusan penurunan tarif interkoneksi terbaru, Rudiantara bisa disebut menabrak aturan sendiri.

Saat ini, akibat tak dipenuhinya ketentuan modern lisencing, padahal semua operator punya lisensi nasional (kecuali Bolt! Internux, satu-satunya operator BWA tersisa) perbedaan coverage antar operator masih sangat tajam. Hingga triwulan pertama 2016, BTS yang sudah dioperasikan oleh operator di Indonesia baru sebanyak 249 ribu BTS. Diantaranya, 116.000 milik Telkomsel, 52.000  punya XL Axiata, dan 40.756 punya Indosat Ooredoo.

Dalam kondisi adanya coverage gap yang masih tajam itu, regulator seharusnya menerapkan kebijakan asimetris, yaitu penetapan biaya yang besarannya berbeda di antara operator. Dengan terus membangun lebih banyak, Telkomsel seharusnya memperoleh reward, sedangkan operator yang malas membangun harus ‘disemprit’ oleh regulator.

Alhasil, publik pun menunggu langkah Telkomsel, sebagai operator yang paling terdampak, yakni tergerusnya pendapatan.

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU