Jakarta, Selular.ID – Keputusan pemerintah memangkas biaya interkoneksi menjadi Rp204 dinilai tidak sah dan harus dihitung ulang.
Ridwan Effendi, sekjen Lembaga Kajian Telekomunikasi ITB menyarankan kepada Kementerian Kominfo untuk kembali membuat perhitungan ulang biaya interkoneksi.
“Interkoneksi Rp204 itu tidak sah karena tidak berdasarkan cost based. Dalam PP 52/2000 pasal 23 ayat 2 disebutkan interkoneksi ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati betsama dan adil,” jelas Ridwan.
Lebih lanjut dikatakan mantan komisioner BRTI ini, angka Rp204 ini tidak jelas metode yang digunakan untuk menghitungnya. Selain itu, dalam peraturan perundangan yang ada disebutkan bahwa pemerintah hanya menyediakan formula perhitungan interkoneksi bukan menetapkan besarannya.
“Ini kan sepertinya pemerintah mencari-cari variabel yang bisa diutak-atik sehingga ketemu angka yang diinginkannya,” ungkap Ridwan ketika ditemui di Kawasan SCBD, Jakarta.
Oleh karena Ridwan berpendapat keputusan interkoneksi ini harus dikaji lagi dan dihitung ulang berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Selain menggunakan metode perhitungan cost base seharusnya dalam penetapan biaya interkoneksi, pemerintah harus memasukan biaya pembangunan (CAPEX), unsur resiko, quality of service dan biaya operasional.
“Kominfo tidak perlu malu menghitung ulang dari pada salah ambil keputusan. Sekali salah ambil keputusan, dampaknya besar sekali buat industri,” ujarnya.
Senada dengan Ridwan, Ian Joseph Matheus Edward, Ketua Program Studi Telekomunikasi ITB, menyampaikan keputusa interkoneksi ini sangat mungkin untuk diubah mengingat keputisan ini masih bersifat surat edaran belum menjadi peraturan menteri.
“Menkominfo sepertinya ingin melihat bagaimana industri bereaksi dengan adanya keputusan ini sebelum ditetapkan menjadi peraturan menteri,” kata Ian.
Meskipun sudah menjadi peraturan menteri selama unsur transparan, disepakati bersama dan adil tidak dipenuhi, keputusan tersebut masih bisa dianulir melalui pengadilan tata usaha negeri (PTUN).
“Yang berhak mengajukan keberatan tersebut bisa siapa saja yang mempunyai legal standing, bisa operator, kelompok masyarakat atau LSM,” papar Ian.