
Jakarta, Selular.ID – Komitmen operator, yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh asing dianggap cenderung lebih mementingkan untuk meraup keuntungan ketimbang menjalankan komitmenya dalam pembangunan infrastruktur di daerah terpencil.
Hal tersebut tercermin pada saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi I DPR RI, M Danny Buldansyah, Sekjen Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) yang juga Vice President Director PT Hutchison 3 Indonesia mengakui bahwa XL dan Indosat pernah membangun di banyak tempat di Indonesia sesuai komitment pembangunan.
“Namun dengan sangat terpaksa mereka harus mematikan jaringan tersebut karena biaya yang dikeluarkan untuk menghidupi BTS tersebut tidak bisa direcover dari pendapatan yang diperoleh,”terang Danny pada saat RDPU Komisi I DPR RI.
Sedangkan, Evita Nursanty, anggota komisi I DPR RI menilai komitmen pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang dilakukan oleh Telkom dan Telkomsel jauh lebih tinggi ketimbang Indosat dan XL.
Komitmen ini dibuktikan dengan pembangunan infrastruktur, tidak hanya di daerah yang menguntungkan, tetapijuga di daerah terpencil yang secara ekonomis tidak menguntungkan.“Kita berharap komitmen yang sama juga akan diikuti oleh operator-operator lainnya,”terang Evita.
Menurut Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi dan Bisnis UGM, pernyataannya salah satu operator telekomunikasi tersebut pada RDPU bahwa selama ini para penyelenggara telekomunikasi yang mayoritas sahamnya dimiliki investor asing hanya mementingkan keuntungan finansial semata tanpa mempedulikan kepentingan masyarakat Indonesia di wilayah terpencil dan pedalaman untuk memperoleh akses sambungan telekomunikasi.
“Operator tersebut hanya mengandalkan network sharing dengan membayar biaya interkoneksi yang ditetapkan pemerintah, tanpa mau membangun jaringan di daerah terpencil,” paparnya.
Fahmy menyayangkan bahwa penetapan biaya interkoneksi justru menguntungkan bagi operator non-jaringan dan merugikan operator pemilik jaringan, sehingga menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat.
Lebih lanjut Fahmy mengatakan bahwa kebijakan penurunan biaya interkoneksi tanpa dibarengi dengan penurunan biaya percakapan, kebijakan itu sama sekali tidak akan memberikan keuntungan berarti bagi masyarakat sebagai konsumen, namun sangat menguntungkan bagi opertator non-jaringan.
“Jika kebijakkan interkoneksi ini tidak dibarengi dengan penurunan biaya telekomunikasi di masyarakat, maka kebijakan penurunan biaya interkoneksi ini sama sekali tidak menguntungkan masyarakat,”terang Fahmy.
Berdasarkan PM-09-2008 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Jasa Telekomunikasi menyebutkan bahwa biaya telekomunikasi atau tarif pungut adalah biaya elemen Jaringan (interkoneksi) ditambah Biaya aktivitas layanan retail dan profit margin.
Fahmy memperkirakan tarif interkoneksi hanya memegang porsi 15% dari total tarif yang dipungut operator dari pengguna jasa telepon. Melihat minimnya penurunan biaya interkoneksi dan porsi interkoneksi dari seluruh biaya pungut tersebut, Fahmy pesimis penurunan biaya interkoneksi ini akan berdampak langsung kepada konsumen.
“Selama operator telekomunikasi tersebut tidak efisiensi dan selalu jor-joran dalam promosinya, maka penurunan biaya interkoneksi tidak akan menguntungkan masyarakat. Penurunan itu hanya akan memperbesar keuntungan operator saja,”terang Fahmy.
Pernyataannya CEO Indosat yang menyatakan bahwa sebelum biaya interoneksi diturunkan pemerintah, Indosat sudah menurunkan biaya telekomunikasi offnett dengan tarif Rp1 permenit antar operator. Fahmy menjelaskan bahwa tarif Rp1 permenit antar operator yang dikeluarkan Indosat merupakan tarif promosi dan tidak semua pelanggan bisa menikmatinya. Justru Fahmy mencium penerapan tarif Rp 1 permenit antar operator yang dilakukan Indosat merupakan langkah predatory pricing.
Pengajar di UGM ini juga menilai kebijakan penetapan tarif secara simetris juga tidak menguntungkan bagi industri telekomunikasi. Menurut Fahmy perhitungan, tarif simetris baru bisa diberlakukan di Indonesia jika jaringan telekomunikasi ini telah mencapai di seluruh wilayah Indonesia dan quality of service yang sama.
“Jika pemerintah tetap mekasakan kebijakan interkonkesi dengan skema simetris saat ini, maka nantinya yang akan dirugikan adalah masyarakat sebagai konsumen. Operator yang selama ini rajin membangun akan mandek membangun. Ini disebabkan biaya yang diterima operator di bawah cost recovery pembangunan. Jadi yang diuntungkan adalah operator non jaringan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh asing,”terang Fahmy.
Berdasarkan data yang ada di Bursa Efek Indonesia, saat ini 65% saham Indosat dikuasai oleh Ooredoo Asia Pte. Ltd. Pemerintah Indonesia hanya memegang 14,29 %. Yang parahnya lagi di PT XL Axiata Tbk., penguasaan negara di perusahaan tersebut sama sekali tidak ada. Axiata Investments (Indonesia) Sdn. Bhd. menguasai 66,36 % saham XL Axiata.