Jakarta, Selular.ID – Pemerintah saat ini tengah menggodok perhitungan tarif interkoneksi baru untuk segera diterapkan oleh para pelaku industri selular. Menkominfo menginginkan tarif ini dapat turun secara signifikan dengan argumentasi efisiensi dan sustainabilitas industri. Perdebatan pun tak dapat dielakkan, benarkah penurunan tarif interkoneksi akan memberikan dampak positif bagi industri?
Seperti diketahui, biaya interkoneksi merupakan biaya jaringan yang dihitung pemerintah menggunakan data operasional operator. Besaran biaya interkoneksi yang sesuai dengan biaya investasi jaringan akan menjamin terjadinya cost recovery untuk digunakan operator untuk membangun jaringan secara berkelanjutan. Oleh karena itu kebijakan menkominfo dalam regulasi interkoneksi wajib diimplementasikan berdasarkan cerminan dari biaya investasi setiap operator.
Di beberapa negara di ASEAN biaya interkoneksi dihitung berdasarkan cost based, sehingga kenaikan dan penurunan biaya interkoneksi bergantung pada berbagai faktor, seperti rencana penggelaran infrastruktur operator 5 tahun ke depan diberbagai wilayah. Semakin besar penambahan infrastruktur BTS maka akan semakin besar biaya investasi yang akan diinvestasikan operator, sehingga biaya interkoneksi akan naik.
Biaya interkoneksi akan dipengaruhi oleh rencana implementasi teknologi dan perencanaan penyelenggaraan layanan operator, semakin cepat implementasi teknologi dan layanan baru, maka semakin besar biaya investasi sehingga biaya interkoneksi akan naik karena operator akan mengalami masa-masa pain period sebelum layanan tersebut dapat diterima masyarakat.
Berdasarkan perbandingan, biaya interkoneksi di Indoensia saat ini Rp 250 per menit, dimana besaran ini sangat kecil dibandingkan negara-negara di Asean, padahal jumlah BTS yang dibangun operator dan luas wilayah yang akan dibanngun oleh operator di Indonesia sangat luas, sehingga dengan perbandingan ini dapat disimpulkan operator di Indonesia lebih efisien daripada operator di ASEAN.
Penurunan biaya interkoneksi disaat seluruh operator di Indonesia masih perlu terus melakukan pembangunan untuk memperluas coverage, padahal secara benchmark biaya interkoneksi baru dimungkinkan turun apabila operator dalam 5 tahun kedepan tidak ada penambahan site-site baru, sehingga kebijakan Menkominfo ini perlu dicermati kemana arahnya, apakah memang untuk kepentingan masyarakat dan pemerintah atau untuk keuntungan pihak-pihak tertentu.
Disamping itu, biaya interkoneksi harus diperlakukan simteris disaat gap coverage jaringan setiap operator sangat besar dinilai tidak tepat karena menurut ITU dan regulator diseluruh dunia kebijakan interkoneksi bisa diterapkan simteris ketika coverage jaringan operator sudah berimbang (identik dengan biaya investasi dan biaya operasi yang sama) dan selanjutnya baru dicari operator yang paling efisien yaitu operator yang trafiknya paling besar (operator dominan), sehingga diperoleh hasil perhitungan biaya interkoneksi yang paling rendah sebagai biaya referensi seluruh operator. Operator yang memiliki biaya interkoneksi yang lebih tinggi akan terus mengefisiensikan dirinya sehingga industri akan menjadi lebih efisien.
Kebijakan Pemaksaan penerapan interkoneksi simetris pada kondisi kesenjangan coverage jaringan yang cukup besar mengakibatkan ada operator yang diuntungkan dari kebijakan ini. Kebijakan ini akan menguntungkan operator yang memiliki biaya jaringan lebih rendah karena menerima pembayaran biaya interkoneksi di atas biayanya. Selisih kelebihan pembayaran biaya interkoneksi kepada operator yang biaya jaringannya lebih rendah dapat digunakan operator tersebut untuk mensubsidi layanan lainnya, seperti tarif layanan suara on-net, SMS dan data. Hal ini tentu akan menggangu iklim kompetisi dan berpotensi munculnya perang tarif baru atau perang tarif yang lebih buruk di industri telekomunikasi seluler.
Perang tarif yang saat ini sudah menimbulkan korban berupa buruknya kinerja keuangan operator. kebijakan menkominfo ini menjadikan arah industri seluler tidak menuju arah yang lebih baik, untuk jangka pendek masyarakat akan diuntungkan dengan tarif murah tetapi untuk jangka menengah dan jangka panjang akan menyebabkan kualitas layanan semakin memburuk serta operator tidak mampu lagi untuk berinvestasi untuk menjaga kualitas, implementasi teknologi baru dan perluasan coverage jaringan.