Jakarta, Selular.ID – Mulai berlaku 1 April mendatang, revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32/2016 masih mengundang pro dan kontra di pihak-pihak terkait. Sebelumnya, para penyedia layanan transportasi online sudah menyampaikan surat pernyataan bersama dalam menanggapi kondisi yang dianggap bakal merugikan ratusan ribu mitra pengemudi.
Danang Parikesit, Dewan Pakar Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), menjelaskan kebijakan pemerintah ini mengindikasikan adanya kemajuan untuk mengelola transportasi publik meski memang tidak sesuai dengan harapan semua orang. Ia menyebut, sudah semestinya pemerintah mengatur seluruh moda angkutan umum agar tidak ada lagi gesekan antar konvensional dengan berbasis online.
Terkait salah satu poin yang menyebut pembatasan kuota kendaraan, hal ini dinilai positif untuk menjaga keseimbangan market yang diregulasi.
“Bagaimana juga masalah pokok (pembatasan) kuota ini agar tidak terjadi over-supply dan under-supply di market. Bila market access dibuka, nanti malah timbul degradasi karena regulator tidak bisa mengawasi,” tutur Danang saat dihubungi Selular.ID, Selasa (21/3/2017).
Lain halnya dengan penetapan tarif atas dan tarif bawah. Danang menilai poin ini bukan wewenang pemerintah untuk mengatur tarif transportasi online. Menurutnya, tugas pemerintah adalah mengatur poin yang bersinggungan dengan keselamatan dan kenyamanan masyarakat.
Selain itu, fokus revisi Permenhub No 32/2016 ini bukan hanya menjembatani kepentingan para operator transportasi publik saja, namun juga lebih kepada mendorong masyarakat agar beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi publik.
“Regulator harus meningkatkan kebijakan pangsa pasar baru. Yaitu bagaimana cara mendorong masyarakat yang semula menggunakan kendaraan pribadi agar mau beralih ke transportasi publik,’ ujar Danang.
Selama ini, gesekan antara taksi konvensional dengan transportasi online terjadi karena berebut konsumen. Kubu pengemudi taksi konvensional menuduh bahwa transportasi online telah merebut pelanggan mereka. Namun di sisi lain, penyedia transportasi online berdalih bahwa penumpang mereka bukan berasal dari pelanggan taksi, tapi orang yang semula membawa kendaraan pribadi.
“Pemerintah harus konsisten. Sebelumnya, harus survei dulu bagaimana kondisi bisnis masing-masing penyedia layanan transportasi. Jangan sampai pemerintah seperti memegang ekor tapi kepalanya tidak jelas kemana,” pungkas pria lulusan Transportasi Teknik di Technische Universitat Wien, Austria, tersebut.