News Media Bargaining Code: Aturan yang Wajibkan Google Bayar Kompensasi Kepada Media-media Australia

google australia

Selular.ID – Banyak negara di dunia seolah tak bisa berbuat apa-apa terhadap dominasi Google. Padahal raksasa mesin pencari itu, selama bertahun-tahun memonopoli pasar iklan digital.

Namun hal itu tidak berlaku terhadap Australia. Negara koala itu, mampu menekan pemain besar seperti Google agar mematuhi kebijakan menyangkut konten berita pada mesin pencarian.

Seperti diketahui, setelah pertikaian yang cukup panjang, Google akhirnya bersedia membayar biaya berita yang muncul di mesin pencarinya.

Melalui regulasi bertajuk NWBC (News Media Bargaining Code) yang diterbitkan Pada Februari 2021, News Corp yang merupakan jaringan media terkemuka Australia, menandatangani perjanjian tiga tahun dalam skema pembayaran dengan Google.

Perjanjian itu menyusul kesepakatan sebelumnya yang sudah lebih dulu dilakukan oleh Seven West dan Nine Entertainment. Keduanya juga merupakan raksasa media di negeri Kanguru.

Baca Juga: Bidik Google dan Big Tech Lainnya, Australia Susun Regulasi Baru Pembayaran Digital

Kesepakatan tersebut dirancang agar Google mematuhi undang-undang di Australia. Mengharuskan raksasa AS yang berbasis di Mountain View, California, membayar artikel yang muncul di mesin pencarinya.

Kesepakatan dengan media-media Australia dilakukan melalui Google News Showcase, sebuah inisiatif global di mana Google telah memberikan USD1 miliar atau sekitar Rp14,1 triliun kepada sejumlah penerbit berita lokal.

Pasca Australia, negara-negara lain seperti Selandia Baru, Uni Eropa, dan AS juga sedang mengerjakan aturan yang sama. Beberapa juga telah membuahkan hasil seperti Australia.

Pada Mei 2021, induk usaha Google, Alphabet telah menandatangani kesepakatan untuk membayar kepada lebih dari 300 penerbit di Jerman, Prancis dan empat negara Uni Eropa lainnya untuk berita mereka yang ditayangkan.

Google juga meluncurkan alat untuk memudahkan pihak lain yang ingin mendaftar. Langkah yang diumumkan secara publik pada Rabu (11/5/2021) mengikuti adopsi aturan hak cipta penting yang diberlakukan oleh Uni Eropa sejak 2018.

Beleid itu mengharuskan Google dan platform online lainnya untuk membayar musisi, pemain, penulis, penerbit berita dan jurnalis untuk menggunakan karya mereka.

Di AS sendiri, perancangan aturan ini mendapat kecaman dari Meta. Raksasa media sosial itu, mengancam mencabut semua konten berita dari platform Facebook jika aturan tersebut disahkan. Ancaman yang sama juga dilontarkan Meta saat aturan NWBC, tengah digodok Australia.

Diketahui, Texas, didukung sejumlah negara bagian AS lainnya, mengajukan gugatan terhadap Google Desember 2020.

Tuduhannya juga tidak berbeda. Meta dianggap melanggar undang-undang antimonopoli dalam cara menjalankan bisnis periklanan online dalam kasus yang tampaknya serupa dengan tuduhan Uni Eropa.

Seperti halnya Meta, Google juga melawan tuntutan hukum di Amerika Serikat dari beberapa pengiklan, saingan, dan penerbit seputar masalah yang sama.

Baca Juga: Pemerintah Bakal Pungut Pajak ke Google, Facebook hingga TikTok

Indonesia Kebut Perpres Publisher Right

Terinspirasi oleh keberhasilan Australia, Indonesia juga tengah menyusun aturan yang sama. Kementerian Kominfo diketahui bersiap mengeluarkan Perpres Publisher Right atau Hak Penerbit.

Aturan itu nantinya akan mengatur kerja sama antara beragam penyedia layanan digital seperti Google atau Meta, dengan penerbit berita.

Kerja sama ini seputar penyaluran berita. Termasuk di antaranya adalah adalah kompensasi yang harus dibayarkan oleh platform digital ketika menyalurkan dan memanfaatkan konten berita.

Seperti diketahui, platform digital seperti Facebook, Google, Bing, bahkan browser Opera juga menjadi aggregator berita, atau setidaknya punya fitur yang menayangkan berita.

Pada praktiknya, tidak ada kompensasi kepada media-media digital yang menjadi produsen berita ketika berita mereka ditayangkan.

Menurut Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo Usman Kansong, meskipun ini masih dalam tahap Perpres, tapi tetap ada sebuah rencana bahwa regulasi ini akan dijadikan sebuah Undang-undang.

“Perpres ini adalah sasaran Antara, jadi di masa depan kita akan pikirkan lahirnya satu undang-undang. Dah Perpres itu bisa ditingkatkan jadi undang undang,” kata Usman.

“Jadi memang itu sudah dipikirkan untuk menjadi undang-undang, dan perpres ini adalah bisa dikatakan cikal bakalnya, karena lebih simple, lebih cepat, dan tidak melibatkan proses politik,” tambahnya.

Baca Juga: Google Adakan Program Bangkit 2023, Ada 2.300 Lowongan Pekerjaan

Jika Perpres Publisher Right dapat diterapkan, maka Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia yang memiliki aturan tentang kewajiban platform digital global, membayar kompensasi kepada penerbit-penerbit lokal.

Namun jalan untuk ke sana tampaknya tidak mudah. Seperti di negara-negara lain, Google juga ‘melawan’. Pada 16 Febuari 2016, Google mengeluarkan pernyataan resmi.  Dengan mengharapkan regulasi yang dibuat bersifat adil dan tidak merugikan satu pihak.

Google mengatakan, selama ini telah menjadi salah satu pengantar traffic ke situs berita terbesar, baik sebagai search engine dan aggregator berita. Google berharap dapat memberi kontribusi lebih untuk ekosistem publikasi dan media di Indonesia.

“Regulasi yang terlalu mengekang atau berat sebelah dapat menghambat kemampuan perusahaan untuk menjalankan layanan secara efektif bagi semua pengguna,” ungkap keterangan tertulis Google.

“Oleh karena itu, kami ingin membagikan beberapa prinsip utama kami dalam membuat kerangka regulasi yang efektif di Indonesia.”

Regulasi ini juga diharapkan memberi kejelasan dari segi operasional, legal, maupun komersial. Google juga mengharapkan dibentuknya lembaga independen sebagai penengah antara platform digital dan media penerbit berita.

Google juga mengatakan bahwa selama ini, mereka tak menjalankan iklan di Google News atau Google Berita. Begitu juga di tab hasil pencarian bagian Berita di Google Search.

“Kami tidak menghasilkan uang dari klik pengguna pada artikel berita di hasil penelusuran dan tidak pula menjual konten publikasi berita. Pengguna membuka Google untuk mencari banyak hal, dan berita hanyalah sebagian kecil dari jenis konten yang kami sajikan,” bantah Google.

Baca Juga: Cara Negara-negara di Dunia Menghentikan Praktek Monopoli Google