Insiden Nusantara Dua: Kisah Kegagalan Satelit Indonesia Mengangkasa

Infrastruktur Digital SATRIA Raih Pernghargaan Telecom Deal of the Year

Jakarta, Selular.ID – Tak dapat dipungkiri, dibalik gurihnya pendapatan, terutama dari penyewaan transponder untuk penyiaran, komunikasi dan juga VSAT (Very Small Aperture Terminal ) yang terus meningkat, bisnis satelit sesungguhnya memiliki resiko tinggi.

Sudah banyak terjadi kasus-kasus satelit yang gagal mengangkasa milik Indonesia maupun negara-negara lain di dunia, hingga mengakibatkan kerugian jutaan dollar. Umumnya karena terbakar saat peluncuran maupun keluar pada orbitnya.

Sayangnya, insiden satelit Indonesia yang rontok saat ingin mengorbit kembali terjadi. Terbaru menimpa Satelit Nusantara Dua. Satelit yang dioperasikan oleh PT Palapa Satelit Nusa Sejahtera (PSNS) itu, gagal mengorbit beberapa saat setelah diluncurkan dari Xichang Satellite Launch Center (XLSC) di Xichang, China, pada pukul 19.46 (9/4/2020) waktu setempat.

Dalam keterangan resminya, Johanes Indri Trijatmodjo, Presiden Direktur PT PSNS, menyebutkan bahwa setelah proses lift off yang berjalan dengan baik, terjadi anomali ketika memasuki tahap pelepasan roket tingkat tiga, sehingga satelit tidak bisa mencapai orbit yang ditetapkan.

Satelit tersebut sedianya mengorbit di slot orbit 113° Bujur Timur dan akan beroperasi untuk menggantikan satelit Palapa-D milik Indosat Ooredoo. Dengan gagal mengorbitnya Nusantara Dua, maka Indosat masih harus bergantung pada Palapa-D yang diluncurkan pada pada 31 Agustus 2009 lalu.

Meski telah berusia 11 tahun, Palapa-D masih terbilang andal dalam melayani kebutuhan penyiaran dan komunikasi. Khusus untuk bisnis broadcasting, satelit itu merupakan ekosistem yang diklaim terbesar untuk layanan free to air dan layanan TV berbayar.

Di samping penggunaan internal, Palapa D juga menyewakan transpondernya untuk layanan konektivitas seperti VSAT. Namun mengingat rata-rata usia satelit 15 tahun, maka sudah waktunya bagi Indosat untuk mengganti Palapa D. Itu sebabnya, perusahaan mendirikan PPNS.

Sekedar diketahui, PPNS yang dibentuk pada pada 17 Mei 2017 merupakan perusahaan patungan antara Indosat Ooredoo dan PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN). PSN sendiri adalah perusahaan yang dibentuk oleh Adi R. Adiwoso, yang telah lama malang melintang di bisnis satelit. Tak hanya di Indonesia namun juga Asia Pasifik.

Kehadiran PSNS diyakini kedua perusahaan akan lebih mampu bersaing dengan operator-operator satelit internasional.

Di sisi lain, menurut Joy Wahyudi (Dirut Indosat saat itu), pihaknya berharap bisa meningkatkan efisiensi dalam bisnis Indosat yang semakin fokus pada selular. Meski mengoperasikan satelit, pendapatan dari bisnis itu kurang dari 2% dari total pendapatan Indosat Group.

Pasca insiden yang menimpa Satelit Nusantara Dua, PSN bersama Indosat Ooredoo dan Kementerian Kominfo mulai membahas strategi lainnya agar layanan penyiaran tetap tersedia. Namun tidak disebutkan kapan satelit pengganti Palapa D bisa tersedia.

Palapa B2 dan Palapa C1

Gagalnya Nusantara Dua mengangkasa, mengulang kisah-kisah satelit lain yang memiliki pengalaman serupa. Melongok ke belakang, ada Satelit Palapa B2 yang juga bernasib naas. Satelit Palapa ini adalah generasi ke dua buatan Boeing Satellite Development Center. Diluncurkan pada Februari 1984. Namun, gagal mencapai orbit geosynchronous karena adanya kerusakan roket.

Sattel Technologies (California) membeli satelit yang mengelilingi bumi pada orbit yang tak semestinya itu dari pihak asuransi. Kemudian membuat kontrak dengan NASA untuk mengambilnya.

Pencarian satelit B2 dimulai pada November 1984 dalam misi ruang angkasa STS-51A. Sattel juga membuat kontrak dengan Hughes Aircraft (produsen asli) dan McDonnell Douglas (penyedia layanan peluncuran) untuk memperbarui.

Kemudian, satelit ini diluncurkan kembali pada April 1990. Peluncuran tersebut sukses, sehingga berujung pada pembelian kembali oleh pemerintah Indonesia. Kemudian diiberi nama Palapa B2-R.

Satelit lain milik Indonesia yang juga tak bernasib mujur adalah Palapa C1. Satelit ini dibuat oleh perusahaan Boeing Satellite System di El Segundo, California. Diluncurkan pada 31 Januari 1996, dengan roket pendorong Atlas, dari Kennedy Space Center, Tanjung Canaveral, Florida.

Satelit Palapa C1 direncanakan memiliki masa operasi selama 7 tahun. Menggantikan Palapa B4 pada Orbit Geo Stasioner slot 113 derajat Bujur Timur. Namun, pada 24 November 1998, terjadi kegagalan pengisian baterai. Sehingga Satelit Palapa C1 dinyatakan tidak layak beroperasi.

Satelit Telkom 3

Selain Indosat yang gagal mengorbitkan Nusantara Dua, PT Telkom juga punya cerita kelam saat meluncurkan Satelit Telkom 3. Satelit yang dibawa oleh roket Proton-M, Rusia, tak mampu mencapai orbit sesaat setelah diluncurkan dari Kosmodrom Baikonur, Kazakhstan, pada Minggu (5/8/ 2012). Selain Telkom-3, Proton-M juga membawa satelit milik Rusia, Express MD2.

Badan Ruang Angkasa Rusia, Roscosmos, menjelaskan kegagalan itu disebabkan oleh kerusakan fungsi pendorong Briz-M pada roket. Sebenarnya, pembakaran mesin pendorong Briz-M bekerja sesuai jadwal. Namun, hanya menyala selama 7 menit. Padahal, untuk mendorong satelit hingga ke orbit, mesin itu harus menyala selama 18 menit.

Dengan pendorong Briz M pada roket yang tidak terdeteksi di orbit transisi, praktis kedua satelit itu tidak berhasil mencapai orbit yang diperhitungkan.

Sebelum gagal mencapai orbit, peluncuran Telkom 3 mengalami beberapa kali penundaan. Semula satelit telekomunikasi itu akan mengorbit pada pertengahan 2011. Kemudian diundur dan dijadwalkan kembali pada awal Juni 2012. Namun baru diluncurkan pada 7 Agustus 2012.

Sayangnya, setelah tiga kali mengalami penundaan, peluncuran Telkom 3 malah di luar ekpektasi. Ini adalah kali pertama Telkom gagal mengorbitkan satelit setelah berkiprah di bisnis ini pada 1976. Kegagalan itu jelas membuat Telkom menelan banyak kerugian. Tentu saja, kerugian terbesar yang dialami Telkom bukan semata finansial, tapi hilangnya kesempatan terbaik (golden opportunity), mengingat bisnis penyewaan transponder sedang naik daun.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat membutuhkan jasa satelit untuk meningkatkan kualitas jaringan komunikasi agar merata ke seluruh pelosok Nusantara. Namun kebutuhan transponder satelit yang terus meningkat ternyata tak diimbangi dengan pasokan yang mencukupi. Tercatat, dari total kebutuhan sekitar 300 transponder, hanya 132 buah yang dapat dipenuhi dari dalam negeri. Sedangkan sisanya terpaksa harus menyewa ke pihak asing.

Satelit Telkom 3S

Tak ingin larut dalam kegagalan, Telkom segera mempersiapkan peluncuran Satelit Telkom 3S yang merupakan pengganti dari Telkom 3. Satelit ini diharapkan dapat mengorbit pada pertengahan Februari 2017.

Namun ditengah persiapan peluncuran Telkom 3S, mendadak perusahaan pelat merah itu harus disibukkan dengan bermasalahnya satelit Telkom 1 pada 25 Agustus 2017. Permasalahan akibat pergeseran pointing antenna berimbas pada terganggunya layanan siaran televisi nasional hingga layanan keuangan dan pengoperasian mesin ATM.

Diketahui, satelit Telkom 1 memiliki 63 pelanggan yang termasuk swasta, pemerintah, dan para penyedia Very Small Aperture Terminal (VSAT). Dua stasiun televisi nasional, ANTV dan Net TV, terganggu siarannya. Ribuan ATM juga mengalami offline dengan rincian 4.700 ATM di BCA, 2.000 ATM Bank Mandiri, 1.500 ATM BNI, dan 300 ATM BRI. Guna mengatasi gangguan tersebut, Telkom melakukan berbagai upaya mitigasi, terutama mempercepat proses recovery.

Diantaranya melakukan migrasi layanan dan pelanggan transponder Telkom 1 ke Telkom 3s yang memiliki teknologi lebih baik, serta ke satelit lain, sebagai bentuk tanggung jawab dan memastikan layanan dari pelanggannya terus beroperasi. Telkom juga melakukan proses repointing antena ground segment dilakukan bertahap, secara bersama-sama baik dengan pelanggan maupun dengan operator penyedia layanan VSAT.

Kerja keras dan cepat Telkom pada akhirnya membuahkan hasil yang maksimal. Telkom memastikan bahwa layanan konektivitas pelangan satelit Telkom 1 telah pulih 100% pada Minggu (10/9/2018).

Keberhasilan memitigasi insiden yang menimpa satelit Telkom 1, membuat manajemen Telkom lebih bersemangat dalam mempersiapkan peluncuran Telkom 3S.

Kali ini untuk menghindari potensi kegagalan, Telkom memilih Thales Alenia Space. Perusahaan asal Prancis yang telah berkiprah selama lebih dari 40 tahun di bidang manufaktur teknologi luar angkasa itu, ditunjuk untuk mendesain, menguji, dan meluncurkan satelit Telkom 3S.

Pada akhirnya, setelah tiga tahun masa persiapan, Telkom sukses meluncurkan satelit Telkom 3S pada Selasa (14 /2 2017) pukul 18.39, waktu Guyana, Amerika Selatan atau Rabu pagi WIB, 15 Februari 2017.

Satelit dengan nilai investasi Rp 3 triliun itu diluncurkan seiring target perusahaan untuk mengurangi ketergantungan pada satelit asing. Kehadiran Telkom 3S juga secara pelan-pelan akan menggantikan Satelit Telkom 2 yang habis masa beroperasinya pada 2020.

Dari sisi bisnis, memiliki satelit bagi Telkom lebih menguntungkan ketimbang membangun jaringan kabel optik di darat untuk mengembangkan bisnis internet yang sangat dibutuhkan di era data saat ini.

Telkom 3S yang akan dipakai hingga 18 tahun ke depan bisa menjangkau seluruh Indonesia dan sebagian Asia Tenggara. Terdiri dari 24C-band transponders, 8 extended C-band transponders dan 10 Ku-band transponder. Seluruh bandwidth yang disediakan Telkom 3S dapat ditangkap merata di seluruh Indonesia dan powernya besar.

Satelit Merah Putih

Keberhasilan meluncurkan Telkom 3S semakin menambah semangat jajaran Manajemen Telkom. Di bawah komando Alex Sinaga (Dirut Telkom saat itu), Telkom kembali sukses meluncurkan Satelit Merah Putih, pada Selasa (7/8/2018) dari Cape Canaveral, Florida, AS.

Keberhasilan peluncuran ini sekaligus menandai 42 tahun kiprah Telkom dalam bisnis dan pengoperasian satelit, serta bertepatan dengan HUT ke-73 kemerdekaan Indonesia. Satelit Merah Putih memiliki kapasitas 60 active transponders, terdiri dari 24 Standard C-Band dan 12 Extended C-Band yang menjangkau Asia Tenggara serta 24 Standard C-band yang menjangkau Asia Selatan.

Satelit ini menempati slot orbit 108 derajat Bujur Timur (BT) atau di atas wilayah sekitar Selat Karimata. Kehadiran Satelit Merah Putih akan melengkapi dua satelit Telkom lainnya yang masih aktif beroperasi, yaitu Telkom 2 dan Telkom 3S.

Beroperasinya Satelit Merah Putih menambah jumlah transponder milik Telkom dari 73 menjadi 133 unit, sehingga makin memperkuat bisnis satelit TelkomGroup. Berbeda dengan satelit milik Telkom sebelumnya, Merah Putih merupakan satelit dengan kapasitas lebih besar dan jangkauan lebih luas. Selain itu, satelit ini dibangun menggunakan teknologi Fiber Optic Gyro, sehingga memiliki kestabilan lebih tinggi.