Selular.ID – Pandemi covid-19 telah berakhir. Namun residunya membuat penjualan smartphone di Indonesia menurun tajam.
Jika tahun-tahun sebelumnya, rata-rata bisa mencapai 50 juta unit, namun kini anjlok hanya sekitar 35 juta unit.
Melemahnya daya beli masyarakat, membuat siklus pergantian smartphone bertambah panjang. Meski vendor-vendor tetap rajin mengguyur pasar dengan model-model terbaru.
Kabar baiknya, pemulihan tengah terjadi meski berlangsung secara bertahap.
Laporan Counterpoint Research menunjukkan, pengiriman sepanjang Q2 2024 tumbuh 20%, dipimpin oleh model 5G yang melonjak 98% tahun-ke-tahun dan menyumbang 32% dari total pengiriman.
Pertumbuhan 5G didorong oleh segmen kelas menengah ($200 hingga $399), yang melonjak 141% hingga menyumbang 60% dari pengiriman 5G.
Laporan Counterpoint itu menunjukkan, meski permintaan pasar belum sepenuhnya normal, namun Indonesia tetap menyimpan potensi yang besar.
Menariknya, segmen premium diyakini bakal menjadi salah satu lumbung utama bagi para vendor. Sejak beberapa kuartal terakhir, perangkat dengan harga lebih tinggi dalam rentang harga di atas Rp 7 – Rp 9 juta memiliki kinerja yang lebih baik.
Riset GfK menunjukkan, daerah sekunder dan tersier, menyumbang hingga 44% penjualan smartphone berharga di atas Rp 7 juta, sepanjang semester I-2024.
Tend itu menunjukkan, konsumen kini bersedia membayar lebih mahal untuk perangkat berkualitas tinggi, sehingga dapat digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama.
Menurut Rifan Irsyandi, pakar industri telekomunikasi di GfK Indonesia, pasar smartphone Indonesia mengalami peningkatan pendapatan dibandingkan tahun sebelumnya, seiring dengan konsumen yang beralih ke model dengan harga yang lebih tinggi.
Rifan mengamati bahwa konsumen sedang melakukan upgrade untuk perangkat mereka, yang berkontribusi pada peningkatan angka penjualan secara keseluruhan.
“Kata kuncinya di sini adalah ‘upgrade’. Konsumen mencari spesifikasi yang lebih baik saat mengganti perangkat lama mereka, yang cenderung berada pada model dengan harga lebih tinggi,” kata Rivan.
Dengan permintaan yang terbilang tinggi, khususnya segmen menengah ke atas, para vendor terus berlomba memperebutkan pelanggan.
Namun surplus jumlah pemain, membuat pasar sangat kompetitif.
Kondisi hyper competition memaksa setiap pemain untuk terus berinovasi, meluncurkan varian terbaru dan terus menerus melakukan brand activation demi peningkatan pangsa pasar.
Mirip dengan lomba lari marathon, dibutuhkan stamina yang kuat untuk mengarungi kompetisi yang ketat.
Sehingga bagi brand-brand yang tidak memiliki visi jangka panjang, pasar Indonesia mungkin mirip dengan fatamorgana.
Sudah banyak brand yang bergelimpangan, karena tak kuat menahan gempuran dari para pesaing. Sebut saja Sony, Lenovo, Motorola, Coolpad, Hisense, Honor, Meizu, Blackberry, Gionee, OnePlus, dan LG.
Nasib yang sama juga menimpa brand lokal, seperti Nexian, HiMax, Mito, IMO, Andromax, Mixcon, Taxco, Evercoss dan Polytron. Semuanya sudah tumbang di telan zaman.
Tak dapat dipungkiri, siklus pergantian teknologi selular dari 3G ke 4G, dan 4G ke 5G menjadi kuburan massal, khususnya bagi brand-brand lokal.
Saat ini brand lokal tersisa hanya meninggalkan Advan. Namun untuk bisa survive, Advan mau tak mau harus putar haluan.
Brand yang didirikan pada 1998 itu, tak lagi menggarap pasar smartphone.
Padahal pada masa jayanya, Advan pernah nangkring di posisi tiga, jajaran lima besar smartphone Q4-2017 versi IDC.
Sebagai gantinya, sejak tiga tahun terakhir, Advan kembali fokus pada bisnis yang pernah digarap sebelumnya, yaitu laptop.
Persaingan di bisnis laptop, memang tidak ‘separah’ bisnis smartphone. Sehingga Advan punya peluang untuk tetap bertahan.
Selain Advan, satu brand global yang menolak untuk pesiun adalah Nokia. Brand yang pernah dijuluki sebagai ponsel sejuta umat itu, timbul tenggelam di tengah hiruk pikuk kerasnya persaingan.
Untuk bisa bertahan, sejak beberapa tahun terakhir, produksi dan penjualan merek ponsel asal Finlandia itu digawangi oleh HMD Global.
Di Indonesia sendiri, kiprah HMD Nokia kini naik turun. Mungkin karena market share yang dikuasainya tidak cukup besar.
Padahal vendor yang pernah dikuasai oleh Microsoft itu, sempat merajai pasar Indonesia sepanjang lebih dari satu dekade (1999 – 2012).
Tak tanggung-tanggung, di puncak kejayaannya, pangsa pasar Nokia mencapai lebih dari 50%.
Kini dengan persaingan yang super ketat, tak ada brand yang mampu mengulang kejayaan Nokia, dengan pangsa pasar yang begitu dominan.
Baca Juga: ZTE Bersiap Rilis Tiga Smartphone di Indonesia
Strategi Realme dan ZTE
Meski permintaan belum sepenuhnya pulih, persaingan antar vendor smartphone kini mengerucut pada beberapa merek-merek utama.
Diantaranya adalah Samsung, Oppo, Vivo, Xiaomi, dan Infinix. Di luar iPhone (Apple), merek-merek tersebut adalah langganan posisi lima besar.
Disusul merek-merek di layer kedua, seperti Realme, ZTE, Poco, Sharp, IQOO, Tecno, Asus, Nokia (HMD), dan Itel.
Diantara merek-merek itu, Realme sejatinya cukup sukses membuat gebrakan. Meski belum terlalu lama masuk ke Indonesia, vendor yang sebelumnya adalah sub brand Oppo itu, cukup lama menghuni posisi lima besar.
Namun persaingan yang ketat dan perubahan strategi, membuat Realme harus keluar dari kelompok elit itu.
Menurut Canalys, 5 vendor teratas di Indonesia pada kuartal II-2022 meliputi Samsung, Vivo, Oppo, Xiaomi dan Transsion. Padahal pada kuartal sebelumnya, nama Realme masih muncul di posisi kelima.
Meski tak lagi menghuni posisi lima besar, namun hal itu tidak menyurutkan ambisi Realme.
Vendor yang bermarkas di Shenzhen itu, menargetkan dapat masuk dalam 5 pemain teratas pasar smartphone Indonesia pada 2024 seiring dengan perubahan slogan dan strategi yang dilakukan perusahaan.
Realme juga memperluas target pasarnya pada usia muda hingga menjangkau pasar yang lebih matang.
Global Marketing Director of realme Francis Wong, mengatakan setelah mengganti slogan perusahaan ingin memberikan layanan yang makin premium kepada para pelanggan di Indonesia dengan harga yang terjangkau.
“Kami akan memberikan tingkat pengalaman yang premium dan pada titik lain juga memberikan harga yang terjangkau. Kualitas produk lebih baik, dan akan makin agresif,” kata Wong dalam konferensi virtual, Kamis (11/1/2024)
Untuk diketahui, dalam mengarungi persaingan pasar smartphone yang semakin ketat, Realme telah mengganti slogan pada awal 2024 menjadi Make it Real.
Slogan baru ini mewarisi semangat “Dare to Leap” dengan lebih berfokus pada anak muda, dan membawa manfaat yang nyata, jelas, dan dapat dirasakan secara langsung.
Dengan pertumbuhan yang cukup baik, Wong mengatakan Indonesia masuk ke dalam 3 pasar terbesar Realme secara global.
Perusahaan berkomitmen untuk memberikan yang terbaik dan mematangkan posisi perusahaan di pasar terbesar di Asia Tenggara ini.
Dengan berjuangnya kembali Realme masuk ke deretan elit, tentu saja persaingan di layer kedua menjadi semakin sengit. Semua brand berusaha meningkatkan penjualan dan memperbesar pangsa pasar.
Merek-merek challenger itu, punya mimpi untuk bisa menyodok ke posisi puncak, mengalahkan vendor-vendor yang telah bertengger kuat selama ini.
Tengok saja target yang diusung oleh ZTE. Vendor yang juga berasal dari China itu bertekad dapat menghuni posisi lima besar pasar smartphone Indonesia.
Target tersebut disampaikan langsung oleh Marketing Manager ZTE Mobile Indonesia Bernadus Agung, dalam sesi konferensi pers peluncuran ZTE Blade A55 dan Nubia Music di Jakarta (3/9/2024).
Menurut Bernadus Agung, setelah dua tahun come-back ke Indonesia, respon konsumen terhadap produk-produk yang ditawarkan ZTE terbilang sangat bagus.
Terbukti, pengapalan smartphone ZTE mengalami kenaikan hingga 284% dibandingkan pada tahun lalu di pasar domestik.
“Goals kami adalah ingin menjadi brand nomor satu di dunia dalam hal shipment product dan dalam tiga tahun kami menargetkan dapat menjadi top 5 vendor di Indonesia,” ujar Bernadus.
Untuk mencapai target tersebut, pihaknya mengusung tiga strategi.
Pertama, fokus dalam upaya penjualan produk secara online melalui e-commerce maupun offline melalui kehadiran di toko-toko fisik.
“Untuk kehadiran offline, kami menjalin kerja sama dengan dealer dan berupaya meningkatkan visibilitas produk agar tersedia di toko-toko,” kata Bernadus.
Hal ini karena ZTE Mobile melihat, banyak konsumen yang masih ingin mencari produk di toko ritel untuk merasakan langsung sebelum memutuskan membeli.
Kedua, meningkatkan kolaborasi dalam hal branding baik dengan media, influencer, maupun dengan brand lainnya.
Ketiga, ZTE membuat program yang melibatkan komunitas pengguna smartphone untuk meningkatkan loyalitas pengguna.
Menarik ditunggu, apakah target yang diusung ZTE dapat terwujud atau menemui jalan terjal.
Mengingat upaya mengalahkan vendor-vendor utama, tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Akankah terjadi perubahan di posisi 5 besar? Adakah dari ke-8 merek challenger itu yang akan masuk ke dalam posisi elit?
Tentu saja waktu yang kelak membuktikan. Mana brand yang sukses dan mana yang cuma sekedar mimpi menjadi merek smartphone teratas pilihan masyarakat.
Baca Juga: Dekoder ZTE Terbaru Berbasis AI 4K Usung Tiga Keunggulan