Selular.ID – Sejak diperkenalkan pertama kali pada November 2022, kehadiran ChatGPT telah memberikan dampak yang luar biasa. Berbondong-bondong orang terlihat antusias menggunakan ChatGPT.
Jumlah penggunanya bikin geleng-geleng. Lembaga riset asal Amerika Serikat, UBS, menyebutkan setidaknya hingga akhir Januari 2023, ChatGPT telah digunakan oleh lebih dari 100 juta orang di dunia.
Angkanya diyakini akan terus naik seiring dengan kian meningkatnya kemutakhiran fitur dan teknologi berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang dikembangkan.
Merespon popularitas OpenAI besutan Microsoft itu, raksasa teknologi lainnya tak tinggal diam. Google misalnya, menyiapkan Bard untuk membendung popularitas ChatGPT.
Miliarder Elon Musk mulai membangun AI yang disebut sebagai TruthGPT. Kepada Fox News, dilansir Kamis (20/4), Musk yang juga CEO Tesla dan Space X, ingin chatbot AI miliknya menjadi “AI pencari kebenaran maksimum yang mencoba memahami sifat alam semesta”.
Pada 25 April 2023, perusahaan teknologi asal Rusia, Sber, meluncurkan platform kecerdasan populer mereka bernama, GigaChat.
Pimpinan Sber, German Gref, menyebut peluncuran ini merupakan terobosan bagi dunia teknologi Rusia yang sangatlah luas.
Aplikasi GigaChat ini mampu melakukan percakapan, menulis pesan, menanggapi pertanyaan faktual, menulis kode, hingga membuat gambar dari deskripsi.
Tak hanya Amerika Serikat dan Rusia, perusahaan-perusahaan China juga tak ingin tercecer dari persaingan. Huawei dan Baidu misalnya, telah memproduksi chip AI mereka sendiri.
Baca Juga: Bantuan Artificial Intelligence Tingkatkan Inklusi Perbankan di Indonesia
Teknologi AI itu akan digunakan untuk berbagai aplikasi seperti pengolahan data, pengenalan wajah, dan analisis bahasa. Baidu, pada Maret lalu juga telah meluncurkan pesaing ChatGPT yang disebut ErnieBot.
Tak dapat dipungkiri, pesatnya teknologi AI, telah memicu perlombaan untuk mengintegrasikan AI ke dalam lebih banyak produk. Wajar jika investor bertaruh pada perusahaan mana yang diprediksi akan unggul di masa depan.
Meski diyakini akan menjadi bagian dari peradaban baru, namun hingga kini polemik atas kehadiran AI masih menjadi topik hangat. Pasalnya, sebagai orang percaya, dibalik kelebihan yang ditawarkan, AI juga bisa menjadi ancaman untuk manusia.
Merespon pro kontra teknologi AI, sejumlah negara sudah mulai cawe-cawe. Perkembangan pesat AI telah menarik perhatian para pembuat kebijakan dan badan regulasi di berbagai negara.
Pada April lalu, para anggota parlemen Eropa meminta para pemimpin negara-negara di benua ini untuk mengadakan pertemuan dalam rangka mencari cara mengendalikan perkembangan kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT, karena berkembang lebih pesat dari perkiraan.
Selain Uni Eropa, sikap yang sama ditempuh Inggris. Negeri monarki tertua di dunia itu, meluncurkan pandangan awal terhadap AI untuk memeriksa dampaknya terhadap konsumen, bisnis, dan ekonomi. Hal itu dipicu karena kekhawatiran terus meningkat tentang perkembangan pesat teknologi tersebut.
Dalam sebuah pernyataan resmi, Otoritas Persaingan dan Pasar (CMA) Inggris, mencatat bahwa pemerintah telah menginstruksikan regulator untuk melihat bagaimana pengembangan dan penerapan AI dapat didukung berdasarkan lima prinsip. Yaitu keselamatan, transparansi, keadilan, akuntabilitas dan tata kelola, serta kontestabilitas dan ganti rugi.
Pihak berwenang akan meninjau model dasar termasuk bahasa besar dan AI generatif, yang telah menjadi sorotan melalui popularitas arus utama ChatGPT, yang dikembangkan oleh OpenAI dan didukung oleh raksasa teknologi Microsoft.
CMA menjelaskan tinjauan awal akan memeriksa bagaimana pasar kompetitif untuk model dasar dan penggunaannya dapat berkembang, mengeksplorasi peluang dan risiko yang dapat diciptakan oleh skenario ini untuk persaingan dan perlindungan konsumen, dan menghasilkan prinsip panduan.
Sarah Cardell, CEO CMA, mencatat AI “telah menjadi perhatian publik selama beberapa bulan terakhir”, tetapi telah berada di radarnya selama beberapa waktu.
“Sangat penting bahwa manfaat potensial dari teknologi transformatif ini mudah diakses oleh bisnis dan konsumen Inggris sementara orang-orang tetap terlindungi dari isu-isu seperti informasi yang salah atau menyesatkan,” tambahnya.
Untuk berkontribusi dalam peninjauan, CMA mencari pandangan dari para pemangku kepentingan hingga 2 Juni dan kemudian akan menerbitkan laporan pada September mendatang.
Italia Larang ChatGPT Karena Alasan Penggunaan Data Pribadi
Pandangan pemerintah Inggris terhadap AI muncul saat pengawasan seputar AI generatif meningkat secara signifikan dalam beberapa pekan terakhir saja.
Geoffrey Hinton, pelopor teknologi yang bekerja di Google selama lebih dari satu dekade, keluar dari perusahaan karena kekhawatiran tentang seberapa cepat AI generatif memasuki ruang publik.
Mundurnya Hinton dari raksasa mesin pencari itu, diikuti oleh berita bahwa CEO Microsoft, Google, dan OpenAI telah dipanggil untuk bertemu dengan pemerintah AS, Kamis (4/5) untuk membahas peran mereka dalam memastikan penggunaan AI yang bertanggung jawab.
Jika Inggris masih mencari bersikap “wait and see”, negara lain nyatanya sudah bersikap tegas. Tengok saja langkah yang dilakukan Italia. Negeri asal sphagetti itu, memaksa Microsoft untuk menghentikan operasi ChatGPT pada akhir Maret lalu.
Keputusan tersebut diambil setelah badan perlindungan data negara itu, Garante, membatasi pemrosesan data pribadi ChatGPT. Badan pengawasan Italia itu juga menyelidiki dugaan pelanggaran aturan privasi oleh ChatGPT.
Italia adalah negara Eropa pertama yang menindak ChatGPT. Otoritas perlindungan data itu meminta OpenAI untuk tidak memproses data warga Italia, demi mendukung layanan yang bisa menjawab berbagai pertanyaan pengguna menggunakan kecerdasan buatan itu.
Menurut Garante, OpenAI dikhawatirkan telah melanggar aturan Perlindungan Data di Uni Eropa. Mereka mengatakan, tidak ada dasar hukum terkait pengumpulan data massal OpenAI untuk melatih model ChatGPT.
OpenAI mengatakan telah memenuhi serangkaian persyaratan yang diminta oleh Garante, pada tenggat waktu 30 April, jika mau larangan terhadap ChatGPT itu dicabut.
Baca Juga: Berbahayakah Penggunaan Artificial Intelligence (AI) Jika Terus Diadopsi?