Chief menyebutkan bahwa jumlah operator yang terlalu banyak membuat alokasi menjadi frekuensi terbatas, sehingga berdampak pada kualitas layanan kepada pelanggan. Ketujuh operator yang saat itu beroperasi adalah Telkomsel, Indosat, XL Axiata, Hutchinson Tri, Telkom, Smartfren, dan Esia.
Surplus operator juga membuat ruang pertumbuhan menjadi sempit. Operator bahkan pernah terjebak pada perang tarif. Puncaknya terjadi pada 2018, di mana industri selular untuk pertama kalinya tumbuh minus sebesar 6,4%.
Baca Juga: Pengembangan Smart City Kominfo Kini Jangkau Destinasi Pariwisata Super Prioritas
Rudiantara menyebutkan bahwa konsolidasi menjadi keniscayaan, karena sesuai nature-nya, bisnis telekomunikasi tidak memerlukan banyak pemain, sehingga potensi ruang bertumbuh tetap terbuka.
Di sisi lain, economic of scale sangat diperlukan karena bisnis ini memerlukan investasi besar, terutama di sisi kapital.
“Pemerintah mendorong operator telekomunikasi berkonsolidasi, karena membutuhkan skala ekonomi yang lebih besar. Dengan economic of scale yang meningkat, perusahaan telekomunikasi akan memiliki bargaining power yang lebih kuat kepada mitra vendor,” pungkas Chief RA.
Upaya Rudiantara tak sia-sia. Meski tak terwujud di masa jabatannya, merger operator selular pada akhirnya kembali terjadi pada awal 2022. Memberi harapan agar industri selular kembali sehat. Sehingga dapat kembali menguntungkan perusahaan. Ujung-ujungnya dapat meningkatkan kualitas layanan kepada konsumen.
Baca Juga: Kominfo: 9 dari 43 Insiden Perlindungan Data Pribadi Rampung Ditangani