Jakarta, Selular.ID – Gerakan #DeleteUber kembali berkobar setelah kasus pelecehan mantan karyawati Uber mengemuka ke publik. Sebelum ini, seruan #DeleteUber di Twitter cukup memanas karena layanan pemesanan kendaraan online ini diduga pro-kebijakan Presiden Amerika terpilih ke-45 Donald Trump yang menentang imigran dari negara Muslim. Ditambah, Travis Kalanick, CEO Uber, turut bergabung dengan dewan penasihat ekonomi di pemerintahan Trump makin mengundang kemarahan warga Aemerika, khususnya. Buntutnya, sebanyak 200.000 akun Uber telah dihapus para penggunanya meski Kalanick sendiri telah lengser dari jajaran kepresidenan Trump.
Dalam 24 jam terakhir, #DeleteUber gelombang kedua telah dikirim oleh lebih dari 1.000 pengguna Twitter dengan 1.388 posting. Bila berlanjut kondisi ini berpotensi mendulang 30.124.190 tayangan, menurut Keyhole. Itu lebih banyak 5 juta tayangan dibandingkan akhir pekan tanggal 27 Januari, ketika hashtag pertama mulai muncul. Situasi yang dialami Uber ini tak ayal menyebabkan kekacauan di tubuh internal. Bahkan lebih buruk daripada #deleteuber pekan lalu.
Agar kampanye hapus Uber tak menyebar seperti bulan lalu, Uber segera bertindak membenahi manajemen internalnya. Kalanick langsung menyuruh para staf-nya untuk segera melakukan investigasi mendalam untuk menyelesaikan masalah ini. Bos Uber itu menginstruksikan Liane Hornsey, Kepala HRD, untuk melakukan investigasi darurat atas dugaan ini.
Heboh kasus pelecehan seksual di manajemen Uber ini merebak setelah mantan karyawatinya bernama Susan Fowler menulis curhatannya di blog pribadi. Fowler mengaku bahwa manajernya pernah mengirim pesan yang berisi ajakan untuk melakukan hubungan seksual dengannya. Setelah mengadu ke ke bagian sumber daya manusia di Uber, bukannya mendapat simpatik, Ia malah diberitahu bahwa manajernya tidak akan dihukum karena statusnya sebagai pejabat tinggi di perusahaan.
Nama Uber di belantika industri pemesanan taksi memang jauh dari kabar baik. Uber disebut-sebut sebagai perusahaan paling dibenci di Silicon Valley, sebagai salah satu startup yang kerap melanggar hukum, memanipulasi pasar, mengabaikan tuduhan pelecehan, dan secara aktif memutuskan kerja bagi driver yang mencoba berjuang untuk penghasilan yang lebih baik.