
Jakarta, Selular.ID – Atas undangan Smartfren Telecom, pada 12-14 Agustus 2015, bersama sejumlah rekan media saya berkesempatan mengunjungi kantor pusat ZTE di Shenzen, China. Undangan ini berkaitan dengan kerjasama yang terjalin diantara kedua perusahaan, khususnya terkait dengan implementasi teknologi LTE Advance yang mampu menggabungkan dua frekuensi sekaligus, yakni 900 Mhz dan 2.300 Mhz. Penggunaan teknologi hybrid ini digadang-gadang akan menjadi keunggulan layanan 4G Smartfren dibandingkan kompetitor.
Ditemani dua pentolan Smarfren, Roberto Saputra (Direktur Marketing) dan Munir Syahda Prabowo (VP Network), rombongan diterima oleh David An (CTO ZTE Asia Pasific), Dai Shu (Global Spokesman of ZTE) dan Waiman Lam (Senior Direcor of Technology and Partnership ZTE).
Menurut Dai Shu, Di Shenzhen, selain gedung kantor pusat, di areal seluas lebih dari dua kilometer persegi, ZTE membangun sentra logistik, pusat data, riset dan pengembangan pusat pendidikan, juga perumahan bagi karyawan.
Seperti umumnya media trip, agenda utama adalah penjelasan apa dan bagaimana kiprah ZTE, sejak awal didirikan, prestasi yang telah diraih dan proyek-proyek yang akan dikembangkan. Lewat seorang pemandu, selama kurang lebih 45 menit, kami disuguhi presentasi pencapaian ZTE di ranah global dan line up produk atau layanan terkini yang ditawarkan mereka.

Seperti teknologi pre-5G Massive MIMO yang pernah didemontrasikan di WMC Barcelona 2015, smartphone Axon yang menjadi flagship produk ZTE di kelas premium, teknologi wireless charging berbasis cloud untuk mobil listrik, dan tentu saja mengunjungi museum ZTE yang merekam sejarah panjang perusahaan di akhir rangkaian acara.
Pihak Smartfren, seperti yang dituturkan oleh Munir Syahda Prabowo, mengaku terkesan dengan lompatan teknologi yang dikembangkan oleh ZTE. Terutama teknologi Massive MIMO yang akan membuat pengembangan jaringan menjadi lebih efisien, namun dengan kecepatan akses yang lebih baik dibandingkan 4G.
Di sisi lain, CTO ZTE David An mengatakan bahwa pihaknya beserta rekan kerja mereka, Smartfren, akan membawa teknologi pre-5G Massive MIMO ke Tanah Air tahun depan.
“Kita akan membawa experience teknologi pre-5G Massive MIMO di jaringan Smartfren, yang merupakan teknologi terkini milik kami yang akan di bawa ke Indonesia,” ujar David.
David menjelaskan, pre-5G pada dasarnya bukanlah penerapan dari teknologi 5G secara utuh, melainkan peningkatan dari teknologi 4G LTE dengan tujuan memberikan pengalaman akses internet cepat layaknya 5G kepada pengguna.
“Namun kecepatannya bisa mencapai 4-6 Kali lipat dari 4G,” imbuh David.
Dengan mengunjungi langsung kantor pusat ZTE di Shenzen, saya menilai tak salah jika Smarfren memilih ZTE sebagai salah satu vendor jaringan. Pasalnya, meski masih berusia relatif muda, ZTE telah mampu merangsek ke papan atas vendor telekomunikasi global. Padahal seperti kita ketahui, perusahaan asal Amerika Serikat dan Eropa telah lama bercokol dan mendominasi, seolah tidak memberi celah kepada pemain baru.
Namun, lingkaran hegemoni itu tumbang seiring dengan rontoknya ikon ponsel asal Finlandia, Nokia pada 2009. Nasib tragis Nokia, mengulang apa yang terjadi pada dua raksasa lainnya, Siemens dan Motorola.
Lima Core Business

Bagi sebagian orang, brand ZTE mungkin agak simpang siur, mengingat produknya tak hanya jaringan namun juga handset dan solusi mobile cerdas lainnya. Memang ZTE tidak masuk dalam lima besar vendor smartphone dunia, kalah dengan Samsung. Sebagai vendor jaringan, ZTE juga masih kalah pamor dengan nama-nama besar seperti Ericsson dan Nokia Network.
Namun prestasi yang diraih oleh perusahaan yang didirikan pada 1985 ini bisa dibilang fenomenal. Pasalnya, perusahaan yang awalnya bernama Zhongqing Semiconductor Co. Ltd itu, mampu menjaga mesin pertumbuhan yang dihasilkan dari berbagai core business yang sebagian justru sudah ditinggalkan oleh para pesaingnya.
Malah, tumbuhnya beragam layanan berbasis internet memberikan peluang bagi ZTE menawarkan solusi end to end. Hingga kini, perusahaan yang beralamat di Hitech Road South 55, Shenzen itu, punya lima core business, yaitu wireless, wireline, pelayanan (riset dan pengembangan), jaringan inti (core network) dan terminal/handset. Dengan lima core business itu, boleh dibilang ZTE kini menjelma menjadi satu dari sedikit perusahaan penyedia rangkaian lengkap produk jaringan selular. Mulai dari GSM, CDMA, WiMAX, TD-SCDMA, TD-LTE dan FDD-LTE.

Khusus di industri jaringan inti, saya cukup terperangah dengan melejitnya ZTE. Karena hanya butuh tiga dekade untuk menyalip posisi pemain-pemain yang sudah mapan. Padahal, pada periode pertama perusahaan didirikan, yakni 1985-1995, ZTE masih dibilang ‘anak bawang’. Saat itu, teknologi 2G yang dikembangkan operator GSM dan CDMA, masih dikuasai oleh nama-nama besar seperti Ericsson, Siemens, Alcatel dan AT&T. Disini posisi ZTE masih belajar dari para pemain tersebut, namun sudah mulai pasang kuda-kuda.
Memasuki era 2,5G, yakni periode 1996-2005, ZTE mulai menancapkan pengaruhnya. Apalagi di periode yang sama, vendor seperti Siemens juga mulai menyerah dan bergabung dengan Nokia Network. Begitu pun Alcatel yang merger dengan Lucent. Momentum ini mulai dimanfaatkan ZTE untuk mulai memperluas pasar ke sejumlah negara di dunia.
Periode ketiga yakni 2006 – 2015, bisa disebut sebagai permulaan masa keemasan. Berkembangnya teknologi 3G dan 4G pada periode ini, memberi kesempatan ZTE untuk berlari lebih cepat. Harga yang lebih terjangkau dan solusi teknologi end-to-end, tak kalah dengan pemain besar seperti Ericsson, membuat pamor ZTE terus meroket. Alhasil, ZTE pun panen proyek 3G dan LTE di berbagai negara, termasuk Eropa yang sebelumnya tak mudah ditaklukkan. Khusus untuk 4G, ZTE telah menggenggam kontrak komersial dengan 100 operator di seluruh dunia, termasuk dengan Smartfren Telecom dan Telkomsel di Indonesia.
Dengan fondasi yang kuat, tak salah jika pada periode keempat (2016 – 2024), kinerja ZTE dipastikan semakin mengilap karena teknologi 5G yang sudah mulai dikembangkan. ZTE juga sudah menguji coba teknologi tersebut dengan operator-operator di China.
Di negerinya, ZTE menjalin kerjasama dengan tiga operator besar yang ada, yakni China Mobile, China Telecom, dan China Unicom. Sementara di ranah global, ZTE bermitra dengan banyak operator besar, seperti France Telecom, Vodafone, Telstra, Telefonica dan lainnya.
Hingga semester kedua 2015, ZTE sudah menapaki bisnis di 140 negara. Tak kurang 500 operator dilayani, membuat perusahaan ini harus menyerap banyak tenaga kerja. Kini total jumlah karyawan ZTE mencapai 70.000 orang, dengan lebih dari 10.000 karyawan berada di luar China. Komposisinya sebanyak 65% merupakan tenaga kerja asli dari negara bersangkutan. Dengan sederet prestasi itu, David mengklaim jika saat ini, ZTE adalah vendor jaringan terbesar kelima di dunia.
Ekspansi ke berbagai belahan dunia membuat kinerja keuangan ZTE semakin kinclong. Laba bersih sepanjang 2014 meningkat menjadi RMB 2,63 milyar (US $ 423.5 juta). Pendapatan dasar per saham naik menjadi RMB 0,77, sementara total pendapatan naik sebesar 8,3% menjadi RMB 81.47 milyar. Laba ZTE meningkat sebesar 94% dari laba tahun 2013, sebesar RMB 1,36 milyar.
Kesimpulannya hanya perlu tiga dekade, ZTE mampu menyulap diri menjadi perusahaan yang semakin disegani. Bersama dengan saudaranya Huawei, keberhasilan ZTE itu sekaligus mempertegas keajaiban perusahaan-perusahaan China yang belakangan semakin meraksasa dan mengambil peran penting di pasar global.
Telkom Vs Viettel

Melihat kemegahan kantor pusat ZTE di Shenzen dan menyaksikan secara langsung beragam inovasi teknologi yang berhasil dikembangkan, membuat ingatan saya tertuju ke PT Telkom. Entah mengapa, pikiran saya jadi terbersit dan langsung membandingkan kinerja ZTE dengan Telkom. Mungkin karena sama-sama berstatus BUMN. Memang core business dua perusahaan ini berbeda. Meski demikian keduanya masih dalam ranah telekomunikasi yang kini sudah convergent dengan layanan TIK lainnya.
Jika melihat Telkom, publik di Indonesia tetap angkat topi. Dari sisi kinerja keuangan Telkom masih membanggakan. Tengok saja sepanjang 2014, emiten pelat merah ini mencatatkan laba bersih Rp 14,64 triliun. Meski angka itu tumbuh tipis 3 persen dibandingkan laba bersih 2013 senilai Rp 14,21 triliun.
Di lantai bursa, Telkom mencatat nilai kapitalisasi pasar (market capitalization) menembus angka Rp 300,4 triliun mengalahkan Astra International. Ini berarti, saham Telkom terus menjadi buruan investor.
Selain terus memperluas infrastruktur ke seluruh Indonesia melalui Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) yang membantang dari dari Aceh hingga Papua, Telkom juga tidak ingin disebut hanya jadi jago kandang, Telkom terus berupaya memperluas operasi usaha ke berbagai negara. Bos Telkom Alex J. Sinaga optimistis, ke depan dapat merambah tidak hanya di 10 negara, tetapi bisa masuk ke negara-negara lainnya.
Meski kinerja Telkom meningkat ditengah kondisi makro ekonomi yang belum kondusif, tetap saja membandingkan Telkom dengan ZTE, seperti bumi dan langit. Dari skala bisnis dan cakupan operasi Telkom bukan apa-apanya ZTE. Padahal, dari sisi usia, Telkom jauh lebih tua. Jika mengacu pada era setelah kemerdekaan, Telkom dibangun pada 1961, saat status Jawatan diubah menjadi Perusahaan Negara Pos dan Telekomunikasi (PN Postel).
Mungkin membandingkan ZTE dengan Telkom kejauhan. Taruhlah dengan sesama operator di kawasan Asia Tenggara. Misalnya dengan dengan Viettel. Sayangnya, lagi-lagi Telkom harus mengakui keunggulan Viettel. Padahal, dua dekade lalu, operator Vietnam ini masih dibilang bau kencur.
Faktanya, Viettel yang dijalankan oleh militer Vietnam ini, punya catatan yang impresif dengan pendapatan meningkat 20% menjadi VND 197 triliun sepanjang 2014. Laba sebelum pajak naik 15% menjadi VND 42 triliun.
Meski merupakan operator terbesar kedua dibawah Vinaphone, Viettel bisa dibilang paling agresif. Operator yang berencana untuk memperluas operasi ke 30 sampai 35 negara. Perluasan pasar ini merupakan upaya menjadikan Viettel sebagai salah satu dari 10 operator terbesar di dunia dalam waktu lima tahun ke depan.
Viettel saat ini didukung sekitar 75.000 karyawan di Vietnam dan 15.000 di luar negeri. Pendapatan dari operasi di luar negeri meningkat 25% menjadi US$ 1,2 miliar tahun lalu. Hal ini berkat investasi di sembilan negara di Asia dan Afrika.
Pada Desember 2014, Viettel global mengumumkan rencana investasi senilai US$ 800 juta demi memperluas operasi di Myanmar. Viettel, yang berpartisipasi dalam lelang bersama dengan 10 investor asing lainnya terpilih, untuk masuk ke Myanmar yang penetrasi selularnya baru sekitar 11 persen. Eksekutif Viettel optimis, investasi itu dapat kembali meningkatkan pendapatan perusahaan sebesar 20% dan keuntungan 15% di akhir 2015.

Keberhasilan ZTE dan (belakangan) Viettel selayaknya menjadi pelecut bagi Telkom agar mampu bersaing di level dunia. Di jaman pemerintahan SBY, Telkom malah punya tiga tugas yang langsung diinstruksikan oleh Presiden SBY. Yakni harus masuk ke dalam jajaran Fortune 500, menjadi emiten dengan predikat blue chips, dan membangun infrastruktur broadband dari Sabang hingga Merauke.
Dua program terakhir sudah dibuktikan Telkom. Namun, untuk target pertama Telkom masih harus bekerja lebih keras agar mampu masuk dalam deretan Fortune 500, seperti yang pernah dibuktikan Pertamina pada masa kepemimpinan Karen Agustiawan. Ditangan Alex J. Sinaga, tentu menjadi impian bersama bahwa suatu saat Telkom bisa menjadi salah satu pemain yang disegani di tingkat global.
Namun, mengingat nasib BUMN di Indonesia yang tak pernah bisa steril dari intervensi politik dan kepentingan sesaat, rasanya kita harus realistis. Jika tak ada perubahan mendasar dalam pengelolaan BUMN, terutama dalam hal urusan politik, mungkin hanya mimpi menjadikan Telkom sejajar dengan perusahaan-perusahaan besar seperti ZTE.