Jakarta, Selular.ID – Nama Sudhamek AWS tentu sudah tak asing lagi. Publik mengenalnya sebagai pengusaha yang sukses membesarkan Garuda Food. Meski telah lama lengser dari posisi CEO, tak dapat dipungkiri,  tangan dinginnya telah menghantarkan Garuda Food telah menjadi salah satu ikon grup bisnis Indonesia, khususnya industri FMCG (fast moving consumer goods). Berawal hanya dari kacang, grup asal Rembang ini, sekarang telah memiliki puluhan line up produk di berbagai katagori, termasuk biskuit, jelly, minuman ringan dan lainnya.
Selain pioneer di berbagai katagori makanan, Garuda Food tak surut bertempur dengan produk-produk lain di pasar yang sudah penuh sesak. Menawarkan nilai tambah (added value),  produk besutan Garuda Food diklaim mempunyai keunggulan dan keunikan tersendiri dibandingkan para pesaingnya, sehingga meskipun follower, namun dengan cepat diserap pasar.

Nilai tambah suatu produk memang penjadi faktor yang sangat penting di mata Sudhamek. Menurutnya, bisnis itu bukan hanya aktivitas menjual barang dan jasa, akan tetapi juga bagaimana sebuah produk mampu memberikan nilai lebih, dibandingkan produk yang dimiliki oleh kompetitor. Terutama di sisi kualitas, layanan, harga dan ketersediaan barang.

Jika kita telesik, peta persaingan produk-produk FMCG dengan industri selular khususnya handset terbilang mirip. Surplus jumlah pemain dan kompetitif. Sistem open market, dimana tak ada cantolan sama sekali dengan operator untuk kerjasama jangka panjang, membuat pemain tak bisa surut langkah demi memperebutkan market share. Berjibunnya pemain tentu membingungkan konsumen. Alhasil, tak ada jaminan sebuah brand dapat memperbesar pangsa pasar, meski telah jor-joran berpromosi.

Kini memasuki era data, keberadaan smartphone mulai mendominasi kebutuhan pengguna. Peralihan dari feature phone itu dengan sendirinya mengubah peta pasar. Pemain yang sebelumnya mendomiasi pasar malah belakangan terjungkal, seperti terjadi pada kasus Nokia. Vendor asal Kanada, Blackberry yang sempat berjaya juga tak mampu mempertahankan posisinya . Di sisi lain, merek-merek baru terus bermunculan dan mulai menjadi pilihan konsumen. Suka tak suka, vendor dari dataran Tiongkok dan Taiwan mulai menginvasi Indonesia. Oppo, Huawei, Asus, Lenovo, Vivo, Xiaomi, One Plus, Cool Pad, Infinix dan lainnya sudah menancapkan diri dan terus berupaya memperkokoh posisi.  Mereka menggoda pasar lewat produk yang inovatif, teknologi terkini, serta harga yang kompetitif. Agresifitas itu sekaligus menekan posisi Samsung sebagai market leader. Membuat peta pasar berubah dengan cepat.

Tengok saja Laporan terbaru bertajuk Quarterly Mobile Phone Tracker yang dikeluarkan firma riset terkemuka International Data Corporation (IDC), menunjukkan bahwa pengiriman produk smartphone di Indonesia pada kuartal pertama 2016, mencapai 6,5 juta unit.  Angka tersebut menunjukkan peningkatan sebesar 2,7% dari tahun sebelumnya (YoY), namun mengalami penurunan 22.2% dari kuartal ke kuartal (QoQ).

Samsung tetap bertahan di posisi teratas namun vendor asal China dan Taiwan terus mengejar. Samsung menguasai 33% pangsa pasar, berkat promosi besar, penawaran cash back, dan juga program bundling dengan operator untuk seri Galaxy J.

Namun posisi Samsung sebagai penguasa pasar tak membuatnya aman. Pasalnya, vendor-vendor asal China dan Taiwan terus membuntuti dengan ketat. IDC mengungkapkan, pangsa pasar smartphone asal China semakin meluas, yakni mencapai 23% pada kuartal pertama 2016. Meningkat 2% dibandingkan kuartal sebelumnya dan 12% pada tahun lalu. Untuk pertama kali pada kuartal pertama tahun ini, produk asal China dan Taiwan lebih besar dibandingkan smartphone buatan lokal. Tiga pemain yakni Asus, Oppo dan Lenovo, semakin diminati masyarakat.

Tercatat lima besar vendor teratas di Indonesia adalah, Samsung (dengan pertumbuhan YoY 16%), Oppo (tumbuh 187%), Asus (tumbuh 24%), Advan (mengalami penurunan pengiriman 12%), dan Evercoss (mengalami penurunan 15%).

Meski Asus dan Lenovo terbilang agresif, namun menurut IDC, Oppo masih menjadi produsen asal China terbesar di Indonesia. Insentif yang menarik bagi pengecer, dibarengi dengan kampanye pemasaran yang massif untuk memperkenalkan produk baru, seperti seri Oppo F1, cukup diminati masyarakat. Tak tanggung-tanggung untuk memperkenalkan produk ini, Oppo menggandeng public figure, yakni penyanyi Isyana Sarasvati dan pebalap F1 Rio Haryanto sebagai brand ambassador. Hasilnya terbilang memuaskan. Oppo kini menjadi penantang terkuat Samsung.

Mampu menembus posisi tiga besar bagi Oppo jelas merupakan pencapaian fenomenal. Pasalnya, kiprah brand asal Tiongkok ini belum terlalu lama di Indonesia. Positioning yang tepat sebagai camera phone merupakan nilai lebih yang ditawarkan kepada pengguna. Sejak awal kemunculannya, Oppo memang konsisten dalam mengeksplorasi fitur kamera sebagai kekuatan dalam bersaing dengan brand lain.

Tengok saja seri  Oppo Mirror 5 dan Oppo R7 Lite yang diluncurkan pada Agustus 2015. Dengan desain premium dan harga yang lebih terjangkau dibandingkan produk kompetitor,  dua produk Oppo itu menawarkan keanggunan desain eksterior, kamera berkualitas tinggi, spesifikasi canggih, namun dalam harga yang lebih kompetitif.

Sukses dengan Oppo Mirror 5 dan Oppo R7 Lite, Oppo kemudian menyihir masyarakat Indonesia dengan memperkenalkan lini baru F1 pada Februari 2016. Varian ini seperti yang disinggung di atas, terbukti langsung diminati masyarakat.

Untuk mempertahankan momentum tersebut, kini Oppo bersiap melanjutkan generasi baru selfie expert, F1s. Tak tanggung-tanggung. Oppo F1s kabarnya akan membawa upgrade di sisi kamera depan dan fitur yang dibawa. Mengandalkan besaran kamera selfie paling besar di lini smartphone saat ini, 16MP, Oppo juga diperkirakan akan membawa fitur tambahan yang berhubungan dengan mempercantik wajah terbaru yang menawarkan hasil lebih natural.

Dijadwalkan rilis global pada 3 Agustus, smartphone terbaru dari Oppi itu diperkirakan akan dijual pada kisaran Rp 3-4 jutaan dan dipastikan rilis di Indonesia pada awal Agustus mendatang.

Agresifitas Oppo Jelas, meski menunjukkan bahwa pasar Indonesia menyimpan potensi besar. Meski demikian tak mudah meraih market share secara signifikan. Ketatnya kompetisi di pasar smartphone memaksa setiap pemain untuk terus berinovasi, meluncurkan varian terbaru dan terus menerus melakukan brand activation. Tengok saja Samsung yang perlu waktu hingga 18 tahun untuk bisa naik menjadi market leader.

“Teruslah bergerak, dan kau akan memenangkan persaingan!”. Demikian pesan Sudhamek saat memotivasi karyawannya. Kompetisi memang menuntut para pelaku bisnis untuk terus bergerak.  Saat perusahaan memutuskan untuk berkompetisi, maka program pemasaran dan penjualan tak boleh berhenti, sejalan dengan program riset dan pengembangan yang menjadi jantung perusahaan. Alhasil, boleh diibaratkan bisnis itu adalah sebuah balap sepeda motor. Bukan pertandingan tinju.

Artinya, starting point dalam segala tindakan adalah bersumber pada diri sendiri dan bukan faktor-faktor eksternal. Betul bahwa business environment, utamanya pesaing, memang harus sangat diperhatikan. Tapi mereka bukanlah pangkal tolak dari semua tindakan. Pada akhirnya nilai lebih yang ditawarkan sebuah brand itulah yang dapat menjadi pembeda di pasar, sekaligus pilihan bagi konsumen. Dan Oppo telah membuktikan hal itu.