Selular.id – Meski ponsel lipat (foldable) terus dipromosikan sebagai masa depan smartphone, kenyataannya perangkat flagship biasa masih menjadi pilihan utama konsumen yang mengutamakan keandalan.
Samsung, Huawei, Xiaomi, Oppo, dan Honor memang gencar meluncurkan inovasi foldable, tetapi mayoritas pengguna lebih memilih smartphone konvensional karena alasan ketahanan, performa konsisten, dan pengalaman penggunaan yang lebih sederhana.
Berdasarkan pengalaman pengguna jangka panjang, ponsel lipat masih menghadirkan sejumlah tantangan signifikan. Model book-style seperti Galaxy Z Fold 7, Honor Magic V5, atau Xiaomi Mix Fold 4 memerlukan perawatan ekstra karena desainnya yang lebih tebal, rentan terhadap kerusakan, dan berpotensi mengalami degradasi engsel seiring waktu.
Layar dalam, meski menggunakan ultrathin glass, tetap rentan terhadap tekanan, debu, dan perubahan suhu.
Ketahanan menjadi faktor pembeda utama. Jatuhkan iPhone 16 Pro atau Pixel 10 Pro XL, dan peluang selamatnya masih cukup tinggi dengan bantuan casing. Sebaliknya, menjatuhkan ponsel lipat bisa berakibat fatal.
Bahkan model flip, yang sering dipasarkan sebagai aksesori gaya hidup, tidak sepenuhnya kebal. Crease (garis lipatan) masih terlihat, keausan engsel tetap menjadi masalah, dan meski ketahanan air sudah ditingkatkan oleh Samsung dan Motorola, ancaman debu masih nyata.
Selain itu, ada beban emosional yang menyertai kepemilikan perangkat foldable.
Pengguna harus terus-menerus khawatir akan merusak perangkat senilai Rp20 jutaan yang bisa dilipat. Kekhawatiran ini sering kali mengurangi kenikmatan menggunakan teknologi mutakhir.
Kompromi yang Tidak Bisa Diabaikan
Foldable terdengar seperti bisa melakukan segalanya, tetapi pada kenyataannya, banyak kompromi yang harus diterima.
Baterai pada model flip umumnya lebih buruk dibanding smartphone biasa karena keterbatasan ruang. Kamera juga seringkali berada satu tingkat di bawah rekan flagship konvensional.
Meski lini Fold Samsung sudah meningkatkan kemampuan imaging, konsistensinya masih belum menyamai S25 Ultra atau iPhone 16 Pro Max.
Xiaomi Mix Fold 4 memang dilengkapi hardware kuat, tetapi pemrosesan gambarnya masih kalah dari Xiaomi 15 Ultra.
Optimasi aplikasi juga menjadi persoalan. Meski sudah bertahun-tahun dijanjikan, sebagian besar aplikasi Android masih belum beradaptasi baik dengan kanvas foldable.
Pengguna masih menemui letterboxing, masalah scaling, dan transisi yang tidak mulus saat beralih antara mode terlipat dan terbuka.
Smartphone biasa tidak meminta aplikasi untuk memikirkan ulang tata letak hanya agar berfungsi normal.
Baca Juga:
Keandalan sebagai Keunggulan Utama
Smartphone biasa mungkin tidak lagi terlihat mentereng, tetapi justru itulah kekuatan mereka.
Perangkat seperti iPhone 16 series, Pixel 10 Pro XL, Galaxy S25 series, dan Xiaomi 15 Ultra mewakili penyempurnaan lebih dari satu dekade pengembangan.
Pengguna tahu persis apa yang didapat: kamera tingkat atas, performa cepat, baterai tahan lama, dan pengalaman software yang tidak membuat ragu.
Mereka lebih mudah masuk ke saku, kompatibel dengan berbagai casing yang tersedia di pasaran, dan tidak mengharuskan pengguna mempelajari cara memegang atau menggunakannya kembali.
Tidak ada kekhawatiran tentang berapa kali lipatan yang bisa ditahan sebelum crease semakin parah.
Dalam hal ini, beberapa brand bahkan memastikan fokus mereka pada smartphone flagship biasa karena permintaan pasar yang masih tinggi.
Faktor keren yang ditawarkan foldable juga cenderung cepat memudar. Sensasi baru saat pertama kali membuka atau menutup ponsel lipat memang memicu dopamine, tetapi setelah beberapa minggu, hal itu menghilang.
Crease mulai mengganggu dengan pantulan cahaya, perangkat terasa berat, dan pengguna kembali menggunakan layar luar untuk segala hal.
Pada akhirnya, banyak yang bertanya-tanya mengapa harus membayar lebih untuk foldable jika smartphone lama sudah melakukan 95 persen fungsi dengan lebih baik.
Perkembangan chipset juga mendukung keunggulan flagship biasa. Chipset MediaTek Dimensity 9400e untuk smartphone flagship yang baru diumumkan, misalnya, dirancang untuk menawarkan performa maksimal pada desain konvensional tanpa kompromi ruang seperti pada perangkat lipat.
Meski foldable terus berevolusi menjadi lebih tipis, tahan lama, dan teroptimasi dengan baik, bagi banyak konsumen, pilihan yang lebih aman dan masuk akal adalah tetap menggunakan flagship biasa.
Di dunia di mana smartphone menjadi lebih penting dari sebelumnya, stabilitas bukanlah hal yang membosankan—justru sangat dihargai. Flagship biasa menghadirkan stabilitas tersebut dengan sangat baik, sebagaimana terlihat dalam review Sharp Aquos R8s Pro yang menunjukkan ketangguhan smartphone flagship Jepang.
Dengan demikian, meskipun inovasi foldable patut diapresiasi, smartphone flagship biasa masih memegang peran penting dalam pasar dan tetap menjadi pilihan utama bagi mereka yang mengutamakan keandalan dan pengalaman pengguna yang mulus.