Kinerja Industri Perbankan Meroket Saat Operator Selular Masih Tersengal-sengal

Kinerja Perbankan

Selular.ID – Mengakses berbagai layanan perbankan melalui aplikasi digital kini semakin dikenal luas di tengah masyarakat.

Semua itu berkat massifnya pembangunan jaringan internet berbasis pita lebar (broadband),  baik fixed maupun mobile (4G/LTE).

Tak hanya di kota-kota besar, pembangunan jaringan internet, terutama 4G kini semakin meluas ke pelosok Indonesia. Termasuk di daerah-daerah 3T (Terdepan, Tertinggal, Terluar).

Hasilnya terbilang ampuh. Kinerja bank-bank semakin terkerek naik. Tengok saja pencapaian BRI. Bank terbesar di Indonesia itu, mencatatkan laba bersih sebesar Rp 51,40 triliun sepanjang 2022.

Perolehan laba itu merupakan rekor baru, karena meningkat 67,15% secara tahunan. Laba yang signifikan ditopang dua faktor utama, yakni efisiensi kinerja dan transformasi digital.

Tercatat fee based income BRI di 2022 menyentuh Rp 18,85 triliun, tumbuh 10,16% secara tahunan. Hal itu merupakan buah dari transformasi digital yang aktif dilakukan perusahaan sejak beberapa tahun terakhir.

Seperti halnya BRI, pencapaian BCA sepanjang 2022 juga terbilang moncer. Bank swasta terbesar di Indonesia itu, sukses menggelembungkan pendapatan dari layanan mobile banking pada 2022.

Tercatat nilai transaksi mobile banking BCA naik 34,9% secara tahunan (YoY) menjadi Rp 5,4 triliun. Begitu pun pendapatan BCA dari internet banking tumbuh 15,6% YoY menjadi Rp 17,4 triliun.

Baca Juga: Harga Saham BBCA Pasca Mobile Banking Bermasalah, Turun 1 Persen

Artinya, dari kedua kanal ini, BCA mencatatkan nilai transaksi mencapai Rp 22,9 triliun di akhir 2022. Capaian tersebut, membuat BCA merajai nilai transaksi digital banking di Tanah Air.

Kontribusi besar dari layanan mobile banking dan internet banking, sukses menggelembungkan laba BCA.  Tercatat BCA, beserta entitas anak mampu membukukan laba bersih sebesar Rp 40,7 triliun pada 2022.

Capaian tersebut meningkat 29,6% dibanding tahun sebelumnya (YoY), sekaligus menjadi rekor tertinggi dalam lima tahun terakhir.

Demi memperkuat posisi, BCA terus menambahkan sejumlah fitur untuk meningkatkan kenyamanan bertransaksi, di antaranya transfer valas, inquiry kartu kredit, top up kartu flazz, hingga login dengan teknologi biometrik.

BCA juga diketahui, tengah menyiapkan aplikasi myBCA sebagai aplikasi pelayanan terintegrasi BCA di masa depan.

Seperti halnya BCA, kinerja Bank Mandiri juga terkerek naik, gegara layanan perbankan digital. Melalui platform Livin untuk segmen ritel dan Kopra bagi nasabah korporasi, bank BUMN terbesar kedua itu mencatat pertumbuhan yang apik.

Nilai transaksi Livin naik 48,4% yoy menembus Rp 2,4 triliun. Kopra juga sukses meningkatkan nilai transaksi 22% yoy menjadi Rp 18,5 triliun. Secara total, nilai transaksi digital banking dari kedua platform Bank Mandiri itu mencapai Rp 21 triliun.

Dengan pertumbuhan yang sangat baik, Bank Mandiri mencatatkan laba sebesar 41,2 triliun pada 2022. Capaian ini naik 46% dibanding tahun sebelumnya.

Adapun pendapatan non bunga Livin dan Kopra masing-masing menyumbang pertumbuhan sebesar 13,11% YoY dan 10% YoY.

Layaknya BCA, Bank Mandiri menambahkan fitur Livin yang semakin lengkap dan semakin memudahkan nasabah dalam transaksi perbankan dan memberikan program promo lebih menarik lagi di 2023.

Bank Mandiri juga akan terus berupaya mengembangkan fitur Livin untuk menciptakan digital ecosystem baru. Berbagai strategi itu diharapkan dapat meningkatkan engagement nasabah ke Livin sehingga transaksi ke depan akan terus meningkat.

Kinerja mentereng tak hanya dinikmati bank-bank papan atas, bank kelas menengah juga tengah menikmati pertumbuhan.

CIMB Niaga misalnya, mampu menggamit laba bersih Rp 5,04 triliun pada 2022. Laba anak perusahaan CIMB Malaysia itu, tumbuh 22,96% dibandingkan dengan periode 2021.

Meroketnya laba CIMB Niaga terutama ditopang oleh layanan digital banking yang dimilikinya, OCTO Mobile. Sebagai pelopor digital banking di Indonesia CIMB Niaga, antusiasme pengguna memanfaatkan OCTO Mobile terus meningkat.

Per 30 September 2022, aplikasi OCTO Mobile telah memiliki 2,8 juta pengguna aktif. Transaksi yang dilakukan nasabah melalui OCTO Mobile juga terus meningkat, mencapai 139 juta transaksi, tumbuh sebesar 87,2% Year on Year (YoY).

Baca Juga: Pendapatan BCA dari Layanan Digital Banking Bikin Geleng-geleng Kepala

Kinerja Operator Selular Mulai Membaik Setelah Mengalami Negative Growth

Saat kinerja bank-bank nasional semakin mengilap, industri selular yang menjadi penopang tumbuhnya layanan mobile banking dan digital banking ternyata masih tersengal-sengal.

Operator selular memang mencatatkan pertumbuhan yang positif. Namun pendapatan dan laba yang diraih, dibandingkan dengan industri perbankan, bak langit dengan bumi.

Tengok saja pendapatan dan laba yang dibukukan Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) di 2022. Total pendapatan operator selular terbesar kedua itu Rp 46,7 triliun, naik sebesar 48,9% YoY.

Kenaikan pendapatan, mendorong perolehan laba IOH Rp 4,72 triliun. Ini adalah pencapaian yang cukup baik, mengingat IOH merupakan entitas baru pasca merger setahun lalu.

Sementara XL Axiata membukukan total pendapatan Rp 29,2 triliun, tumbuh sebesar 9% dari periode yang sama tahun lalu (YoY). Tercatat pertumbuhan laba bersih XL Axiata setelah dinormalisasi (NPAT) meningkat hanya 1% sebesar Rp 1,1 triliun.

Meski laba yang dihasilkan operator selular terlihat ‘njomplang dibandingkan perbankan, namun kondisi tersebut terbilang sudah jauh lebih baik.

Pasalnya, kinerja operator selular dalam beberapa tahun terakhir terlihat mulai pulih, setelah dihantam negative growth sebesar 6,4% di 2018.

Baca Juga: XL Axiata dan Cisco Kerja Sama Siapkan Jaringan 5G dan Cloud untuk IOT

Itu adalah pertumbuhan minus pertama kali dalam sejarah industri selular, sejak teknologi GSM masuk ke Indonesia pada 1995. Negative growth yang terjadi merupakan imbas dari persaingan ketat, yang membuat tarif menukik tajam.

Di sisi lain, perilaku komunikasi pelanggan mulai berubah. Kehadiran mobile internet membuat layanan video dan chat yang ditawarkan OTT (over the top) semakin popular.

Namun pergeseran perilaku itu, menggerus pendapatan dari basic service (voice dan SMS) yang sebelumnya menjadi pendapatan utama operator.

Saat negative growth, kecuali Telkom Grup, kinerja operator selular babak belur. XL Axiata misalnya, mencatat rugi bersih Rp 3,30 triliun pada 2018. Padahal pada 2017, anak perusahaan Axiata Malaysia itu masih meraih laba. Meski tipis, hanya Rp 375,24 miliar.

Lonjakan kerugian yang dialami XL Axiata terutama berasal dari beban penyusutan dan amortisasi yang mencapai Rp 11,62 triliun, di tengah pendapatan usaha yang cenderung stagnan akibat perang tarif yang tak berkesudahan.

Kondisi yang sama juga terjadi pada Indosat Ooredoo. Pendapatan Indosat pada 2018 mencapai Rp 23,14 triliun, sementara setahun sebelumnya tercatat Rp 29,93 triliun.

Penurunan pendapatan terbesar terjadi pada lini bisnis selular dari Rp 24,49 triliun menjadi Rp 18,03 triliun. Alhasil, anak usaha Ooredoo Qatar itu, mencatat rugi bersih Rp 2,4 triliun pada 2018.

Baca Juga: Layanan Data Sumbang 91% dari Total Pendapatan XL Axiata selama 2022