Kesenjangan pengetahuan dan pemahaman tentang teknologi digital, keinginan untuk melakukan perubahan, serta minimnya infrastruktur digital masih dirasakan di banyak daerah di Indonesia.
Aldo Sianturi, Chief Digital Officer – Demajors, mengalami proses transisi dari era musik fisik ke digital yang menurutnya membawa pengaruh besar di dunia musik.
“Teknologi ada untuk mendukung dan memudahkan kebutuhan sehari-hari manusia,” ungkapnya.
“Kehadiran berbagai platform digital tentunya harus dimanfaatkan secara optimal oleh musisi untuk menjangkau pendengar di Indonesia, Asia dan global.”
“Tidak dapat kita pungkiri bahwa cara menikmati musik di era digital sekarang sudah lumrah, namun akan selalu ada musisi dan pendengar yang tetap memproduksi dan mengakses musik melalui cara-cara lama.”
“Maka, perlu strategi yang tepat bagi musisi agar karyanya tersedia di semua market, baik secara fisik maupun digital,” lanjutnya.
Mewakili generasi musisi milenial, Faiz Novascotia, penyanyi-penulis lagu yang membesut group Reality Club, juga mengakui bahwa teknologi digital telah memudahkannya dalam membuat dan memproduksi lagu.
“Tentunya semua perkembangan teknologi hingga kini, masih banyak yang harus dipelajari, dilakukan, dan diadaptasi,” ungkapnya.
Baca Juga: Marak Tanda Tangan Digital Untuk Keperluan Finansial, Ini Kata OJK
“Semakin banyak kolaborasi dalam ekosistem musik, akan semakin baik, karena kita semua ingin mencapai tujuan yang sama,” imbuhnya.
Kehadiran berbagai platform digital bagi kreator konten dan musik sebagai imbas akselerasi teknologi digital menuntut mereka untuk juga dapat memperkenalkan, mengedukasi, dan membuka akses bagi musisi lokal dan indie, agar dapat menampilkan karya mereka.
Hal ini yang menurut Christo Putra, Head of Music & Artist Operations sudah mereka lakukan juga oleh SoundOn Indonesia, sebuah platform all-in-one untuk keperluan pemasaran dan distribusi musik.
Christo menjelaskan masih banyak musisi Indonesia yang masih berupaya untuk memahami cara untuk menjangkau audiens mereka dan memonetisasi karya mereka.
“Selama ini, mereka cukup puas dengan mengunggah karya di kanal video yang ada, padahal banyak yang bisa dilakukan agar karya mereka menjangkau audiensnya,” katanya.
“Kami ingin menjembatani kebutuhan tersebut dengan mengedukasi, menginkubasi dan membimbing para kreator musik,” lanjutnya.
Bagi Resso, teknologi digital memampukan orang untuk mengakses musik dengan lebih mudah dan inklusif.
“Kami sangat aware dengan perkembangan yang ada di industri. Bisa dikatakan, platform teknologi TikTok, SoundOn, dan Resso diciptakan sebagai upaya untuk mendukung industri musik. Resso terus melakukan berbagai inisiatif seperti editorial, kurasi, dan katalog untuk membuat pengalaman menemukan musik menjadi lebih mudah, serta sangat terbuka untuk saran dan kolaborasi yang dapat memajukan industri ini bersama,” jelas Matthew Tanaya, Artist Promotions Lead Resso Indonesia.
Di sisi lain, pengamatan jurnalis musik Al Sobry melihat adanya peningkatan peran platform digital sebagai sumber informasi.
“Dulu, radio menjadi sumber informasi musik, lagu, dan artis, bahkan turut membentuk selera musik pendengar. Sekarang, peran tersebut sudah diambil alih oleh berbagai platform digital, termasuk TikTok,” ujarnya.
“Industri musik kita memang masih dan sedang beradaptasi dengan teknologi digital, dan para musisi sudah harus mulai memikirkan konten digital mereka, kalau pun bukan oleh musisinya sendiri, mereka bisa memanfaatkan talenta digital yang ada,” sambungnya.
Sobry juga menyoroti perlunya mengasah kemampuan talenta digital dengan keahlian yang sesuai dengan kebutuhan untuk mengisi peluang kerja yang ada.
Dari sisi pemerintah, Selliane Halia Ishak, Direktur Tata Kelola Ekonomi Digital, Kementerian Pariwisata dan Kreatif Ekonomi juga turut berkomentar.
Baca Juga: Rupiah Digital Segera Diresmikan BI, Begini Kata Bos Indodax
“Era digital memungkinkan semua hal menjadi transparan dan terukur melalui data analytic. Pemerintah memiliki beberapa target terkait pertumbuhan ekonomi digital, tidak hanya dari kontribusi pendapatan saja atau nilai ekonominya, tetapi juga terkait pengembangan talenta digital dan terjadinya transformasi digital di pelaku UMKM,” ujarnya.
“Untuk itu, kami sangat berharap mendapat masukan dari para pelaku industri, agar dapat berbagi pengetahuan serta berkolaborasi dengan pemerintah, guna mendukung program-program akselerasi digital di semua subsektor ekonomi kreatif khususnya musik,” sambungnya.
Pada tahun 2021, pemerintah mencatat kontribusi capaian nilai ekonomi digital Indonesia di tahun tersebut sebesar 70 milyar USD dan target 2024 dapat mencapai 146 milyar USD.
Berbeda dengan sub-sektor gaming yang sudah dapat diukur kontribusinya pada nilai ekonomi digital, untuk sub-sektor musik belum ada data yang dapat menunjukkan jumlah pasti yang dikontribusikan untuk nilai ekonomi digital Indonesia.
Selliane mengimbau para pelaku industri yang hadir dalam diskusi untuk juga membantu memikirkan cara bagaimana kontribusi tersebut dapat terdata dengan baik sehingga musik dapat kita ketahui bersama besaran kontribusinya terhadap target nilai ekonomi digital Indonesia, mengingat musik adalah sub-sektor ekraf tertinggi dan tercepat saat pandemi melakukan shifting ke digital (bertransformasi secara digital).
Menutup diskusi, para peserta menyepakati bahwa, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk dapat benar-benar memanfaatkan dan menikmati benefit yang diberikan oleh teknologi digital.
Upaya yang sudah dilakukan saat ini dalam mengakselerasi dan mengoptimalisasi musik digital untuk meningkatkan kehidupan para pelaku industri masih jauh dari sempurna.
Revolusi digital global yang terus bergerak dengan pengimplementasian Blockchain, Metaverse, NFT (non-fungible token), dan Web 3.0, tentunya, kembali mengharuskan semua pelaku industri musik di Indonesia untuk mulai memikirkan dan mempelajari teknologi ini.