Pengalaman Merger/Akuisisi XL Axiata dan Axis
Pengembalian sebagian frekwensi terlihat dalam kasus merger antara XL Axiata dan Axis. Seperti diketahui pada 2012, XL mengakuisisi Axis, operator yang sebagian besar sahamnya dimiliki Saudi Telecom, dengan nilai transaksi sebesar $865 juta atau sekitar Rp 9,8 triliun. Namun dalam aksi korporasi itu, nyatanya XL Axiata tidak sepenuhnya menikmati frekwensi yang sebelumnya dimiliki Axis.
Operator yang identik dengan warna biru itu “terpaksa” mengembalikan spektrum selebar 10 MHz di frekuensi 2.100 Mhz. Pasca merger, XL hanya menguasai 22,5 Mhz di rentang spektrum 900 MHz dan 1.800 MHz (2G), serta 15 Mhz di 2.100 MHz (3G).
Dengan kewajiban mengembalikan spektrum selebar 10 Mhz, sama dengan merger XL Axiata – Axis, maka regulator berusaha untuk bertindak adil. Merger Indosat Ooredoo – Tri Hutchinson Indonesia juga mendapatkan perlakuan yang sama.
Tetap Dominannya Peran Menteri
Tak dapat dipungkiri, persaingan harga yang ketat dan akses yang tidak merata ke sumber daya spektrum, telah mendorong terjadinya merger di antara operator selular. Apalagi saat ini Indonesia sudah menggelar layanan 5G, yang memerlukan ketersediaan frekwensi lebih besar dibandingkan 4G.
Dalam laporan yang dikeluarkan pada Juni 2020, lembaga pemeringkat global Fitch Solution, menyatakan pasar telekomunikasi di Indonesia sangat terfragmentasi, dengan operator yang lebih kecil mengalami kerugian karena pertumbuhan pelanggan telah gagal mengimbangi investasi, membuat langkah konsolidasi menjadi pilihan yang kuat.
Lembaga yang berbasis di New York itu, mengatakan bahwa manfaat utama konsolidasi adalah mengurangi duplikasi investasi jaringan, khususnya di daerah pedesaan, sekaligus menurunkan biaya penjualan dan saluran pemasaran nasional. Selain itu, sumber daya spektrum yang terbatas dapat didistribusikan secara lebih merata di antara lebih sedikit pemain.
Meski dapat mendorong kesehatan industri, namun Fitch menilai terdapat banyak hambatan dalam proses konsolidasi operator, baik merger dan akuisisi (M&A). Hambatan utama terhadap M&A adalah peraturan yang mewajibkan bahwa spektrum bukan bagian dari kesepakatan.
Untuk mengatasi hambatan dalam proses M&A, pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran. Aturan ini merupakan salah satu turunan dari UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Salah satu yang diatur adalah pengalihan penggunaan Spektrum Frekuensi Radio. Aturan tersebut tertuang pada pasal 55. Pada ayat (1) tertulis jika penyelenggara jaringan telekomunikasi pemilik izin spektrum frekuensi radio bisa melakukan pengalihan hak penggunaan spektrum pada penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
Peran menteri menjadi sangat krusial dalam pelaksanaan pengalihan ini. Hal itu diatur pada sejumlah pasal. Misalnya pada Pasal 56 ayat (1) bagian C mengaturan soal ketentuan pengalihan yang ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan kepentingan umum dan atau optimalisasi penggunaan Spektrum Frekuensi Radio.
Peran lainnya adalah pengalihan harus mendapatkan izin menteri. Hal ini tertuang pada Pasal 57 ayat (1) proses pengalihan wajib mendapatkan persetujuan dari menteri berdasarkan evaluasi. Selain itu, Menteri juga melakukan pengawasan dan pengendalian pada pelaksanaan proses pengalihan seperti tertuang di pasal 57 ayat (3).
Dominannya peran Menkominfo dalam penguasaan frekwensi hasil merger operator, sejatinya tak jauh berbeda dari aturan sebelumnya (UU No. 36 tahun 1999).
Pemerintah menilai, akuisisi dan merger di industri adalah hal biasa dan telah diatur dalam UU No 40/2000 tentang Perseroan Terbatas. Namun menyangkut industri telekomunikasi ada perlakuan khusus, yakni merger hanya untuk asset dan pelanggan perusahaan yang dimerger atau diakuisisi.
Tidak termasuk spektrum frekuensinya, karena frekuensi bukan merupakan asset perusahaan namun berupa Hak Pakai. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU No. 36 tahun 1999 mengenai Telekomunikasi bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio wajib mendapatkan izin pemerintah.