Jakarta, Selular.ID – Ditengah persiapan operator mengikuti tender frekuensi 1.200 dan 2,300 Ghz yang digelar awal pekan, isu konsolidasi kembali menghangat. Menkominfo Rudiantara sendiri yang mencetuskan pentingnya operator untuk segera melakukan konsolidasi.
Dalam berbagai kesempatan, Rudiantara kerap menegaskan bahwa konsolidasi menjadi mutlak agar industri selular kembali sehat. Penciutan jumlah operator akan membuat alokasi dan penggunaan frekwensi menjadi maksimal, sehingga dapat mendorong tumbuhnya ekonomi broandband ke seluruh pelosok Indonesia. Ia pun tak segan untuk mencabut izin operator apabila tak melakukan konsolidasi.
Rencananya aturan konsolidasi ini akan dibuatkan Peraturan Menteri (PM) sehingga bisa berkekuatan hukum tetap. PM ini ditargetkan rampung pada akhir tahun ini.
Untuk itu, pihaknya akan membuat peraturan yang lebih rinci mengenai mekanisme pencabutan izin operasional dan operator seperti apa yang bisa dicabut izinnya. Meski demikian, Rudiantara mengatakan bahwa implementasinya sendiri akan dilakukan secara bertahap.
Tentu saja gertakan Rudiantara itu berujung respon para pelaku industri. Berbicara dalam Selular Business Forum yang digelar Selular Network, di Jakarta (28/9/2017), Alexander Rusli menegaskan bahwa konsolidasi, baik dalam bentuk merger atau akuisisi adalah keniscayaan dalam dunia bisnis.
Pihaknya juga tak alergi dengan konsolidasi, apalagi jika hal itu dapat menyehatkan kembali industri selular yang disebut-sebut tak lagi seksi, karena terlalu banyak operator yang bermain. Sehingga ruang bertumbuh semakin sulit.
Meski demikian, Alex yang memutuskan tidak memperpanjang masa jabatan sebagai CEO/Dirut di Indosat Ooredoo per Oktober 2017, mengatakan bahwa pemerintah harus memberikan regulasi yang jelas soal ini.
Dengan regulasi tersebut, menurut Alex, operator bisa menghitung nilai bisnis dan berapa alokasi frekuensi yang nantinya harus dilepas operator jika sepakat untuk berkonsolidasi. Mengingat, pengalaman sebelumnya terjadi pada operator Axis dan XL Axiata.
“Semua operator sudah ngobrol, cuma satu operator saja yang belum. Dan ada beberapa hal yang membuatnya enggak bisa maju. Salah satunya soal regulasi. Preseden konsolidasi XL Axiata harus balikin frekuensi jadi momok bagi operator,” kata Alex.
Alex menambahkan, konsolidasi antar operator memang penting, namun ia meminta pemerintah tak berlama-lama menyusun regulasi agar dapat menjadi pegangan operator.
Ia menceritakan bahwa pihak operator sendiri telah mengirimkan surat kepada Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dalam setiap rapatnya.
“Kalau kata Pak Menteri (Kominfo) pandangannya ya kalau sudah pasti konsolidasi nanti datang ke saya, saya kasih tahu. Tapi ini kan kayak tebak-tebakan mana duluan telor atau ayam. Kalau menurut saya keluarkan peraturan dulu baru kita pertimbangkan bagus atau enggak tawaran konsolidasi itu,” tutup Alex.
Pemborosan
Pandangan Alex Rusli yang menegaskan pentingnya payung regulasi terkait konsolidasi, sebenarnya sudah disampaikan para petinggi operator jauh-jauh hari sebelumnya.
Dalam sebuah diskusi di akhir 2016, Sekjen ATSI Danny Buldansyah, pemerintah harus segera mencarikan solusi agar industri selular tidak terus terusan berdarah seperti saat ini.
Danny mengatakan langkah konsolidasi harus dipercepat, baik melalui pola merger maupun akuisisi. Konsolidasi merupakan hal yang jamak dalam industri telekomunikasi karena sesuai nature-nya, industri ini dapat terus tumbuh dan sehat, jika jumlah pemain dibatasi maksimal empat operator.
“Konsolidasi penting untuk menjaga keseimbangan industri. Tujuannya agar operator dapat memperoleh revenue yang memadai, sehingga dapat kembali berinvestasi demi meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat”, ujarnya.
Untuk itu, Danny yang juga Wadirut Three Hutchinson, mengatakan bahwa pemerintah perlu menyusun road map yang lebih terarah menyangkut aturan konsolidasi. Misalnya, dalam tiga tahun ke depan, jumlah operator yang beroperasi di Indonesia dapat menyusut menjadi empat.
Dengan aturan yang lebih tegas, operator yang saat ini beroperasi sudah bisa ancang-ancang untuk mengambil keputusan strategis yang bersifat win-win solution.
Danny menegaskan, selaku regulator pemerintah tak perlu sungkan dalam mengeluarkan aturan konsolidasi. Sebab ujung dari kebijakan ini bertujuan untuk kembali menyehatkan industri selular yang masih tetap suffer pasca meruyaknya perang tarif kurun 2007-2012.
Senada dengan Danny, Dirut XL Axiata Dian Siswarini, menyebutkan bahwa investasi yang dilakukan oleh operator dianggap sudah over lapping sehingga menjadi tidak efisien secara industri. Pasalnya, pada satu daerah bisa dua atau tiga operator melakukan investasi yang sama. Tentu hal ini menjadi pemborosan.
“Langkah konsolidasi operator menjadi 3 atau 4 saja akan menyehatkan industri telko di Indonesia. Tapi sebelum itu perlu adanya aturan mengenai frekuensi,” kata Dian.
Yang dimaksud dengan pengaturan itu, salah satunya adalah apakah frekuensi akan tetap menjadi milik dari operator yang melakukan langkah konsolidasi atau tidak? Pasalnya, frekuensi ini adalah aset yang sangat besar nilainya. Jika ditiadakan, maka hitungan dalam negosiasi juga akan berbeda total.
“Bisa jadi, aturan frekuensi yang belum jelas ini menjadi hambatan bagi para operator untuk melakukan konsolidasi. Ada ketakutan, ketika sudah mengeluarkan uang banyak ternyata frekuensi tidak masuk dalam perjanjian karena harus dikembalikan ke pemerintah,” tambah Dian.
Tapi XL sendiri menampik bahwa sedang melakukan negosiasi dalam rangka konsolidasi.
“Kami kan baru saja mengambil Axis. Jadi sampai sekarang belum ada rencana untuk konsolidasi,” kilahnya.
Biaya Mahal
Pandangan Dian yang kini lebih berhati-hati dalam mensikapi isu konsolidasi, memang masuk akal. Pasalnya, keberanian mengakuisisi Axis senilai USD865 juta yang rampung pada 2012, membuat kinerja keuangan XL tertekan dan belum kembali moncer hingga kini.
Seperti diketahui, setahun setelah proses akusisi rampung, XL mencatat kerugian Rp891 miliar pada 2014. Kerugian tersebut akibat beban utang yang meningkat dan pelemahan nilai tukar rupiah. Begitupun pada 2015, perusahaan masih harus menelan kerugian, meski angkanya menurun signifikan, yakni Rp25 miliar.
Memang sepanjang 2016, performa XL memang mulai membaik. Operator yang identik dengan warna biru itu, mencatat laba bersih sebesar Rp376 miliar. Ini adalah laba pertama yang diraih perusahaan, setelah dua tahun berturut-turut mengalami kerugian.
Meski kembali menuai laba, tak mudah bagi XL untuk mengembalikan performa dengan cepat. Kondisi pasar yang telah jenuh, tarif data yang murah, persaingan dengan para pemain OTT, dan keharusan untuk terus berinvestasi di sisi jaringan, membuat hampir semua kinerja operator termasuk XL terus tertekan.
Sejauh ini pencapaian terbaik XL adalah pada 2010, saat perusahaan masih dipimpin oleh Hasnul Suhaimi. Keberanian menerapkan tarif murah yang dimulai pada awal 2007, membuat jumlah pelanggan XL terkerek naik hingga mencapai 40,1 juta, melebihi target yang ditetapkan. Ujungnya, laba yang dihasilkan pada akhir 2010 meroket hingga mencapai Rp2,9 triliun.
Selain menekan kinerja keuangan, akusisi terhadap Axis juga tak sepenuhnya menguntungkan dalam hal penguasaan frekwensi. Sejatinya, frekuensi merupakan salah satu hal yang paling diincar XL dalam mengakuisisi Axis. Karena penguasaan frekwensi akan membuat XL mampu bersaing dengan Indosat dan Telkomsel.
Seperti diketahui, meski menyetujui rencana akuisisi dan merger pada 29 November 2013, Kominfo mensyaratkan XL harus mengembalikan frekuensi seluas 10 MHz di spektrum 2.100 MHz (3G).
Keputusan pengembalian frekwensi sebanyak itu di luar skenario. Karena pada awalnya XL berharap hanya mengembalikan frekuensi 5 MHz di 2.100 MHz. Dengan keputusan tersebut, berarti frekuensi seluas 15 MHz yang dimiliki Axis di spektrum 1.800 MHz, diberikan seluruhnya kepada XL yang sebelumnya hanya memiliki 7,5 MHz. Alhasil, pasca akusisi XL punya 22,5 MHz di 1.800 MHz.