Hooq Ungkap Strateginya Kuasai Layanan Streaming di Indonesia (Interview Eksklusif)

wp-1481882471443.jpgJakarta Selular.ID – Di tengah maraknya layanan streaming di Indonesia, Hooq menjadi salah satu pemain yang mencoba peruntungannya. Bagimana Hooq melihat tren layanan streaming dan strategi apa yang mereka gunakan untuk menaklukkan pasar Indonesia, terungkap dalam wawancara redaksi dengan CEO Hooq Indonesia, Guntur S Siboro.

Bagaimana anda melihat perkembangan Layanan streaming di Indonesia ?

Ekosistemnya memang yang harus dilihat. Kalau operator sekarang bilangnya era ekosistem DNA (Device Network Application). Network, kelihatannya kita ga ketinggalan dengan negara lain walaupun kita cukup berbeda dengan beberapa negara lain. Kalau di Indonesia 70 – 80 persen akses internetnya lewat mobile, beda dengan negara Singapura dan Korea misalnya. Oleh karena itu kalau bicara network kita bicaranya mobile network. 4G sudah cukup lumayan di Indonesia. Basic jaringannya sudah sangat mendukung meskipun frekuensi yang dipakai masih kecil sehingga kapasitas juga masih kecil.

Device sudah lebih advance, bukan hanyaa soal kecanggihannya tapi juga affordability-nya. Smartphone 4G harga 1 jutaan sudah banyak, ketersedaan smartphone layar 5 inch dengan harga murah juga ada. Aplikasi, kalau dulu kebanyakan berbasis web. Kendalanya adalah tidak mobile ported. Sekarang portability mobilenya sudah dibuat responsive jadi mobile look-nya menyesuaikan. Ditambah apps sekaran lebih terkenal dan ketersediaanna di playstore dan Appstore juga banyak. affordability paket datanya juga semakin membaik. Jadi kalau saya lihat itu sih sepertinya ekosoistemnya sudah sangat mendukung

Kalau dari sisi masarakat sebagai penggunana bagaimana karena kebanyakan masih mau yang gratisan?

Saya melihatnya ada dua hal. Pertama, dalam bisnis internet ada 2 model. Yang paling popular adalah gratisan atau disebutnya berbasis iklan dimana operatornya dibayar oleh iklan. Namun dalam perjalananna bisnis model ini makin kecil kuenya. Sehingga bisnis model ini makin susah kalau kita bukan pemain besar seperti  Google. Oleh karen itu sekarang bisnis model di internet berubah menjadi subscription dimana orang harus membayar untuk bisa menikmati layanan. Dengan bisnis model ini kualitasnya bisa dijaga karena pemain kecilpun bisa hidup.

Kedua, generasi sekarang adalah generasi industry kreatif. Orang hidup di generasi industry ini semakin terbiasa membayar untuk kreatifitas. Kalau generasi saya mungkin kurang menghargai kreatifitas, jadi kalau menggunakan karya kreatif orang secara gratis tidak masalah. Tapi kalau anak-anak sekarang karena hidup dalam creative industry era, mereka sangat menghargainya. Inilah perubahan yang membuat bisnis model berbasis berbayar tidak masalah.

Seberapa besar mereka mau membayar?

Nah itu yang penting. Mau membayar tapi tidak besar, volumenya yang penting. Makanya kita tawarkan harga hanya Rp49.500. Kalau kita buat lebih murah lagi, susah untuk membuat konten yang berkualitas. Dalam menentukan harga yang pas, kalau saya pakai teori yang sederhana saja. Jangan sampai mereka bayar dengan berlembar-lembar uang. Uang kita kan pecahannya ada 10 ribu, 20 ribu 50 ribu dan 100 ribu. Kalau Rp100 ribu kemahalan, jadi menurut saya 50 ribu sudah pas. Kalau Rp20 ribu tidak memberatkan tapi untuk kita mengakuisisi konten tidak cukup.

Persaingan di industry ini bagaimana?

Dalam industry berbasis internet persaingan tidak ada barrier-nya. Kalao khusus di video, persaingannya ada di konten. Untuk membeli konten

Berapa kuota data yang dibutuhkan untuk bisa menikmati streaming video?

Ketika operator pindah ke 4G aplikasi apa yang paling banyak dipakai? Tentunya video streaming. Karena kalau sosmed kecil sekali. Ngapain bangun jalan tol tapi yangl ewat satu mobil. Oleh karena itu streaming video sangat dibutuhkan. Sekarang ini pemakaian internet di perangkat mobile sebagian bersar berbasis video. Di Hooq bisa pilih kulitas film. Untuk satu film yang kualitas standar berdurasi 1,5 jam menghabiskan 400Mb hingga 1Gb.

Tantangannya apa?

Di setiap ekosistem yang saya sebutkan tadi ada tantanganya. Device tantanganya batere. Network, ketersediaan kapasitas frekuensi sehingga kalau banyak orang mengakses di satu tempat agak susah. Aplikasi, kita rasanya sudah coba berbagai hal untuk menghilangkan tantangannya. Missal, Hooq bisa download sehingga bisa dinikmati ketika jaringan susah. Modelnya juga kita buat sangat mobile tampilannya. Tantangannya sepertinya edukasi pasar apalagi generasi millennial screen-nya pindah dari TV ke perangkat mobile.

Persaingan dengan penyedia broadband (triple play) bagaimana ?

Kita akan segera on di indhome, Biznet dan juga My Republic. Ada tantangannya memang. Kalau di broadband kita customize-nya beda2 untuk tiap operator karena set top boxnya (stb)nya juga berbeda. Sistemnya juga berbeda, ada yang berbasis linux ada juga yang android. Aplikasi kita harus ada di stb masing-masing.

Segmentasi pegguna Hooq seperti apa?

Target marketna 15 – 35 tahun, ga millennial amat, bs dibilang sampai keluarga muda. Registered user lebih dari 1 juta, yang play tiap hari sekitar 30 – 40 persen. Weekend penggunanya lebih tinggi,  weekdays biasanya malam. Di weekend film Indonesia banyak ditonton.

Persaingan dengan netflik bagaimana?

Netflik pembayarannya menggunakan kartu kerdit dan agak high end. Konten ang mereka sediakan best of Hollwood. Kalau di Hooq best of hollywood dan best of local. Tapi pasti ada segmen pasar masing-masing.

Kalau dari sisi konten seperti sensor, bagaimana Hooq menyikapinya?

Ini pengaturannya sedang kita tunggu dari kominfo dan diknas. Tetapi kita seperti pay tv lainnya, menganut self censorship. Provider yang menensor dirinya sendiri, kalau mereasa tidak baik ya tidak ditayangkan. Kita juga menyediakan berbagai modul sensor.

Inilah enaknya market ekonomi, pasar yang menentukan. Kalau anda tidak melakukan self cencorship anda akan ditinggalkan pasar, dibilang kurang bermoral. Kita menyesuaikan dengan pasar kita.