Penunjukkan Sarwoto Atmosutarno sebagai salah satu direktur Indosat, pasca RUPS (10/6/2015), cukup mengejutkan publik khususnya industri ICT di tanah air. Pasalnya, nama Sarwoto sudah lama tak terdengar pasca lengsernya ia sebagai direktur utama Telkomsel digantikan oleh Alex J. Sinaga (kini dirut PT Telkom), pada Mei 2012.
Sebagian orang menilai, penunjukkan pria asal Solo itu tak lepas dari kiprahnya sebagai politisi partai Nasdem. Sebagai pakar di bidang IT, ia berperan besar dalam membangun platform kampanye berbasis teknologi informasi, sehingga sukses mendorong Nasdem mendulang suara signifikan sekaligus mendudukkan Jokowi sebagai presiden dalam pilpres lalu.
Atas jerih payahnya, Sarwoto diprediksi menjadi kandidat kuat untuk posisi Menkominfo. Hal yang wajar mengingat prestasinya selama memimpin Telkomsel dan kapasitas yang tak diragukan dalam mengelola industri ICT yang tengah berkembang pesat.
Namun sepertinya petinggi Nasdem, Surya Paloh, melihat kemungkinan adanya conflict of interest karena ia juga memiliki Metro TV dan Harian Media Indonesia yang selama masa kampanye pilpres memang menjadi corong kubu Jokowi. Pada akhirnya, pilihan terhadap Rudiantara dinilai sebagai langkah yang relatif diterima banyak kalangan, mengingat pria yang kerap disapa Chief RA itu murni berasal dari kalangan profesional.
Urung mengisi posisi Menkominfo, Sarwoto kemudian disebut-sebut bakal berlabuh sebagai salah satu anggota staf kepresidenan yang dipimpin Luhut Panjaitan. Faktanya, itu hanya desas desus belaka dan namanya pun terus senyap. Hingga selang delapan bulan kemudian, Sarwoto akhirnya benar-benar muncul sebagai wakil pemerintah dalam komposisi terbaru di jajaran direksi Indosat, yang tetap dipimpin oleh Alexander Rusli, untuk periode 2015 – 2020.
Terlepas dari campur tangan politik serta penilaian bernada sinis dari sebagian kalangan (karena menganggap ia turun kelas), masuknya Sarwoto merupakan angin segar bagi Indosat yang kini tengah berjuang kembali untuk merebut posisi sebagai operator terdepan di Indonesia, mengungguli Telkomsel dan XL Axiata.
Meski tentu saja tak mudah karena rapor Indosat belum lagi biru. Tercatat anak perusahaan Ooredoo Group itu membukukan kerugian sebesar Rp 455,6 miliar sepanjang kuartal I-2015 berbanding terbalik dengan posisi laba Rp 796,8 miliar pada periode sama 2014 lalu.
Ini adalah tantangan yang tak ringan. Tak mudah untuk membalikkan posisi, terlebih dalam situasi saat ini dimana dollar AS terus menguat, sementara rupiah semakin terpuruk. Bahkan bila sentimen politik dan makro ekonomi tak dapat dikelola dengan baik oleh pemerintahan Presiden Jokowi diprediksi rupiah bukan tak mungkin menembus Rp 15.000 per dollar AS. Jika ini terjadi, beban utang Indosat terutama dalam denominasi dollar ikut-ikutan terkerek.
Sebenarnya walaupun merugi, kinerja Indosat sesungguhnya tidak buruk-buruk amat. Pendapatan sebesar Rp 24,08 triliun, memang hanya tumbuh sekitar 1% dari tahun 2013 sebesar Rp 23,8 triliun tumbuh 1% year on year (YoY). Namun pertumbuhan pendapatan sebesar itu, lebih dari 63% didominasi oleh layanan data yang memang terus digenjot oleh Indosat.
Kerugian itu juga sebagai dampak dari belanja capex yang sudah menelan dana hingga Rp 15 triliun dalam dua tahun terakhir, demi memodernisasi jaringan secara besar-besaran yang sudah dimulai sejak april 2013. Alhasil, pasca pergantian jaringan yang ditargetkan tuntas pada semester kedua tahun ini, Indosat dipastikan bakal semakin agresif mengejar pendapatan mulai kuartal ketiga dan keempat tahun ini.
Troubleshooter Sejati
Kembali ke Sarwoto, saya pribadi cukup antusias dengan masuknya pria asal Solo itu ke dalam formasi BOD baru Indosat. Pengalaman selama menjadi konsultan corporate communication Telkomsel (2010 – 2014) dan cukup banyak berhubungan dengannya, membuat saya terkesan dengan kemampuan pria berkumis ini dalam mengelola korporasi besar dengan segudang tantangan.
Seperti tersaji dalam buku “Sarwoto Atmosutarno : Kiprah Sang Jenderal Telekomunikasi”, yang saya tulis bersama Yusuf Mars (terbit pada 2012), bisa dibilang ia adalah seorang troubleshooter sejati.
Faktanya, saat menggantikan Kiskenda Suriahardja sebagai direktur utama Telkomsel, pada Februari 2009, Sarwoto mempunyai tugas yang tak ringan. Saat itu, industri selular mulai mencapai titik jenuh. Jumlah operator yang surplus, mencapai 11 pemain, membuat industri yang sarat modal ini tak lagi tumbuh mewah. Jika pada periode 2000 – 2007 pertumbuhan masih double digit, namun akibat perang tarif yang marak sejak 2008, operator mulai sesak napas. Bahkan revenue rata-rata tumbuh dibawah 10%.
Maraknya penggunaan sosial media dan layanan data, semakin menekan pendapatan pada basic service yang selama ini menjadi tambang uang operator. Kondisi itu juga diperberat dengan beleid pemerintah tentang penurunan tarif interkoneksi pada 2008, yang membuat tarif ritel telekomunikasi makin anjlok.
Riset Deutsche Bank menunjukkan hanya dalam kurun empat tahun (2005 – 2008), perbedaan tarif menjadi sangat timpang. Pada 2005, tarif selular di Indonesia masih yang tertinggi di Asia, yakni US$ 0,15 atau Rp 1.350 per menit. Namun pada 2008, tarif anjlok ke titik terendah, yakni US$ 0,015 atau hanya Rp 135 per menit. Alhasil, ARPU rata-rata operator pun menukik tajam, terutama di basic service yang kini berkisar Rp 20 – Rp 30 ribu. Bandingkan dengan kondisi sebelumnya yang pernah bertengger Rp 75 – Rp 100 ribu.
Kondisi yang sama juga menimpa Telkomsel. Sebagai market leader di industri selular, rapor Telkomsel sepanjang 2008 tak lagi kinclong. Kerasnya kompetisi, membuat revenue Telkomsel pertama kali melorot sepanjang sejarah perusahaan didirikan pada 1995. Anjloknya Telkomsel jelas berujung pada performa PT Telkom, yang selama ini bergantung pada anak usahanya itu. Oleh Rinaldi Firmansyah (saat itu Dirut PT Telkom) Sarwoto ditugaskan untuk membenahi Telkomsel agar mampu mencetak pertumbuhan yang sehat di atas industri sekaligus operator pesaing.
Tentu saja tak mudah untuk melakukan turn around di tengah kondisi pasar yang mulai berubah. Memang saat diberi amanah sebagai CEO, industri selular saat itu mulai berevolusi dari layanan dasar (voice dan SMS) ke layanan data. Kondisi itu memunculkan tiga tantangan berat bagi operator.
Pertama, menjaga profitabilitas di tengah penurunan ARPU dan fenomena dump pipe (dimana operator hanya jualan bandwidth) dengan munculnya pemain-pemain OTT (over the top) yang menguras jaringan, seperti Google, Yahoo, Facebook, Twitter, Youtube dan lainnya.
Kedua, bagaimana mengelola bandwidth dan trafik agar bisa menjawab ekpektasi pelanggan yang perilakunya mendadak berubah menjadi data hungry. Kondisi ini memaksa operator menjadi pelayan dalam mengiringi gaya hidup pelanggan, mulai dari bangun tidur, aktifitas keseharian, hingga menikmati week end bersama keluarga.
Ketiga, menurunkan biaya operasional yang tinggi untuk menjamin berlanjutnya profitabilitas perusahaan. Strategi MVNO dan infrastructure sharing, bisa menjadi pilihan tepat untuk menyiasati terus melambungnya biaya operasional.
Mengacu pada tiga tantangan tersebut, langkah yang ditempuh Sarwoto adalah memperbaiki dan meningkatkan kualitas jaringan, baik 2G maupun 3G. Khusus BTS 33, jumlahnya terus diperbanyak agar akses terhadap layanan data pelanggan bisa maksimal. Kota-kota broadband pun dibangun di seluruh Indonesia. Perbaikan besar-besaran di sisi jaringan, sejalan dengan pembenahan di sisi marketing dan system support, terutama dalam mengantisipasi booming layanan broadband yang semakin hype.
Pada akhirnya, kombinasi jaringan terluas dan layanan berkualitas yang diusung oleh Sarwoto mulai menuai hasil positif. Pada akhir 2009, kinerja Telkomsel meningkat drastis. Jumlah pelanggan naik 26% dari 65 juta menjadi 85 juta. Pendapatan juga meningkat 11% dan total biaya diturunkan dari 12% menjadi 10%.
Tren positif ini terus berlanjut pada akhir 2011. Setelah sukses mendulang 100 juta pelanggan (April 2011), Telkomsel berhasil mendulang pendapatan Rp 48,7 triliun atau tumbuh 7% dibanding tahun sebelumnya. EBITDA juga meningkat Rp 27,5 triliun dengan laba bersih Rp 12,8 triliun, dengan kontribusi terbesar berasal dari layanan data dan SMS.
Memasuki kuartal 1-2012, saat Sarwoto dilengserkan, pertumbuhan Telkomsel tetap positif. Tercatat pendapatan meningkat sebesar 9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, tertinggi di industri telekomunikasi, sekaligus memimpin pasar dengan perolehan market share 43% dan jumlah pelanggan menembus 109,9 juta pelanggan.
Tak dapat dipungkiri fondasi dan keberhasilan yang diraih Sarwoto selama memimpin Telkomsel, membuat langkah suksesornya, Alex Sinaga, menjadi jauh lebih mudah. Tak heran jika dalam masa tiga tahun terakhir, Telkomsel tumbuh double digit dan menembus revenue Rp 65 triliun pada akhir 2014.
Kini setelah bergabung dengan Indosat, layak dinanti sentuhan Sarwoto dalam mengembalikan performa operator kuning itu. Bersama dengan Alexander Rusli dan tim direksi lain, mampukah ia menyelesaikan tantangan jilid kedua seperti saat memimpin Telkomsel? Kita tunggu bersama.