
Memang saya bukanlah pelanggan Tri (PT Hutchison 3 Indonesia). Meski demikian, saya menyukai gaya Tri mengemas kampanye iklan. Jujur saja dalam pandangan saya, iklan-iklan besutan Tri punya nilai lebih dibandingkan operator lain yang terkesan datar, karena umumnya langsung pada product/corporate feature sehingga cenderung ‘garing’, layaknya iklan-iklan toiletries milik Unilever atau P&G.
Tengok saja kampanye produk Indie+ yang diperkenalkan operator asal Hong Kong ini pada 2013. Indie+ adalah iklan tentang produk pra bayar yang diklaim memiliki kelebihan layaknya pasca bayar. Untuk menggambarkan kelebihannya, Tri tak langsung mengumbar di awal. Namun bercerita lebih dahulu lewat impian seorang anak kecil saat menjadi dewasa dan memasuki pasar kerja yang ternyata tak selalu enak dibayangkan.
Selain Indie+, iklan Tri yang juga sarat dengan kritik sosial adalah iklan Always On. Jika Indie+ menyoroti susahnya jadi orang dewasa, maka Always On yang punya tagline “Bebas itu Nyata”, bicara tentang kegalauan anak muda yang kebebasan dan keinginannya merasa tetap dibatasi oleh norma-norma yang berlaku dalam keluarga dan masyarakat.
Jika kita telisik, iklan yang ditampilkan Tri itu cenderung bergaya pararel positioning. Sebab pesan yang ditampilkan tak langsung pada feature yang ditawarkan, namun lebih kepada cerita berbeda, seperti fenomena sosial yang lekat dengan keseharian. Baik Indie+ maupun Always On, merekam situasi yang kontras, bagai bumi dan langit. Dirangkai dari potongan cerita yang bertolak belakang dengan narasi yang menggelitik dan provokatif. Ada gap yang terjadi antara impian dengan kenyataan. Sebagian dari kita mungkin menjadikan iklan itu sebagai bahan pemikiran yang layak direnungkan.
Dengan gaya berbeda, kedua iklan Tri itu setidaknya mengingatkan saya pada iklan-iklan besutan A Mild yang terbilang fenomenal. Seperti kita ketahui, sebelum merubah konsep iklan ke gaya ekspresi, passion dan life style sebagai pijakan iklan “Go Ahead” yang diperkenalkan sejak 2010, kampanye iklan-iklan lawas A Mild sangat kental dengan gaya parallel positioning. Dimana seluruh eksekusi dari TVC maupun print ad penguasa rokok mild ini begitu jauhnya, bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan atribut produk A Mild sendiri.
Dari How Low Can You Go (awal 1990-an), Bukan Basa Basi (1996-2000), Others Can Only Follow (2000-2005), Tanya Kenapa (2005-2007), dan Pilihan Gue (2008-2009), rata-rata sarat dengan bobot kultural dan problematika sosial.
Dari seluruh sekuel tersebut, tema iklan “Tanya Kenapa” bisa jadi paling dikenal masyarakat. Tema-tema yang diangkat begitu berani menyentuh secara langsung berbagai isu sosial dan memprovokasi audiens dengan pertanyaan ”Tanya Kenapa”. Contohnya adalah print ad dan baliho yang bergambar beberapa oven dengan toga di dalamnya, lengkap dengan harga di setiap toga. Di setiap toga ada label-label ”sarjana”, ”sarjana luar negeri” dan sejenisnya. Tak lupa tagline pamungkas : ”Mau Pintar Kok Mahal. Tanya Kenapa”.
Versi lain yang mungkin masih Anda ingat : ”Taat Kalo Nggak Ada Yang Liat”, ”Jalan Pintas Dianggap Pantas”, “Banjir Kok Jadi Langganan”, “Yang Lebih Muda Yang Nggak Dipercaya”, “Yang Lemah Kadang Nggak Mau Ngalah”, “Harusnya Gampang dibikin Susah”, “Kalo di Jalan Buta Warna”, dan lainnya.
Media Sosial

Sayangnya, pasca kampanye iklan Indie+ dan Always On, aktifitas promosi melalui media konvensional yang dilakukan Tri cenderung mengendur. Bahkan boleh dibilang menghilang sama sekali. Jika ditarik dari periode penayangan di stasiun-stasiun TV pada medio 2013, Tri sudah meninggalkan aktifitas above the line sejak dua tahun lalu. Itu artinya, iklan bernuansa kritik sosial juga hilang dari layar kaca.
Sedikit mengendur, bukan berarti Tri tidak berpromosi sama sekali. Operator yang sebagian sahamnya dikuasai oleh raksasa Thailand, Charoen Pokphand itu, memilih mengambil jalan berbeda yang dipicu oleh maraknya media digital. Kini aktifitas off-line lebih dikedepankan disinergikan dengan media on-line. Tujuannya adalah untuk menciptakan engagement dengan pelanggan sekaligus masyarakat luas.
Jadilah sepanjang 2014, Tri menggelar promosi yang lebih mengadopsi gaya produsen rokok, yakni even kolosal yang menggabungkan musik, seni tari dan teater komedi. Hasilnya adalah sebuah pertunjukan yang spektakuler dan menghibur. Bertajuk 3030 Show, pertunjukan ini menyajikan visualisasi teknologi layanan internet dan ekosistem inovatif yang diklaim menjadi kekuatan Tri. Melalui analogi image di masa depan, 3030 show yang berlangsung sejak Juli 2013- Juli 2014, terbilang sukses digelar 33 kota di seluruh Indonesia.
Pihak Tri menyebutkan, bahwa show ini merupakan cara promosi yang tidak konvensional namun tetap relevan guna memberikan pengalaman yang tak terlupakan bagi siapa saja yang melihatnya. Namun Tri menegaskan bahwa tayangan tersebut, sama seperti inovasi layanan dan mobile internet Tri yang menghadirkan kemudahan berkomunikasi yang tak terlupakan.
Di sisi lain, seorang eksekutif Tri mengakui bahwa pihaknya tak lagi jor-joran dalam beriklan di media-media konvensional. Alasannya tidak mau muluk-muluk dengan janji, lebih baik fokus pada apa menjadi yang tebaik bagi pelanggan.
“3030 Show adalah salah satu cara Tri untuk memberikan sesuatu yang berbeda. Buat apa kita membuat iklan di TV. Jaman sekarang siapa yang mau nonton iklan. Kita buat bilboard besar hanya sekedar dilihat sekilas saja. Begitu juga dengan radio yang pasti hanya di dengar lagu-lagunya saja,” jelas Andi Juansyah, Head of Brand and Communication Tri Indonesia, dalam satu kesempatan.
Menurut Andi, seiring booming dunia sosial media, disitulah informasi didapat dan para pelanggan anti dengan dunia sosial media dicampuri dengan iklan. Artinya dunia sosial media sangat demokratis.
“3030 Show adalah salah satu cara Tri mendekatkan diri dengan pelanggan, Ribuan penonton yang datang pasti akan komentar di media sosial,” ujarnya.
Merek WOW
Perubahan radikal dari cara beriklan Tri tentu sah-sah saja. Terlebih hanyak perusahaan lain yang kini juga meniru langkah serupa. Booming media sosial memang mampu menjungkirbalikkan status quo yang sudah bertahun-tahun berjalan selama ini. Gelombang media sosial dan mikro blogging semakin tak tertahankan, sekaligus memberikan peluang bagi perusahaan meningkatan ekuitas merek dengan cara yang berbeda, murah dan efisien. Terlebih telah banyak kisah sukses yang dipetik karena keberadaan media sosial.
Ambil contoh Lawang Sewu, sebuah tempat wisata di Semarang yang dikesan horor karena penuh dengan misteri dan sejarah kelam dimasa lalu. Cerita dari mulut ke mulut, pengalaman pengunjung yang menulis lewat blog, serta reportase berbagai media, membuat pengunjung penasaran dan berdampak pada tingginya lonjakan wisatawan, terutama di hari libur nasional. Tak pelak, hal ini membuat Lawang Sewu menjadi primadona baru destinasi wisata bergenre horror, layaknya Jack The Ripper di Inggris.
Padahal, kepopuleran Lawang Sewu tak ada hubungannya sama sekali dengan model promosi konvensional, seperti iklan misalnya. Kepopuleran Lawang Sewu merupakan buah dari iklan gratis yang berasal dari blog, tulisan di berbagai media masa baik cetak maupun online, referensi dari teman ke teman atau komunitas (word of mouth), dan pembicaraan di media sosial, seperti Facebook atau Twitter, juga situs berbagi foto (Instagram) dan video (Youtube).
Memang harus diakui di era digital saat ini, iklan seperti kehilangan makna dan daya sihirnya. Iklan tak lagi dominan dalam mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli atau mengkonsumsi produk/jasa, diganti PR (public relation) yang mengandalkan referensi dari pemberitaan di media konvensional dan new media.
Saat ini kemajuan internet telah mendorong berubahnya pola komunikasi dari vertical ke horizontal. Selain dapat mengakses banyak media, kehadiran media-media online membuat konsumen tak lagi sekedar menjadi obyek. Mereka pun bisa berinteraksi dan memberikan opini yang langsung disampaikan lewat sosial media atau blog.
Bisa disimpulkan, kehadiran internet membuat dunia semakin terhubung (connectivity) tanpa batasan waktu dan wilayah, Pada akhirnya hal itu mempengaruhi kesadaran konsumen akan merek, membuat perusahaan harus kompetitif dalam mengantisipasi perubahan yang terjadi jika tidak ingin ditinggal para pelanggannya.
Menurut suhu pemasaran Hermawan Kartajaya, tantangan terbesar pemasaran pada zaman sekarang adalah konektivitas. Dalam konteks konektivitas ini, lanjut Hermawan, merek harus senantiasa terhubung dengan pelanggannya dan juga kompetitornya, termasuk untuk membangun kolaborasi dengan mereka. Namun, di era konektivitas ini, yang juga patut diperhatikan oleh pemasar adalah terjadinya fragmentasi di pasar di mana konsumen dihadapkan oleh banyak pilihan.
Di era konektivitas, ada tiga komunitas yang menggerakkan pasar, yakni anak muda, perempuan, dan netizen. Sekarang ini, orang tidak hanya memiliki sense and respond, tetapi juga deep dan wide, serta ingin diperlakukan sebagai family dan friends. “Repotnya, mereka juga memiliki karakteristik yang sama, yakni tidak mau lagi command dan control,” imbuh Hermawan.
Hermawan menjelaskan, bahwa menyangkut merek ada tiga tahapan yang dialami oleh pelanggan, yakni enjoyment, experience, dan engagement. Dimana letak perbedaannya? Kalau hanya bikin orang bisa enjoy, itu hanya OK. Kalau hanya memberikan experience kepada pelanggan dan experience itu sangat customized, itu AHA. Tetapi, bila kita bisa memberikan engagement kepada pelanggan, itu baru WOW.
Dengan melihat kebutuhan pelanggan sekarang ini tidak cukup bagi merek memberi pelayanan yang hanya berpaku pada standar kerja maupun SOP. Merek harus mampu memberikan sesuatu yang akhirnya membuat mereka engage dengan merek. Pada akhirnya, WOW. WOW memiliki karakteristik yang unik. WOW memang tidak berulang dan frekuensinya tidak sering.
Di tengah perubahan tersebut, Hermawan menegaskan merek perlu meredifinisi ulang dari peta perjalanan pelanggan (customer path) agar kontekstual dengan apa semangat WOW tersebut. Dulu, customer path dipahami sebagai proses dari aware, attitude, act, dan act again. Proses ini sudah tidak memadai lagi untuk konteks konektivitas saat ini.
Model tersebut menunjukkan seakan-akan customer itu sangat individual. Padahal, sekarang ini, customer senantiasa mencari tahu hal-hal terkait dengan keputusan pembelian ke teman maupun keluarga. Sekarang, tidak ada lagi yang langsung percaya kepada iklan-iklan langsung dari perusahaan.
Redefinisi perjalanan pelanggan yang pas untuk konteks saat ini adalah dari Aware, Appeal, Ask, Act, dan Advocate. Setelah sadar akan merek, pelanggan harus bisa membangun appeal dengan pelanggannya. Mereka kemudian akan bertanya-tanya dan kemudian melakukan advocate untuk merek dan merekomendasikan kepada banyak pelanggan lainnya.
Merek yang WOW adalah merek yang dikenali oleh pelanggan dan pelanggan itu melakukan advocate kepada merek tersebut. Itulah WOW Marketing. Di sini pemasar harus lebih kreatif dalam menggabungkan Legacy Marketing dengan New Wave Marketing di mana ada integrasi antara online dan juga offline.
Pertanyaannya, apakah Tri sudah termasuk ke dalam deretan merek WOW? Mungkin Anda bisa membantu menjawabnya.