Selular.ID – Sejak dicanangkan oleh pemerintah mulai Desember 2022, program ASO (analog switch off) atau penghentian layanan TV analog untuk beralih ke TV digital, dapat sepenuhnya dituntaskan pada September 2023.
Sejalan dengan rampungnya ASO, maka frekuensi 700 Mhz yang memiliki lebar 112 Mhz, sepenuhnya bisa dialihkan untuk industri selular, terutama untuk memperluas layanan 5G.
Dengan kata lain, bersama dengan 26 Ghz, frekuensi 700 Mhz, sejatinya sudah dapat dilelang.
Sehingga operator selular dapat sepenuhnya memperluas cakupan layanan, khususnya mendongkrak kecepatan internet yang kini sudah menjadi kebutuhan sebagian besar masyarakat Indonesia.
Tak hanya di kota-kota besar, masyarakat yang tinggal di pelosok daerah dan pedesaan, terutama 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), juga sudah membutuhkan akses internet.
Untuk diketahui, meskipun layanan 5G komersial telah diluncurkan oleh Telkomsel, Indosat Ooredoo Hutchison, dan XL Axiata pada 2021 – 2022, namun kemajuannya terbilang lambat dan terfragmentasi.
Sebagian besar penerapan 5G masih terbatas di pusat kota, sehingga sebagian besar wilayah Indonesia yang luas belum terlayani.
Alasan investasi yang mahal dan use case yang belum tersedia, membuat operator tidak terlalu bernafsu menggarap 5G. Salah satunya tercermin dari jumlah BTS 5G yang terbilang minim.
Telkomsel misalnya, sebagai operator terbesar di Indonesia, baru meluncurkan 2.200 BTS 5G di 56 kota, dari total lebih dari 271.040 BTS yang dimiliki perusahaan.
Baca Juga: Mencuat Nama Surge di Balik Rencana Komdigi Merilis Spektrum Frekwensi 1,4 Ghz
Begitu pun dengan Indosat. Pada kuartal pertama 2025, Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) hanya mengoperasikan 107 BTS 5G. Secara total, Indosat memiliki 256.700 BTS yang mencakup jaringan 2G, 4G, dan 5G.
Berbeda dengan Telkomsel dan Indosat, XL Axiata tidak pernah mempublikasikan berapa jumlah BTS 5G yang dimiliki. Namun secara keseluruhan, pada akhir 2024, XL Axiata memiliki total 165.864 BTS, termasuk lebih dari 110 ribu BTS 4G.
Selain mahalnya investasi dan ekosistem yang belum terbentuk, keterbatasan frekwensi juga menjadi akar masalah mengapa 5G di Indonesia terkesan jalan di tempat.
Saat ini untuk mengoperasikan layanan 5G, ketiga operator menggunakan spektrum eksisting, yaitu pada pita 1.800 MHz, 2.100M Hz, dan 2.300 MHz.
Parahnya, meski mendorong operator terus memperluas cakupan 5G demi mendukung digitalisasi ke seluruh pelosok wilayah Indonesia, namun hingga saat ini pemerintah malah belum merilis satu pun frekwensi yang dikhususkan untuk layanan 5G.
Padahal, sesuai kajian GSMA, setiap operator membutuhkan setidaknya 100 MHz spektrum, terutama pada pita tengah yang berdekatan, khususnya 3,5 Mhz yang kini digunakan untuk bisnis satelit, agar dapat memberikan kinerja 5G yang andal dan memenuhi target kecepatan.
Alhasil, meski telah menawarkan 5G secara komersial, operator menghadapi dilema. Di satu sisi, 5G dapat memperkuat daya saing sekaligus menggarap pasar baru, terutama sektor industri yang memerlukan kecepatan dan latensi rendah.
Kecepatan 5G memang bisa mencapai 10 Gbps (gigabit per detik), sementara 4G biasanya sekitar 100 Mbps (megabit per detik). Ini berarti 5G bisa 10 kali lebih cepat, atau bahkan hingga 100 kali lebih cepat dalam beberapa kasus.
Faktanya, saat ini operator tentu saja lebih mengutamakan pemanfaatan frekwensi yang ada, demi mendukung layanan 4G.
Apalagi bagi pelanggan umum, layanan 4G terbilang lebih dari cukup dalam mendukung kegiatan sehari-hari.
Sejak diperkenalkan pada 2014, 4G kini telah menjadi tulang punggung jaringan operator selular di Indonesia. Berkat 4G, transformasi dan inovasi digital berkembang sangat baik. Mendorong percepatan ekonomi sejalan dengan visi Indonesia Emas 20245.
Menurut GSMA Intelligence, sepanjang 2024 lalu, layanan 4G telah mencakup 92% dari semua koneksi selular di Indonesia, dan diperkirakan akan tetap menjadi teknologi yang dominan setidaknya hingga 2027.
Di sisi lain, mantan Menkominfo Rudiantara justru menyentil soal relevansi teknologi 5G. Melansir TEMPO, Rudiantara menilai bahwa jaringan 4G saat ini masih memadai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di lapisan bawah.
Rudiantara menyampaikan pandangan tersebut dalam forum Amartha Asia Grassroot Forum yang digelar di Nusa Dua, Bali, pada 22 Mei 2025.
Ia menegaskan bahwa Indonesia belum memerlukan 5G secara luas karena saat ini teknologi tersebut lebih relevan untuk sektor korporasi.
Rudiantara menilai, saat ini masyarakat umum masih belum menunjukkan minat besar terhadap layanan 5G, terutama karena tarifnya yang tergolong tinggi.
Menurutnya, fokus utama pemerintah seharusnya pada pemenuhan kebutuhan digital secara merata dan peningkatan kualitas jaringan 4G, daripada langsung beralih ke 5G.
Berdampak Pada Kualitas Internet dan Pendapatan Negara
Terlepas dari polemik 4G dan 5G, namun tidak kunjungnya dilelangnya spektrum 700Mhz, menunjukkan pemerintah seperti tidak memiliki blue print yang jelas dalam mendukung cakupan konektivitas dan kualitas jaringan internet di Indonesia.
Saat ini kecepatan internet selular (mobile broadband) di Indonesia masih di bawah rata-rata dunia, begitu pun dengan kecepatan internet tetap (fixed broadband) yang juga tidak kompetitif.
Untuk diketahui, Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 143 negara di dunia dalam hal kecepatan internet mobile, dengan kecepatan rata-rata 24,21 Mbps (Juli 2023).
Dalam skala ASEAN, Indonesia berada di peringkat ke-3 terbawah, dengan median kecepatan unduh 24,96 Mbps (Desember 2023).
Indonesia juga tertinggal dalam hal kecepatan internet fixed broadband. Dalam laporan Speedtest Global Index per Maret 2024, Indonesia berada di peringkat ke-122 dari 182 negara yang disurvei, dengan kecepatan rata-rata hanya 27,11 Mbps.
Padahal, sejak tuntasnya program ASO sekitar dua tahun lalu, bersama dengan 26 Ghz, pemerintah telah berkomitmen untuk segera melelang frekwensi 700 Mhz.
Sayangnya, hingga kini frekwensi 700 Mhz yang sudah idle sejak Oktober 2023, tidak kunjung dilelang oleh negara.
Sebelumnya dalam berbagai kesempatan, pemerintah melalui Kementerian Kominfo (sekarang Kementerian Komdigi) bersiap untuk melelang spektrum tersebut.
Tengok saja pernyataan Menkominfo Budi Arie, yang disampaikan dalam The 2nd MASTEL’s 5G Summit – Acceleration of 5G Network and AI Towards Indonesia as Digital Economy Country di Jakarta, pada Kamis (21/9/2023).
“Saat ini, kita sudah menyelesaikan program Analog Switch Off (ASO) sehingga spektrum frekuensi 700 Mhz (low band) untuk 5G sudah bersih dan dapat dilelang. Demikian juga dengan spektrum 26 GHz (mid band) atau millimeter wave spectrum,” ujar Budi Arie Setiadi.
Budi Arie mengatakan, implementasi 5G akan dipercepat melalui lelang spektrum frekuensi itu, sebagai bagian dari penyediaan dan pemerataan infrastruktur digital dari hulu hingga hilir.
“Kominfo berupaya agar spektrum frekuensi ini dapat dilelang atau dialokasikan kepada para operator selular dalam waktu yang tidak terlalu lama, dengan mempertimbangkan kelayakan bisnis,” tuturnya.
Namun, peralihan jabatan Menkominfo dari Budi Arie ke Menkomdigi Meutia Hafid, rencana lelang spekrum 700 Mhz dan 26 Ghz yang telah disusun sejak 2023, hingga kini tak kunjung digelar.
Di sisi lain, dengan lebar sekitar 112 MHz, jika digunakan operator selular akan menghasilkan PNBP bagi pemerintah lebih dari 50X – 100X lipatnya dalam bentuk BHP (biaya hak penggunaan) frekuensi.
Namun dengan tak kunjung dilelangnya frekwensi 700 Mhz, pemerintah hingga kini tak bisa mendulang pendapatan.
Padahal, keuangan negara saat ini sedang baik-baik saja. Tengok saja pendapatan negara yang mengalami penurunan pada awal 2025, terutama disebabkan oleh turunnya penerimaan pajak.
Hingga April 2025, penerimaan pajak anjlok sebesar 10,8% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, mencapai Rp 557,1 triliun.
Akibat menukiknya pendapatan, APBN 2025 mengalami defisit, terutama pada awal tahun. Hingga Maret 2025, defisit APBN mencapai Rp 104,2 triliun atau 0,43% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Jadi, sampai kapan Kementerian Komdigi membiarkan frekwensi 700 dan 26 Ghz terus-terusan menganggur tanpa memberikan manfaat untuk masyarakat, operator selular dan negara?
Baca Juga: ATSI Keberatan Pemenang Lelang Frekwensi 700 Mhz Wajib Bangun Internet di Desa