Senin, 11 Agustus 2025

Sahamnya Bakal Terdilusi 5,5 Persen, Tengok Lagi Sejarah Kepemilikan Singtel di Telkomsel

BACA JUGA

Uday Rayana
Uday Rayana
Editor in Chief

Selular.ID – Tak berlebihan jika April 2023, menjadi catatan bersejarah bagi PT Telkom. BUMN telekomunikasi iu, resmi melakukan integrasi atau penggabungan layanan IndiHome dengan anak usahanya, Telkomsel.

Aksi korporasi ini bertujuan meningkatkan strategi konvergensi antara selular dengan fixed broadband, sekaligus menciptakan entitas baru bernilai sekitar Rp 58,3 triliun ($3,9 miliar).

Guna memuluskan integrasi itu, Telkom telah menandatangani perjanjian spin-off  bersyarat dengan Singapore Telecom (Singtel), pemilik 35% saham Telkomsel. Merger dan kesepakatan tersebut diharapkan akan selesai pada Q3-2023, dengan tunduk pada kondisi tertentu.

Penggabungan kedua bisnis ini akan berdampak pada kepemilikan saham Singtel di Telkomsel. Sumber Selular menyebutkan, spin-off  Indihome dari Telkom akan menghasilkan penerbitan saham perdana baru di Telkomsel.

Kelak kepemilikan Singtel akan berkurang menjadi 29,6 persen dari sebelumnya 35 persen. Artinya, saham Singtel terdilusi atau terpangkas sebanyak 5,5 persen. Sedangkan Telkom meningkat dari 65 persen menjadi 70,4 persen.

Namun pasca penggabungan, Singtel memliki opsi untuk meningkatkan kembali kepemilikannya di Telkomsel menjadi 30,1 persen. Dengan syarat , raksasa telekomunikasi asal Singapura itu, membayar Rp 2,7 triliun ($ 236 juta).

Baca Juga: Pasca Merger IndiHome Telkomsel, Saham Telkom Menjadi 70,4 Persen dan Singtel 29,6 Persen

Ini merupakan kali pertama, aksi korporasi yang dilakukan Telkom berdampak pada kepemilikan saham Singtel. Sebelumnya, pemerintah melalui kementerian BUMN kerap mendorong Telkom untuk melakukan buy back saham Telkomsel dari Singtel.

Tengok saja saat kementerian BUMN di pimpin oleh Dahlan Iskan. Mantan bos grup Jawa Pos itu, menyatakan pihaknya bersama Telkom pernah punya wacana untuk melakukan pembelian kembali saham Telkomsel.

Namun niat pemerintah dan Telkom yang telah memiliki 65 persen saham Telkomsel urung dilakukan karena tingginya harga penawaran untuk buyback 35 persen saham Telkomsel dari tangan Singtel.

“Waktu itu bisnis Telkomsel luar biasa bagus, dan bagaimana kemarin itu kita coba untuk membelinya tetapi mahal sekali,” ujar Dahlan (25/6/2014).

Selain Dahlan, Menteri BUMN sebelumnya Mustafa Abubakar juga berupaya mengambil langkah serupa. Namun rencana strategis itu, juga tidak kesampaian.

Pasalnya, Singtel belum berniat melepas sebagian kepemilikan sahamnya di Telkomsel meski PT Telkom ingin membeli kembali.

“Sementara tetap. Jadi 35 persen sekarang andilnya SingTel, kita 65 persen, jadi posisi itu bertahan. Ada namanya buyback, ada masalah 35 persen – 65 persen, tapi barangkali SingTel punya konsep sendiri,” ujar Mustafa Abubakar di kantor Menko Perekonomian, Lapangan Banteng, Jakarta, Senin (11/4/2011).

Meski kepemilikan Singtel kerap menjadi polemik, namun keberadaan raksasa telekomunikasi Singapura telah menjadi bagian dari sejarah Telkomsel, sejak operator selular terbesar di Indonesia itu berdiri pada 1995.

Baca Juga: Merger IndiHome dan Telkomsel, Singtel Akui Dalam Proses Pembicaraan Dengan Telkom

Tambang Uang Bagi Induk Usaha

Dengan kinerja yang terus terjaga meski persaingan antar operator terbilang ketat, tak salah jika Telkomsel merupakan tambang emas bagi pemiliknya.

Barangkali itulah alasan yang membuat Singtel memilih mempertahankan Telkomsel, saat dihadapkan dengan ketentuan larangan monopoli di Indonesia.

Singtel secara resmi memang baru menguasai 35 persen saham Telkomsel pada tahun 2003. Mereka membeli saham Telkomsel secara bertahap.

Kepemilikan Singtel atas Telkomsel baru dimulai pada 2001, saat KPN Netherlands (KPN) dan PT Setdco Megacell Asia (Setdco) masing-masing memiliki 17,3 persen dan 5 persen saham Telkomsel, melegonya.

Pada Oktober 2003, Singtel melunasi pembayaran atas 12,7 persen saham Telkom di Telkomsel senilai 427 juta dolar AS.

Dengan pembayaran tersebut, Singtel resmi menguasai 35 persen saham Telkomsel. Total dana yang dikeluarkan Singtel untuk penguasaan 35 persen saham Telkomsel diperkirakan sebesar 1 miliar dolar AS.

Namun, kepemilikan Singtel atas Telkomsel sempat memunculkan kegaduhan. Induk usaha Singtel, Temasek menguasai 41,94 persen saham PT Indosat Tbk setelah dinyatakan sebagai pemenang dalam divestasi 41,94 persen saham pemerintah RI di Indosat senilai Rp 5,62 triliun pada 2002.

Baca Juga: Telkom dan Singtel Kembangkan Regional Data Center dan Bisnis Broadband

Presiden Indonesia saat itu, Megawati terpaksa melego mayoritas saham Indosat sebagai bagian dari upaya privatisasi BUMN, demi mendapatkan dana setoran APBN pada 2002.

Temasek menguasai saham Indosat melalui Singapore Technologies Telemedia (STT). Temasek tercatat memiliki 100 persen saham STT. Itu artinya, Temasek secara tidak langsung menjadi pemegang saham ganda di dua operator telekomunikasi terbesar di Indonesia.

Pada November 2007, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan Temasek dan anak-anak perusahaannya yang terkait, terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar larangan kepemilikan silang sesuai dengan Pasal 27 huruf a UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli).

Atas pelanggaran tersebut, KPPU memerintahkan Temasek dkk untuk menghentikan kepemilikan silang di Telkomsel dan Indosat, dengan cara melepas seluruh kepemilikan sahamnya kepada salah satu perusahaan tersebut, paling lama dua tahun sejak putusan KPPU berkekuatan tetap.

Pada Juni 2008, Temasek memilih melepas Indosat. Temasek melepas 40,8 persen saham Indosat senilai 2,4 miliar dolar Singapura atau sekitar 1,8 miliar dolar AS kepada Qatar Telecom (Setara dengan Rp 16,8 triliun pada kurs saat itu sebesar Rp 9.300 per dolar AS).

Keputusan Temasek untuk melepas Indosat dan mempertahankan Telkomsel memang berbuah manis pada akhirnya. Telkomsel terus menerus mencatat untung, sehingga berkontribusi besar pada kinerja dua induk perusahaan, Singtel dan PT Telkom.

Tengok saja laba bersih yang diraih Telkomsel sepanjang 2013 – 2021. Masing-masing Rp 17,34 triliun (2013), Rp 19,4 triliun (2014), Rp 22,36 triliun (2015), Rp 28,19 triliun (2016), Rp 25,5 triliun (2017), Rp 25,5 triliun (2018), Rp 25,8 triliun (2019), Rp 25,0 triliun (2020), dan Rp 24,8 triliun (2021).

Baca Juga: Kisah Bank Fama yang Ganti Nama Jadi Superbank, Pasca Akuisisi oleh Raksasa Singapura Singtel

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU