Selasa, 16 Desember 2025
Selular.ID -

Cambridge Ungkap Pasar Gelap Akun Palsu, Harga Mulai Rp1.200 per Akun

BACA JUGA

Selular.id – Sebuah studi terbaru dari Universitas Cambridge mengungkap pasar gelap yang menjual akun palsu di berbagai platform media sosial dengan harga yang sangat murah, mulai dari Rp1.200 per akun.

Akun-akun ini digunakan untuk membangun pasukan bot yang bertugas menyebarkan disinformasi, mempromosikan produk, hingga memengaruhi debat politik secara daring.

Universitas Cambridge meluncurkan Cambridge Online Trust and Safety Index (COTSI), sebuah situs web yang dapat melacak harga secara real-time untuk akun palsu terverifikasi di lebih dari 500 platform, termasuk TikTok, Instagram, Spotify, dan lainnya.

Penulis senior studi sekaligus Psikolog Sosial Komputasional di Universitas Cambridge, Jon Roozenbeek, menyatakan pihaknya menemukan pasar gelap yang berkembang pesat di mana konten palsu, popularitas buatan, dan kampanye pengaruh politik dijual dengan mudah dan terbuka.

Roozenbeek menambahkan bahwa praktik ini dapat menciptakan kontroversi untuk mendapatkan klik dan mengakali algoritma platform.

Akun palsu yang dijual murah ini sering menjadi tulang punggung pasukan bot yang dirancang untuk meniru manusia sungguhan dan membentuk narasi di ruang digital.

Mereka dikerahkan untuk membanjiri percakapan daring, mempromosikan produk hingga penipuan, atau menyebarkan pesan politik yang telah direncanakan.

Data yang dikumpulkan selama setahun mengungkap variasi harga akun palsu di berbagai negara.

Di Rusia, harga satu akun palsu rata-rata hanya $0.08 atau setara Rp1.200.

Di Inggris, harganya sekitar $0.10 (Rp1.500), dan di Amerika Serikat $0.26 (Rp4.000).

Namun, harga melonjak drastis di Jepang menjadi $4.93 atau sekitar Rp75.000 per akun.

Para peneliti menyimpulkan bahwa aturan verifikasi identitas, seperti penggunaan SIM, yang ketat di suatu negara menjadi faktor utama mahalnya biaya produksi akun palsu.

Di negara dengan regulasi longgar, biaya pembuatan akun fiktif menjadi sangat murah.

Platform dengan harga terendah secara global untuk akun palsu meliputi Meta (Facebook), Shopify, X (sebelumnya Twitter), Instagram, TikTok, LinkedIn, dan Amazon.

Ancaman yang Semakin Canggih dengan Adanya AI Generatif

Munculnya kecerdasan buatan generatif (AI) dinilai telah memperparah masalah ini.

Jon Roozenbeek menjelaskan bahwa AI generatif memungkinkan bot untuk menyesuaikan pesan agar tampak lebih manusiawi dan bahkan menyesuaikannya agar relevan dengan interaksi akun lainnya.

“Pasukan bot menjadi lebih persuasif dan lebih sulit untuk dideteksi,” ujarnya.

Kemampuan AI ini mengaburkan batas antara aktivitas manusia asli dan mesin, membuat upaya moderasi konten dan deteksi akun palsu menjadi tantangan yang lebih kompleks.

Studi tersebut juga mencatat adanya hubungan kuat pasar gelap ini dengan sistem pembayaran dari Rusia dan Tiongkok.

Tata bahasa di banyak situs web pemasok menunjukkan bahwa penulisnya adalah orang Rusia, mengindikasikan konsentrasi geografis tertentu dalam operasi ini.

Harga Akun Palsu Melonjak saat Momen Politik Penting

Fenomena unik terungkap dalam studi ini: harga akun palsu bisa mengalami lonjakan signifikan menjelang pemilihan umum atau pesta demokrasi di suatu negara.

Kampanye pengaruh politik ternyata menjadi pendorong utama permintaan, mirip dengan kenaikan harga komoditas tertentu pada momen-momen spesifik.

“Disinformasi menjadi subjek perbedaan pendapat di seluruh spektrum politik. Apa pun sifat aktivitas daring yang tidak otentik, sebagian besar disalurkan melalui pasar manipulasi ini, jadi kita cukup mengikuti aliran uangnya,” kata Anton Dek, seorang peneliti di Cambridge Centre for Alternative Finance.

Data menunjukkan harga akun palsu di platform seperti Telegram dan WhatsApp bisa melonjak tajam di negara-negara yang akan mengadakan pemilu nasional.

Harga meningkat masing-masing sebesar 12 persen dan 15 persen dalam 30 hari sebelum pemungutan suara dimulai.

Kenaikan ini terjadi karena aplikasi perpesanan tersebut menampilkan nomor telepon, sehingga operator pengaruh harus mendaftarkan akun secara lokal dengan nomor yang valid, yang meningkatkan permintaan dan biaya produksi.

Persoalan akun palsu dan bot bukanlah hal baru di dunia digital. Berbagai platform telah berulang kali melakukan pembersihan massal.

Sebelumnya, Facebook mengumumkan penghapusan 3,2 miliar akun palsu dalam upaya membersihkan platformnya.

Kasus serupa juga terjadi di tingkat lokal, seperti ketika Kominfo menggandeng Bareskrim Polri untuk menuntaskan akun palsu yang mengatasnamakan institusi tersebut di situs tertentu.

Keberadaan akun palsu juga kerap dimanfaatkan untuk menyebarkan narasi tertentu, termasuk yang menyangkut isu internasional.

Contohnya adalah peredaran akun palsu yang mengaku sebagai Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di TikTok untuk membahas pengungsi Rohingya.

Temuan Cambridge ini memberikan konteks yang lebih luas tentang ekosistem dan ekonomi di balik penciptaan akun-akun semacam itu.

Dengan harga yang sangat terjangkau dan kemudahan memperolehnya, pasar akun palsu ini menjadi ancaman serius bagi integritas informasi digital.

Studi dari Cambridge ini diharapkan dapat mendorong kesadaran publik dan regulator untuk melihat masalah ini tidak hanya sebagai pelanggaran ketentuan platform, tetapi sebagai industri bayangan yang memiliki dampak riil pada opini publik, keamanan siber, dan stabilitas demokrasi di berbagai negara.

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU