Selular.ID – Fenomena mantan bos perusahaan teknologi yang terjerat kasus hukum dan terpaksa menginap di hotel Prodeo, sepertinya mulai marak terjadi di Indonesia. Teranyar kisah kelam itu menimpa Nadiem Makarim.
Seperti diketahui, pada Kamis (4/9), Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan mantan Mendikbudristek itu, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook.
Setelah berjam-jam menjalani pemeriksaan untuk ketiga kalinya, mantan pendiri/CEO GoJek itu pun keluar dengan jaket berwarna merah muda, dan langsung digiiring ke tempat penahanan.
“Untuk kepentingan penyidikan, tersangka NAM, akan dilakukan penahanan di rutan selama 20 hari ke depan sejak hari ini 4 September 2025 bertempat di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan,” kata Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejagung, Nurcahyo Jungkung Madyo, di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Kamis (4/9/2025).
Korps Adhiyaksa itu mengungkapkan kerugian negara akibat korupsi pengadaan laptop besutan Google yang menjerat Nadiem Makarim, diitaksir mencapai hampir Rp 2 triliun.
Penahanan Nadiem hanya berselang dua bulan setelah kasus hukum yang juga menjerat mantan petinggi perusahaan teknologi lainnya, Gibran Huzaifah.
Berbeda dengan Nadiem, permasalahan hukum yang mendera Gibran lebih ke persoalan tata kelola perusahaan (corporate good governance).
Pada Desember tahun lalu, Gibran dicopot dari jabatan Direktur Utama/CEO eFishery karena diduga menyelewengkan dana perusahaan.
Baca Juga: Terungkap Alasan Nadiem Pilih Chromebook Dibanding Windows
Dewan direksi eFishery juga memberhentikan CPO perusahaan Chrisna Aditya sementara waktu. Pemberhentian keduanya menyusul penyelidikan dugaan kesalahan pelaporan keuangan atas kinerja dan pendapatan perusahaan.
Pasca pemberhentian tersebut, penyidikan yang dilakukan kepolisian terus berkembang. Pada Kamis (31/7), Bareskrim Polri memutuskan untuk menahan Gibran.
Gibran diduga memanipulasi data keuangan dengan menggelembungkan angka pendapatan perusahaan hingga mencapai 600 juta dolar AS atau sekitar Rp 9,74 triliun selama periode sembilan bulan yang berakhir pada September 2024.
Tak cuma Gibran, Bareskrim Polri juga menahan dua orang lainnya, yaitu Wakil Presiden eFishery Angga Hadrian Raditya, dan Wakil Presiden Pembiayaan Budidaya Andri Yadi.
Terlepas dari persoalan hukum, penahanan terhadap Gibran dan Nadiem terasa ironis. Mengingat kontribusi besar yang telah mereka berikan dalam mengembangkan start up dan ekonomi digital di Indonesia.
Gibran misalnya, lewat eFishery yang ia didirikan pada awal 2013, mengusung banyak kelebihan dibandingkan start-up lainnya, terutama dari sisi ekosistem yang terintegrasi.
Ekosistem tersebut meliputi marketplace pakan ikan dan udang, platform penjualan produk ikan dan udang segar secara bisnis ke bisnis, serta akses keuangan bagi pembudidaya ikan.
Kehadiran eFishery telah mendukung lebih dari 70 ribu pembudidaya ikan dan petambak udang di lebih dari 280 kota/kabupaten di seluruh Indonesia.
Dampak nyata dari kehadiran eFishery terungkap dari sejumlah kajian. Salah satunya datang dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ((LD FEB UI).
Pada 2022, lembaga itu mencatat bahwa eFishery mampu memberikan kontribusi sebesar Rp 3,4 triliun atau setara 1,55 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sektor akuakultur Indonesia pada 2022.
Seperti halnya eFishery, GoJek pun telah mengubah wajah ekonomi digital di Indonesia. Dari perusahaan rintisan dengan belasan karyawan hingga berkembang menjadi salah satu decacorn Indonesia, Gojek memiliki dampak yang cukup signifikan baik sosial maupun ekonomi masyarakat.
Sejak didirikan pada 2015, selain memperluas lapangan kerja, Gojek telah mengubah pola transportasi masyarakat, mendorong ekonomi digital, dan memperluas akses pasar bagi UMKM.
Riset yang dilakukan LD FEB UI pada akhir 2017, menunjukkan kehadiran Gojek berdampak sosial dan ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung. Hasil riset membuktikan bahwa Gojek menyumbangkan Rp 9,9 triliun terhadap perekonomian nasional.
Baca Juga: Google Buka Suara Soal Kasus Chromebook yang Jerat Nadiem Makarim
Right Person in Wrong Place
Bagaimana pun, penahanan Nadiem memunculkan rasa keprihatinan yang mendalam, terutama dari manajemen Gojek sendiri.
“Seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya, GoTo menghormati sepenuhnya proses hukum yang sedang berlangsung. Kami percaya pada pentingnya transparansi dan keadilan dalam setiap tahap penegakan hukum di Indonesia,” ujar Direktur Public Affairs & Communications GoTo, Ade Mulya dalam keterangan resminya (7/9).
Ade menyampaikan bahwa kabar mengenai Nadiem Makarim membawa rasa mendalam bagi keluarga besar GoTo. Menurutnya, Nadiem bukan hanya pendiri Gojek , tetapi juga sosok yang berkontribusi besar bagi perusahaan.
“Beliau bukan hanya pendiri Gojek, tetapi juga sosok yang menyalakan keyakinan bahwa mimpi anak bangsa bisa tumbuh besar dan menghadirkan perubahan nyata bagi jutaan orang,” jelas Ade.
Keprihatinan terhadap persoalan hukum yang menimpa Nadiem bukan hanya dilontarkan oleh pihak Gojek, melainkan juga datang dari beberapa pihak. Mahfud MD misalnya, menjadi salah satu tokoh yang turut mengomentari penahanan Nadiem.
Mantan Menkopolhukam era Presiden Jokowi itu, menilai bahwa Nadiem Makarim adalah sosok yang bersih, tetapi tidak memahami birokrasi dan pemerintahan.
“Menurut saya, Nadiem itu adalah orang yang bersih. Bersih, tetapi tidak paham birokrasi dan pemerintahan,” ucap Mahfud dalam acara podcast Terus Terang di kanal Mahfud MD Official, dikutip Rabu (10/9/2025).
Mahfud yang pernah bertarung sebagai cawapres dalam Pilpres 2024 lalu, mengatakan bahwa salah satu tanda Nadiem tak kenal birokrasi adalah jarang berkantor, padahal ia adalah seorang menteri.
Meski demikian, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini juga mengkritik kebijakan Nadiem terkait pengadaan Chromebook yang kini menjadi kasus dugaan korupsi.
Menurut Mahfud, dunia pendidikan di Indonesia masih banyak kekurangan fasilitas dasar, bahkan ada beberapa daerah yang anak-anaknya harus menyeberang bertaruh nyawa dengan jembatan tali untuk mencapai sekolah.
“Ada yang pakai tali yang kalau jatuh pasti mati, masa lalu (ada kebijakan pengadaan) Chromebook. Kan harus yang itu dulu (terkait fasilitas dasar),” pungkas Mahfud.
Dengan kata lain, Mahfud menilai Nadiem sejatinya lebih cocok di dunia korporasi bukan birokrasi yang terkadang penuh dengan intrik politik.
Bisa dibilang kasus Nadiem cerminan dari “The Right Person in Wrong Place”. Frasa ini menggambarkan seseorang yang berada dalam situasi, pekerjaan, atau lingkungan yang tidak sesuai atau tidak cocok, yang menyebabkan ketidakpuasan atau kegagalan.
Tak diragukan lagi bahwa Nadiem, melalui Gojek yang ia dirikan, adalah sosok cemerlang yang membawa perubahan dalam ekosistem digital yang terus berkembang di Indonesia.
Namun ketidakcakapannya dalam dunia birokrasi dan praktek politik di Indonesia membuat dirinya harus menelan pil pahit. Seperti halnya Gibran Huzaifah, Nadiem kini harus merasakan dinginnya tembok penjara.
Baca Juga: Nadiem Makarim Tersangka Kasus Korupsi Pengadaan Chromebook Kemendikbudristek