Besarnya Digital Dividen Dari Frekwensi 700 Mhz
Sekedar diketahui, ASO sejatinya bukan program baru. Program strategis pertama kali digagas oleh Tifatul Sembiring, Menkominfo era pemerintahan SBY (2009 – 2014) dan mencuat kembali di era Rudiantara (2014 – 2019).
Sebelumnya Kominfo haqul yakin, peralihan TV analog ke digital dapat tuntas pada akhir 2017. Sayangnya, meski telah berganti dua pejabat, namun peralihan frekuensi 700 Mhz untuk dialihkan ke layanan TV digital, data, dan internet tak semudah yang dibayangkan.
Pasalnya, frekuensi tersebut sejak lama diduduki oleh penyedia layanan TV analog. Karena menyangkut bisnis bernilai triliunan rupiah, para pengusaha televisi (yang sejatinya sudah untung banyak) tak rela begitu saja untuk melepas frekuensi 700 Mhz untuk kemudian hijrah ke layanan TV digital.
Untuk diketahui, spektrum 700 MHz ini memiliki sumber daya pita seluas 328 MHz. Jika siaran TV analog dimatikan dan beralih ke digital, maka ada sisa sumber daya pita (digital dividend) seluas 112 MHz yang bisa dimanfaatkan untuk internet broadband berbasis seluler, termasuk 4G LTE dan 5G.
Nah, digital dividend sebesar 112 MHz di frekuensi 700 MHz itulah yang nantinya dapat digunakan untuk aplikasi pendidikan dan kebencanaan, serta jaringan teknologi selular berbasis 4G dan 5G.
Namun sayangnya, rencana itu menemukan banyak hambatan. Pada 2015, Mahkamah Agung (MA) malah membatalkan Peraturan Menteri Kominfo No. 22/2011 tentang Penyelenggaraan Televisi Digital yang sudah diketok palu oleh Tifatul Sembiring.
Hal ini sesuai dengan permohonan judicial review oleh Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI). Keputusan MA itu tentu saja berdampak pada kekosongan hukum. Sehingga program ASO kembali jalan di tempat.
Setelah bertahun-tahun dijegal oleh ATVJI, di era kedua pemerintahan Presiden Jokowi, peralihan TV analog ke digital pada akhirnya menjadi kenyataan.
UU Cipta Kerja yang diterbitkan pada 20 Oktober 2020, menjadi landasan hukum bagi Menkominfo Johny G. Plate menggolkan program ASO sesuai ketentuan yang berlaku. Kali ini para pengelola jaringan TV analog tak memiliki landasan hukum untuk kembali melakukan manuver seperti sebelumnya.
Terlepas dari persoalan politis, suka tak suka, peralihan itu adalah keniscayaan. Pasalnya, Indonesia menjadi negara yang terbilang terlambat dalam program ASO, khususnya pemanfaatan spektrum 700 Mhz yang bertahun-tahun sebelumnya digunakan para penyelenggara siaran TV analog.
Untuk diketahui, frekuensi radio 700 Mhz sudah lama menjadi andalan layanan lalu lintas data untuk internet. Ekosistem pada pita itu pun terbilang matang, baik untuk 4G maupun 5G.
Ekonomi dunia pun di masa depan akan terus bertumpu pada keandalan transmisi data melalui jalur internet. Untuk itu, sudah sewajarnya Indonesia menata pita frekwensi 700 Mhz tersebut.
Seperti diketahui, spektrum 700 MHz kerap disebut sebagai frekuensi ‘emas’ lantaran menawarkan banyak keuntungan. Kajian GSMA (Global System for Mobile Communications Association) menyimpulkan, terdapat berbagai keuntungan yang diperoleh jika operator memanfaatkan frekuensi itu.
Diantaranya mengurangi gangguan sinyal di daerah-daerah yang berbatasan dengan negara lain, menghemat biaya peralatan karena spesifikasi teknis peralatan yang dipakai sama dengan negara lain di kawasan, serta membuka potensi bisnis baru dan lapangan pekerjaan baru.
Frekuensi yang rendah seperti 700 MHz juga mampu menjangkau area lebih luas karena membutuhkan lebih sedikit menara pemancar dan menembus gedung-gedung di daerah perkotaan.
Baca Juga: ASO TV Digital Jabodetabek Mundur Hingga 2 November, Apa Penyebabnya?
GSMA juga menyimpulkan bahwa penataan ulang spectrum 700Mhz, memberikan manfaat ekonomi yang cukup potensial, yaitu diperkirakan sebesar USD11 miliar (Rp161 triliun) untuk perekonomian Indonesia selama periode 2020 – 2030, atau setara dengan tambahan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 1%.
Di sisi lain, kajian The Boston Consulting Group yang diterbitkan pada 2018, menunjukkan keterlambatan harmonisasi atau pemanfaatan frekuensi 700 MHz di Indonesia bakal menyebabkan kerugian sebesar USD 16,9 miliar untuk GDP, USD4,7 miliar untuk pajak, 79.000 usaha dan 152.000 lowongan kerja.