Berkembang di Bisnis Selular Namun Dijual Oleh Presiden Megawati
Berkembangnya industri telekomunikasi berbasis selular, membuat bisnis sambungan internasional pada akhirnya menurun. Kondisi itu memaksa Indosat memulai petualangan baru.
Melalui anak perusahaannya, PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo), Indosat mulai menggenjot bisnis selular pada 1993. Seperti diketahui, Satelindo merupakan operator GSM yang pertama hadir di Indonesia.
Pada 2001, Indosat melebarkan sayap dengan mendirikan PT Indosat Multimedia Mobile yang lebih popular dengan sebutan IM3.
Seperti Satelindo, IM3 juga menawarkan layanan selular GSM, namun segmen yang dibidik adalah kalangan muda yang menjadi pasar potensial.
Demi memperkuat bisnis selular yang terus berkembang pesat, Indosat pada akhirnya mengakuisisi penuh Satelindo pada 2002. Akuisisi itu, menjadikan Indosat sebagai penyelenggara selular terbesar kedua di Indonesia, setelah Telkom Group.
Pada 1994, Indosat melepas saham, tak hanya di Bursa Efek Jakarta (BEJ) namun juga New York Stock Exchange (NSYE), AS. Langkah public offering itu, menjadikan Indosat sebagai perusahaan publik. Menjadikannya sebagai PT Indosat Tbk.
(Namun kelak dengan berbagai pertimbangan, terutama fee yang cukup mahal, langkah dual listing tersebut berakhir. Delisting Indosat di NYSE efektif pada 16 Mei 2013).
Titik balik Indosat terjadi saat Megawati menjabat sebagai presiden. Dengan alasan memerlukan dana segar untuk membantu Indonesia keluar dari krisis ekonomi, Megawati terpaksa menjual Indosat.
Keputusan Megawati menjual Indosat disesali banyak pihak hingga saat ini. Pasalnya, Indosat adalah perusahaan yang sangat sehat, senantiasa menghasilkan keuntungan, dan mejadi salah satu pembayar pajak terbesar.
Indosat juga memiliki posisi yang sangat strategis di industri telekomunikasi nasional yang semakin berkembang pesat.
Seperti diketahui, pada akhir 2002, pemerintah Indonesia menjual 41,94% saham ke Singapore Technologies Telemedia (STT). Dengan demikian, Indosat kembali menjadi PMA.
Saat itu, STT mengeluarkan dana US$ 630 juta atau Rp 5,62 triliun (kurs Rp 8.900/US$) untuk pembelian 41,94% saham yang setara 434.250.000 saham seharga Rp 12.950 per saham.
Baca Juga: Indosat HiFi Resmi Hadir, Ini Daftar Harga 4 Internet Rumahan dari Operator Selular
Di bawah majikan baru, pada November 2003, Indosat melakukan penggabungan usaha ketiga anak perusahaan, yaitu IM3, Satelindo, dan Bimagraha.
Penggabungan itu mengubah struktur perusahaan dan produk-produk turunannya, menjadi Matrix (pasca bayar), Indosat Mentara (prabayar), dan IM3 (prabayar).
Corporate action Indosat terus berlanjut, di mana pada 1 Maret 2007, STT menjual kepemilikan saham Indosat sebesar 25% di Asia Holding Pte. Ltd, ke Qatar Telecom.
Tepat di akhir 2008, saham Indosat dimiliki oleh Qatar Telecom (QTel) secara langsung sebesar 40,81%. Dari penjualan seluruh sahamnya, STT mendapat untung berlipat.
Saat itu, QTel rela merogoh US$ 1,8 miliar) atau setara dengan Rp 16,740 triliun (kurs 9.300/US$) untuk mengambil kepemilikan Indosat dari tangan STT.
Penjualan saham STT kepada Qtel tidak mengubah porsi saham lainnya. Pemerintah Indonesia dan publik, masing-masing masih menggenggam 14,29% dan 44,90%.
Namun pada 2009, QTel menambah porsi kepemilikan Indosat melalui tender offer. Sebanyak 24,19% saham seri B dibeli dari publik, menjadikan total kepemilikan QTel sebesar 65%.
Dengan demikian, per 30 September 2012, komposisi pemegang saham Indosat adalah QTel Asia (65%), Skagen AS (5,59%), pemerintah Indonesia (14,29%), dan publik (15,12%).
Kepemilikan Ooredoo yang mayoritas di Indonesia, membuat QTel memperluas jejaring bisnis yang sebelumnya sudah dimiliki.
Selain Indonesia, Kuwait, Qatar, dan Oman, Ooredoo juga beroperasi di enam negara lainnya, yaitu Palestina, Irak, Tunisia, Aljazair, Maldives, dan Myanmar.
Namun dari kesemuanya, portofolio Ooredoo di Indonesia adalah yang paling strategis. Mengingat Indosat adalah operator terbesar, baik dari sisi pendapatan maupun basis pelanggan, dibandingkan operator lainnya.
Berubah Menjadi Indosat Ooredoo

Dengan porsi kepemilikan yang terbilang mayoritas, QTel yang kemudian mengganti nama menjadi Ooredoo, menjadi leluasa untuk mengembangkan Indosat.
Keseriusan Ooredoo dalam membangun Indosat, tercermin dari nilai Capex (capital expenditure) Indosat yang terus meningkat setiap tahun.
Capex yang digelontorkan difokuskan pada modernisasi jaringan, terutama untuk mendukung langkah Indosat dalam meluncurkan layanan internet cepat berbasis 4G LTE pada awal 2015.
Ooredoo bahkan dengan tegas menolak upaya divestasi yang kerap didengungkan sejumlah pihak agar pemerintah membeli kembali Indosat dari QTel.
“Investasi yang dilakukan Ooredoo di Indosat bersifat jangka panjang. Seperti halnya di negara-negara lain, kehadiran Ooredoo di Indonesia merupakan kesempatan bagi kami untuk berupaya meningkatkan kualitas masyarakat sejalan dengan kemajuan teknologi selular”, ujar Nasseer Marafih, Group CEO Ooredoo, saat Selular menyambangi kantor pusat Ooredoo di Doha, Qatar (25/10/2015).
Di sisi lain, seiring dengan perubahan perilaku konsumen yang dipicu oleh teknologi selular generasi keempat (4G LTE), Indosat kembali bertransformasi.
Pasca perubahan nama holding company, dari Qatar Telecom menjadi Ooreodo, pada 19 November 2015, operator telekomunikasi terbesar kedua di Indonesia itu, resmi mengubah nama menjadi Indosat Ooredoo.
Tentu saja, re-branding ini bukan sekedar pergantian logo semata. Dengan mengawinkan nama Ooredoo, perusahaan ingin menancapkan persepsi baru sebagai pemimpin layanan digital dan menuju perusahaan telekomunikasi digital terdepan di Indonesia.
Untuk mencapai target tersebut, Indosat Ooredoo bertekad untuk menghadirkan layanan digital yang lebih mudah diakses, simpel, dan terjangkau untuk semua pihak melalui tiga pilar kekuatan baru.
Yaitu, produk dan layanan yang memberi kebebasan, jaringan data yang unggul, dan memperlakukan pelanggan sebagai sahabat.
Sejalan dengan target perusahaan yang ingin menjadi pemimpin di layanan data, Indosat Ooredoo gencar melakukan modernisasi jaringan. Implementasi 4G LTE di frekuensi 1800 Mhz juga sangat mendukung ambisi Indosat itu.
Dengan modernisasi yang massif di banyak kota di Indonesia, Indosat Ooredoo bakal memiliki kualitas jaringan yang handal. Sehingga pelanggan, khususnya pengguna data tak ragu memakai jasa Indosat.
Merger Indosat Tri Indonesia Hasilkan Indosat Ooredoo Hutchison

Babak selanjutnya dari perjalanan panjang Indosat, adalah keberhasilan perusahaan saat melakukan merger dengan operator selular yang selama ini menjadi salah satu pesaingnya, yaitu Tri Hutchison (3 Indonesia).
Langkah merger tak lepas dari upaya kedua perusahaan meningkatkan kapabilitas agar tetap menjadi yang terdepan di tengah iklim kompetisi yang semakin ketat.
Seperti diketahui, setelah harus mengalami beberapa kali penundaan, akhir Desember 2021 menjadi pamungkas dari proses merger Indosat Ooredoo dan 3 Indonesia.
Setelah turunnya persetujuan dari OJK dan Kementerian Kominfo, penggabungan kedua operator yang melahirkan entitas baru, yaitu Indosat Ooredo Hutchison (IOH), efektif dilakukan pada 4 Januari 2022.
Pasca penggabungan, IOH dikendalikan bersama oleh Grup Ooredoo dan CK Hutchison. Perusahaan akan tetap tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), dengan porsi kepemilikan PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA) sebagai perwakilan pemerintah 9,63% saham.
Sisanya, PT Tiga Telekomunikasi Indonesia memegang 10,77% saham, dan publik memegang 13,96% saham perusahaan.
Rasio pertukaran penggabungan yang disepakati di mana pemegang saham Indosat saat ini (Ooredoo Qatar) akan memiliki 67,4% dan pemegang saham H3I akan memiliki 32,6% dari perusahaan hasil penggabungan.
Untuk proses merger ini Kominfo mengungkapkan beberapa syarat. Pertama, penambahan site layanan hingga 2025 sesuai dengan jumlah desa dan kelurahan belum terlayani yang diajukan proposal.
Kedua, mengembalikan pita frekuensi radio selebar 10 Mhz kepada negara. Proses pengembalian dalam waktu satu tahun.
Baca Juga: GEGER! Indosat Ooredoo Hutchison dan Telkom Berkolaborasi!
Tuntasnya proses merger, menjadikan IOH sebagai perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Indonesia. Sebanyak 100 juta pelanggan diangkut oleh IOH dan perkiraan pendapatan tahunan mencapai US$3 miliar.
“Kombinasi Indosat dan H3I akan menciptakan perusahaan telekomunikasi dan internet digital kelas dunia yang lebih besar sehingga memberikan nilai lebih bagi pemegang saham, pelanggan, serta Indonesia,” ujar Vikram Sinha, Direktur Utama IOH.
Itulah perjalanan panjang 55 tahun Indosat yang kini telah berganti nama menjadi IOH. Lebih dari lima dekade, semangat transformasi Indosat tak pernah luntur.
Perusahaan bahkan melakukan merger dan mengubah nama menjadi IOH, sebagai bagian dari transformasi menjadi perusahaan digital terkemuka.