Jumat, 1 Agustus 2025
Selular.ID -

Dinilai Jadi Ancaman Kebebasan Berekspresi, AJI Indonesia Desak Kominfo Batalkan Aturan PSE

BACA JUGA

Selular.ID – AJi Indonesia telah menilai aturan PSE lingkup privat bisa jadi ancaman dalam kebebasan berekspresi. Maka mendesak Kominfo untuk segera batalkan.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI), jadi yang terdepan menyuarakan rasa ketidakpuasan terhadap Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).

Sebelum AJI ada juga Koalisi Advokasi Permenkominfo 5/2020 telah meminta agar Kominfo membatalkan aturan tersebut.

Pada Mei 2021 ada sekitar 25 organisasi masyarakat sipil dari sejumlah negara, termasuk Indonesia, mengirim surat terbuka agar MenKominfo Johny G.Plate mencabut beleid itu.

Baca Juga: Daftar 100 PSE Peringkat Teratas yang Belum Terdaftar di Kominfo, Ada Yahoo hingga Alibaba

Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito, menilai aspirasi yang disampaikan ke Menkominfo tidak dianggap pada masih ada pihak yang terancam.

“Tapi ternyata Kominfo tidak mau mendengarkan aspirasi publik. Padahal Permenkominfo 5/2020 akan berdampak luas pada publik, termasuk komunitas pers,” Ujar Sasmito

Sasmito menilai beleid tersebut tidak hanya persoalan administratif semata, melainkan sebagai upaya agar PSE tunduk pada ketentuan Permenkominfo 5/2020.

“Penundukan ini artinya memberikan pintu bagi Kominfo dan institusi pemerintah lainnya untuk mengawasi dan menyensor,” kata Sasmito.

Ada 4 pasal yang AJI Indonesia krusial di dalam Permenkominfo 5/2020  berisiko mengancam kebebasan pers secara langsung di Indonesia.

Baca Juga: Kominfo Bantah Pendaftaran PSE Untuk Pengendalian: Hanya Pendataan

  1. Pasal 9 ayat (3) dan (4)

yang memuat ketentuan PSE swasta tidak memuat informasi yang dilarang. Kriteria informasi dilarang tersebut meliputi yang melanggar undang-undang, meresahkan masyarakat, dan mengganggu ketertiban umum.

Kriteria “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum” tersebut dinilai karet karena membuka ruang perdebatan, terlebih konten yang mengkritik lembaga negara atau penegak hukum.

Apalagi peraturan tersebut tidak diatur klausul ketat mengenai standar, juga tidak melibatkan pihak independen  untuk menilai konten, dan tidak memuat klausul soal mekanisme keberatan dari publik.

Bisa jadi berita dan konten yang mengungkap soal isu pelanggaran HAM seperti di Papua, pada kelompok LGBTQ atau liputan investigasi yang membongkar kejahatan,

Akan dianggap meresahkan, mengganggu, atau dinilai hoaks oleh pihak-pihak tertentu, bahkan oleh pemerintah dan lembaga penegak hukum. .

2. Pasal 14

Mengatur permohonan pemutusan akses atau blokir terhadap informasi yang meresahkan atau mengganggu ketertiban umum bisa dilakukan oleh masyarakat.

Ketentuan ini berisiko beri peluang, bagi mereka yang memiliki agenda politik, dapat mengajukan blokir terhadap konten/berita yang jadi konsumsi penting publik, tapi dinilai sepihak meresahkan publik atau mengganggu ketertiban umum.

3. Pasal 21 dan Pasal 36

PSE wajib memberikan akses sistem elektronik dan data elektronik ke kementerian/lembaga untuk pengawasan dan ke APH untuk penegakan hukum.

AJI menilai ketentuan ini berisiko menjadi ruang bagi pemerintah untuk mengawasi kerja media.

Pemerintah dan aparat dengan mudah bisa mengakses data pribadi dan membuka ruang pelanggaran hak privasi, termasuk pada jurnalis-jurnalis yang menjadi target.

Jurnalis juga harus meningkatan kesadaran terkait privasi dan keamanan digital. Salah satunya dengan mempelajari kerentanan penggunaan platform atau aplikasi sejak awal.

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU