Menanggapi pasar crypto yang mulai meredup, Timo juga menjelaskan jika hal ini wajar terjadi di pasar instrumen keuangan yang lain.
Hal ini karena pasar instrumen keuangan memiliki fase atau siklus.
“Di fase saat ini kami justru melihat momentum bagi investor untuk merefleksikan diri untuk menambah informasi hingga mengedukasi,” jelas Timo.
“Khususnya literasi finansial dalam pengelolaan keuangan dan manajemen risiko,” lanjutnya.
Timo juga menjelaskan aset crypto memang terkenal dengan volatilitasnya.
Stablecoin seperti USDT dan USDC dapat menjadi pilihan bagi pemula yang takut akan volatilitas harga crypto.
Dia menjelaskan stablecoin adalah aset crypto yang secara khusus terancang atau terpatok dengan sebuah aset tertentu.
Misalnya, mata uang dolar AS atau komoditas lain seperti emas dengan perbandingan 1:1.
Hal ini yang membuat PINTU memiliki fitur yaitu Pintu Earn yang menawarkan pengguna mendapatkan imbalan dalam bentuk Annual Percentage Year (APY).
“Pembayarannya per jam dan tanpa periode penguncian menjadi salah satu pilihan investor untuk berinvestasi khususnya pada stablecoin USDT/USDC yang memiliki risiko lebih rendah,” jelasnya.
Timo juga mengungkapkan jumlah investor crypto di Indonesia bertumbuh dua kali lipat dalam 1 tahun terakhir.
Dari yang awalnya 6 juta di awal 2021 menjadi 12 juta di awal 2022.
Ini artinya jumlah investor crypto sudah dua kali melebihi jumlah investor saham di Indonesia.
“Namun, investasi aset crypto di Indonesia baru memasuki tahap awal dengan penetrasi baru mencapai 4% dari jumlah populasi,” ujarnya.
Dengan meningkatnya pengetahuan dan literasi masyarakat mengenai cryptocurrency tentunya investasi aset crypto yang bersifat global dapat menjadi salah satu instrumen investasi yang menarik untuk dipilih masyarakat untuk menyimpan maupun meningkatkan asetnya.
Baca juga: Terra Luna Coin Anjlok dari Rp1,2 Juta Jadi Rp15 Ribu per Koin, Ini Penyebabnya