Jumat, 1 Agustus 2025
Selular.ID -

Anti Klimaks XL Axiata (Catatan Lelang Frekuensi 2,1 Ghz dan 2,3 Ghz)

BACA JUGA

Uday Rayana
Uday Rayana
Editor in Chief

JaringanXL_1Jakarta, Selular.ID – Setelah tertunda cukup lama, akhirnya Kementrian Kominfo merampungkan lelang frekuensi di 2,1 Ghz dan 2,3 Ghz. Telkomsel didaulat menjadi pemilik baru spektrum 2,3 Ghz seluas 30 Mhz, setelah melakukan penawaran harga tertinggi, yakni sebesar Rp 1,007 triliun.

Sedangkan Tri Hutchinson bersama Indosat Ooredoo menjadi pemenang kembar di 2,1 Ghz. Keduanya sama-sama mengajukan penawaran sebesar Rp 423 miliar dan berhak atas sisa kanal selebar masing-masing 5 Mhz.

Sesuai ketentuan PM lelang, Telkomsel memang tak diperbolehkan untuk mengikuti tender di 2,1 Ghz. Karena operator yang identik dengan warna merah ini sudah diputuskan menjadi pemenang di frekuensi 2,3 Ghz. Sehingga lelang di 2,1 Ghz hanya diikuti oleh tiga peserta (XL, Indosat Ooredoo dan Tri), setelah Smartfren memutuskan untuk mundur dengan alasan tak ingin membangun ekosistem baru.

Melongok kembali proses pertarungan memperebutkan kedua frekuensi tersebut, menarik mengamati posisi XL Axiata. Pasalnya, manuver operator anak perusahaan Axiata Group itu, terbilang tak konsisten. Dalam dua lelang itu, penawaran yang diajukan oleh XL bak bumi dengan langit.

Proses lelang pertama, yakni 2,3 Ghz yang dimulai pada Senin (16/10/2017), baru diketahui pemenang esok harinya. Ibarat Real Madrid melawan Las Palmas, tim debutan di La Liga musim ini, kemenangan Telkomsel terbilang tak mudah, karena terjadi pada ronde ke-37.

Indosat mampu bertahan hingga ronde ke-36 dengan harga penawaran terakhir sebesar Rp 992 Miliar. XL Axiata terakhir melakukan penawaran di ronde ke-13 sebesar Rp 691 Miliar, Hutchinson Tri Indonesia Rp 597 Miliar dan Smartfren di ronde 6 dengan harga Rp 468 Miliar.

Tak berlebihan jika dalam proses lelang 2,3 Ghz, XL memainkan peranan peranan penting. Ia menjadi kuda hitam karena menjadi penawar tertinggi ketiga. Tak ingin dipecundangi Indosat maupun XL, Telkomsel yang sejak awal all out memenangkan frekuensi itu, tentu harus merogoh kocek lebih dalam, yang kelak berdampak pada BHP frekuensi.

Berbeda dengan 2,3 Ghz yang panas membara, lelang pada frekuensi 2,1 Ghz terbilang adem ayem. Lagi-lagi penyebabnya adalah XL. Entah kenapa, kali ini XL memilih untuk tidak jor-joran. Tak diketahui berapa persisnya penawaran yang diajukan oleh operator yang identik dengan warna biru itu.

Yang pasti, proses lelang terbilang cepat. Tak sampai sore, pemenang lelang yang digelar pada Senin (30/10/2017), sudah diketahui. Uniknya, baik Indosat Ooredoo maupun Tri Hutchinson kompak mengajukan harga sebesar Rp 423 miliar. Bagaimana proses lelang bisa berlangsung secepat itu, hanya ketiga operator tersebut yang tahu.

Dengan dua manuver yang berbeda, timbul pertanyaan, sebenarnya sejauhmana ketertarikan XL terhadap lelang di kedua frekuensi itu?

Jauh sebelum proses lelang dimulai, Dirut XL Axiata Dian Siswarini mengatakan bahwa pihaknya tetap mengincar tambahan spektrum di 2,1 GHz. Pasalnya posisinya paling menguntungkan.

Kanal yang saat ini mereka kuasai, yakni di blok 8, 9, dan 10, berdampingan (contiguous) dengan blok 11 dan 12 (yang dilelang) bekas peninggalan Axis yang dikembalikan ke pemerintah sebagai syarat merger akuisisi dengan XL. Posisi contiguous sangat penting karena terkait dengan efisiensi jaringan.

“Jika bisa menguasai kanal 11 dan 12, kami akan menggunakan metode carrier aggregation dengan menggabungkan tiga spectrum berbeda yakni di 900 MHz, 1800 MHz, dan 2,1 GHz. Hal ini jelas akan menguntungkan bagi perusahaan dan pelanggan karena meningkatkan kualitas akses internet”, ujar Dian dalam satu kesempatan.

Lantas apa yang menyebabkan keinginan Dian berbeda dengan realisasinya?

Terlepas dari persoalan non teknis, saya mencoba mengerucutkan persoalan tersebut pada dua hal. Yakni, urgensi dan dukungan finansial.

Dari sisi urgensi, sesungguhnya XL tidak dalam posisi yang amat membutuhkan. Dengan jumlah pelanggan mencapai 50,5 juta per semester I-2017, XL terbilang tak kesulitan dalam mengelola jaringan, meski penggunanya datanya melonjak signifikan.

Pasalnya, operator yang bermarkas di kawasan Mega Kuningan itu, punya lebar spektrum 47,5 MHz. Masing-masing 10 MHz di 900 MHz, 22,5 MHz di 1.800 MHz (pasca mengakusisi Axis Indonesia pada 2014 lalu), dan 15 MHz di spektrum frekuensi 2,1 GHz.

Sementara dari sisi keuangan, XL saat ini masih dalam proses recovery pasca akusisi Axis yang membuat posisi keuangan mereka berdarah-darah. Seperti diketahui, keberanian mengakuisisi operator asal Arab Saudi senilai USD 865 juta yang rampung pada 2013, membuat kinerja XL tertekan dan belum kembali moncer hingga kini.

Melongok ke belakang, setahun setelah proses akusisi rampung, XL mencatat kerugian Rp 891 miliar pada 2014. Begitupun pada 2015, perusahaan masih harus menelan kerugian, meski angkanya menurun signifikan, yakni Rp25 miliar.

Memang sepanjang 2016, performa XL memang mulai membaik. Operator yang identik dengan warna biru itu, mencatat laba bersih sebesar Rp376 miliar. Ini adalah laba pertama yang diraih perusahaan, setelah dua tahun berturut-turut mengalami kerugian.

Begitu pun pada 2017. Tercatat, laba bersih selama sembilan bulan sebesar Rp 238 milliar, meningkat sebesar 49%.

Meski kembali menuai laba, tak mudah bagi XL untuk mengembalikan performa dengan cepat. Kondisi pasar yang telah jenuh, tarif data yang murah, persaingan dengan para pemain OTT, dan keharusan untuk terus menggelontorkan Capex besar, terutama di sisi jaringan, membuat hampir semua kinerja operator termasuk XL terus tertekan.

Di sisi lain, dalam proses lelang ini, tak ada dukungan penuh dari induk usaha, yakni Axiata Group. Kelompok usaha yang berbasis di Malaysia itu, tak menggelontorkan dana sebagai tambahan amunisi.

Alhasil, dalam pandangan saya pribadi, pertarungan memperebutkan kanal tersisa, baik di 2.3 Ghz maupun di 2,1 Ghz, dapat disebut sebagai anti klimaks bagi XL.

Bagaimana menurut Anda?

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU