Jakarta, Selular.ID – Tender frekuensi 2,3Ghz telah selesai dilakukan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI dengan hasil yang luar biasa dan diyakini akan berdampak signifikan bagi penerimaan negara. Tender ini mampu membukukan harga tiga kali lipat dari harga pembukaan yang ditawarkan yakni mencapai harga Rp1,007 triliun.
Angka Rp1,007 triliun hasil tender frekuensi 2,3Ghz ini pun dinilai sebagian pihak terlalu mahal. Hal tersebut dapat tercermin dari penawaran yang dilakukan oleh para peserta lelang dimana XL Axiata hanya mampu memberikan penawaran tertinggi sebesar Rp691 Miliar, Hutchinson Tri Indonesia Rp597 Miliar dan Smartfren bahkan hanya mampu menawar dengan harga Rp468 Miliar. Hanya Indosat saja yang terlihat bersaing ketat hingga bid ke-36 dengan harga Rp992 miliar.
Tetapi dengan perolehan harga berkisar tiga kali lipat dari harga awal yang hanya Rp366 miliar, apakah benar harga hasil lelang frekuensi 2,3Ghz ini terlalu mahal?
Berdasarkan kajian dari kumpulan berbagai data yang dilakukan redaksi Selular, harga yang harus dibayarkan Telkomsel untuk bisa mendapatkan slot 30Mhz di kanal 2,3Ghz ini masih terbilang normal. Untuk kepemilikan frekuensi sebesar 2x15Mhz di kanal 900Mhz saja Telkomsel harus membayar BHP per tahunnya sebesar Rp1,4 Triliun. Sedangkan di frekuensi 1800 Mhz Telkomsel harus membayar sebesar Rp1,2 Triliun untuk 2×22,5Mhz spektrum yang dimilikinya. Terendah, Telkomsel harus membayar Rp900 Miliar untuk frekuensi 2100Mhz untuk kapasitas sebesar 2x15Mhz.
Selain itu jika melihat data harga per Mhz per populasi (PMP) hasil lelang yang dibayarkan oleh operator-operator lain di dunia yang memiliki frekuensi di rentang 2300-2500Mhz, harga PMP yang harus dibayarkan Telkomsel untuk frekuensi 2300Mhz yang baru saja dimenangkannya terbilang masih rendah.
Harga PMP yang harus dibayarkan Telkomsel hanya USD0,08, sementara Australia pada tahun 2011 harus membayar USD0,33, Hongkong pada tahun 2009 harus membayar USD0,40, India pada tahun 2011 sebesar USD0,34 dan Singapura pada tahun 2017 sebesar USD0,37.
Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai sudah selayaknya negara mendapatkan tambahan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari lelang frekuensi radio tersebut mengingat frekuensi merupakan sumber daya terbatas dan tidak dapat diperbaharui.
“Saya berharap untuk lelang frekuensi radio di 2,1 Ghz juga bisa memberikan tambahan PNBP yang signifikan bagi negara. Sebab saat ini negara tengah membutuhkan tambahan pendapatan. Sehingga Kominfo harus bisa memastikan harga lelang 2,1 Ghz tidak akan jauh berbeda dengan 2,3 Ghz agar pendapatan negara dari lelang frekuensi radio menjadi maksimal,” terang Yustinus.