Di awal kepemimpinannya, Rudiantara langsung mendapat apresiasi dari publik dan dunia usaha. Pasalnya, ia mempertegas pentingnya aturan TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri) yang sebelumnya sudah disusun oleh Kementerian Perdagangan di era Presiden SBY.
Aturan ini adalah terobosan yang sangat baik karena bisa menjadi titik balik posisi Indonesia, dari sekedar pasar menjadi produsen. TKDN yang merupakan penjabaran dari Peraturan Menteri Perdagangan No 82 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Telepon Seluler, Komputer Genggam, dan Komputer Tablet ini, dengan gamblang menjelaskan kewajiban para vendor untuk dapat memenuhi TKDN hingga 30% pada 2017.
Selain mendorong Indonesia menjadi kiblat manufaktur ponsel seperti China dan India, aturan TKDN juga sekaligus untuk menekan impor ponsel yang selama ini terus membengkak. Seperti diketahui, nilai impor ponsel Indonesia rata-rata per tahun mencapai USD 3,5 miliar. Nilai tersebut berkontribusi pada defisit transaksi perdagangan. Ditargetkan aturan ini, bisa mengurangi hingga 30% impor ponsel sepanjang 2017.
Selain TKDN, prestasi lain yang patut diacungi jempol adalah sukses penataan pita frekuensi 1.800MHz di 31 wilayah Indonesia. Penataan di seluruh Indonesia resmi selesai pada 17 November 2015. Lebih cepat satu setengah bulan dari yang direncanakan.
Alhasil, teknologi internet cepat 4G LTE sudah bisa diterapkan di mana pun, sesuai dengan pertimbangan operator penyelenggara. Sehingga masyarakat dapat menikmati layanan broadband 4G LTE di 1.800 Mhz yang mampu menawarkan kecepatan hingga 100 Mbps.
Melengkapi 4G LTE, Rudiantara juga sukses merampungkan tender Proyek Palapa Ring. Seperti diketahui, Palapa Ring merupakan proyek besar pembangunan jaringan utama di seluruh wilayah Indonesia untuk bisa terkoneksi dengan internet sekaligus target Rencana Pita Lebar Indonesia 2014 hingga 2019. Nantinya, masyarakat pedesaan bisa menikmati internet dengan kecepatan 10 Mbps dan 20 Mbps bagi masyarakat perkotaan.
Teknologi broadband dan Palapa Ring memang menjadi concern dari Rudiantara. Ia berharap pembangunan infrastruktur digital yang massif dapat memperluas konektifitas yang menjadi jantung bagi tumbuhnya ekonomi digital.
Dua program inti tersebut, diyakini menjadi kunci bagi Indonesia dalam meningkatkan peringkat World Economic Forum (WEF) untuk Network Readiness Index (NRI) yang menjadi indikator dalam pembangunan ekonomi digital suatu negara.
Hadirnya layanan 4G LTE, sejalan dengan rampungnya proyek Palapa Ring, dinilai merupakan awal yang bagus bagi Rudiantara dalam tahun pertama masa kerjanya di Kemkominfo. Menteri yang akrab dipanggil Chief RA itu pun makin bersemangat untuk membenahi tiga hal yang menjadi agenda kerja utama Kemkominfo, yakni telekomunikasi, penyiaran dan internet.
“Membuat industri ini menjadi lebih efisien menjadi salah satu agenda bersama. Kita harus mendorong network sharing, mencoret biaya yang membuat beban industri seperti interkoneksi, dan segala macam biaya lainnya,” tegas Rudiantara saat membuka gelaran ICS 2016 di JCC (2/6/2016).
Sayangnya, kiprah yang mentereng pada 2015, tak lagi mulus di tahun-tahun selanjutnya. Sepanjang 2016 dan kini memasuki semester kedua 2017, prestasi Rudiantara jauh dari kesan kemilau. Banyak program kerja yang ia usung menjadi sekedar janji yang belum terealisasi hingga kini.
Apa saja janji-janji yang belum dipenuhi oleh Rudiantara, Selular merangkumnya sebagai berikut :
Interkoneksi
Revisi tarif interkoneksi hingga kini masih menggantung. Sejatinya pada September 2016, Kemkominfo sudah memutuskan tarif interkoneksi yang baru. Tarif baru untuk percakapan suara lintas operator (off-net) untuk penyelenggara jaringan bergerak selular adalah Rp 204, turun dari sebelumnya Rp 250.
Namun keputusan Kemkominfo itu telah berkembang menjadi polemik. Operator terbelah menjadi dua kubu, menyetujui dan kontra, dengan berbagai alasan masing-masing.
Sejak awal, Indosat Ooredoo, XL Axiata, Smartfren, dan Tri Hutchinson secara terbuka mendukung revisi tarif interkoneksi. Dirut XL Axiata Dian Siswarini malah berharap tarif interkoneksi turun hingga 40%. Dian haqul yakin penurunan tarif interkoneksi yang signifikan bakal berpengaruh terhadap tarif retail yang nantinya dijatuhkan kepada pelanggan.
“Bagusnya turun 40%, biar kita lebih mudah berkreasi saat mengemas dan menawarkan paket bundling kepada pelanggan. Ini karena harga off-net mahal, orang masih koleksi banyak nomor,” katanya.
Jika hampir semua operator mendukung rencana, tidak dengan Telkomsel. Anak perusahaan Telkom ini menilai penurunan tarif interkoneksi sesungguhnya tidak berdampak langsung kepada turunnya tarif ritel.
Sebagai operator yang merasa dirugikan dengan keputusan tersebut, Telkomsel secara resmi telah mengirimkan surat keberatan Rudiantara. Surat tersebut berisi sejumlah poin yang dinilai sangat krusial. Diantaranya proses keputusan yang tidak sejalan dengan aturan tentang interkoneksi yang berbasis biaya penggelaran jaringan, besaran nilai penurunan, hingga potensi kerugian yang akan dialami Telkomsel dalam tahun-tahun mendatang.
Network Sharing
Sejak awal menjabat, Rudiantara telah menegaskan bahwa aturan perlu adanya network sharing. Ia berpandangan bahwa network sharing merupakan salah satu jalan keluar bagi pemerintah untuk bisa mewujudkan pemerataan pembangunan hingga ke pelosok daerah di luar Jawa secara efisien.
Untuk menggolkan rencana tersebut, Rudiantara mengajukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 52 tahun 2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan PP 53 tahun 2000 tentang frekuensi dan orbit satelit. Revisi dari kedua aturan ini diyakini banyak pihak akan mengubah lanskap dari industri telekomunikasi karena munculnya model bisnis Mobile Virtual Network Operator (MVNO) dan berbagi jaringan aktif (network sharing).
Namun seperti halnya interkoneksi, rencana untuk menerapkan aturan menyangkut network sharing lagi-lagi menimbulkan polemik. Banyak pihak tak setuju dengan rencana kebijakan tersebut.
Ombudsman misalnya, menilai bahwa revisi PP 52/53 akan menimbulkan pelayanan yang diskriminatif dimana pemberlakuan berbagi jaringan yang tanpa batasan sedemikian rupa akan membuat operator lebih berkonsentrasi melayani masyarakat di wilayah padat dan rawan terjadi praktek kartel.
Gencarnya kalangan yang mengkritisi langkah Rudiantara memberlakukan network sharing, membuat rencana Kemkominfo merevisi PP 52/53 menjadi tak berujung hingga kini.
Permen OTT
Tak berlebihan jika para pemain Over The Top (OTT), seperti Facebook, Google, Line, Whats App dan lainnya disebut sebagai parasit. Pasalnya, aplikasi yang ditawarkan telah mengubah kebiasaan pengguna secara drastis namun cenderung merugikan operator.
Meski sukses menarik pelanggan, para pemain OTT ini tidak mengeluarkan investasi besar. Ia justru mengeruk keuntungan di atas jaringan milik operator yang rela mengeluarkan Capex jumbo untuk membangun hingga ke seluruh pelosok Tanah Air.
Atas kesenjangan tersebut, berbagai pihak menuntut agar pemerintah segara membuat, aturan main yang jelas dari para penyedia layanan OTT.
Derasnya desakan membuat Rudiantara menargetkan dapat menuntaskan PM tentang OTT pada Maret 2016. Alih-alih menyelesaikan PM tersebut, pada April 2016, Kemkominfo baru mengeluarkan draft uji publik PM OTT. Malahan hingga sekarang, aturan itu pun belum terealisasi dan (lagi-lagi) dijanjikan baru akan kelar pada 2017 ini.
Tender Frekwensi 1.900 dan 2.300 Ghz
Pada Februari 2017, Rudiantara membuat pengumuman yang memang telah ditunggu oleh semua operator. Lelang frekwensi 2.100 dan 2.300 Ghz.
Chief RA mengatakan bahwa pihaknya siap untuk memajukan lelang Frekuensi 2.1 (10 Mhz) dan 2.3 (15 Mhz). Rencananya pada Maret 2017, pihaknya akan melakukan uji publik RPM mengenai lelang frekwensi dan membuka dokumen tender kepada publik. Diharapkan pada pertengahan 2017, pemenang tender frekuensi sudah akan diketahui.
Dalam perkembangannya, Rudiantara mengatakan RPM tersebut harus disempurnakan, sehingga harus ditunda hingga awal April 2017.
Sayangnya memasuki April 2017, PM yang ditunggu juga tak kunjung dibuka kepada publik. Imbasnya, kelanjutan dari rencana lelang di kedua frekwensi itu juga tak lagi terdengar hingga kini.
Tak diragukan lagi bahwa lelang frekwensi terkendala oleh gugatan hukum. Seperti diketahui, pada 10 Maret 2017, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan tuntutan yang diajukan PT Internux ke Kemenkominfo. Dalam gugatan itu Internux meminta diberikan spektrum 30 MHz di pita 2,3 GHz tanpa proses lelang untuk produknya, Bolt.
Internux yang merupakan anak perusahaan Lippo Group beralasan, pada 2014 lalu Kominfo juga melakukan hal serupa untuk PT Smart Telecom (Smartfren). Kala itu terjadi gangguan yang membuat Kominfo bertindak cepat dalam memindahkan jaringan Smart Telecom dari frekuensi 1,9 GHz ke 2,3 GHz.
Hal ini menjadi kisruh karena menurut sebagian orang izin frekuensi harus melewati proses pelelangan terbuka. Apalagi, spektrum Smart Telecom yang tadinya seluas 7,5 MHz di frekuensi 1,9 GHz bertambah menjadi 30 MHz di frekuensi 2,3 GHz.
Selain soal gugatan dari Internux, polemik yang beredar saat ini soal jaringan di frekuensi 2,3 GHz juga menyangkut permintaan dari Ombudsman RI. Kemkominfo diminta memberikan izin alokasi frekuensi 2,3 GHz dengan spektrum minimal 15 MHz untuk lisensi nasional ke penyedia Broadband Wireless Access (BWA), PT Corbec Communication.
Permintaan yang disampaikan oleh Ombudsman adalah sesuai dengan putusan Pengadilan Tinggi Negeri (PTUN) No. 37/G/2009/PTUN-JKT yang memenangkan Corbec.
Revisi UU Penyiaran
Kemkominfo berharap revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dapat segera diselesaikan. Saat ini, pembahasan revisi masih berada di Badan Legislasi DPR. Dalam beberapa kesempatan, Rudiantara menargetkan, revisi UU Penyiaran akan rampung pada tahun ini, Sehingga dapat memperkuat tumbuhnya ekonomi digital yang dicita-citakan oleh Presiden Joko Widodo.
Sayangnya, hingga kini pembahasan masih mandeg. Ada beberapa isu yang masih menjadi masalah seperti terkait sistem siaran berjaringan, kewenangan pemerintah, posisi KPI, pengaturan soal kepemilikan silang, porsi iklan, jenis lembaga penyiaran yang ada. hingga konsep peralihan analog ke digital.
Kewenangan KPI memang menjadi perdebatan yang tak berujung. Saat ini, baik KPI Pusat maupun KPI Daerah hanya memiliki kewenangan hingga mengeluarkan rekomendasi. Nantinya, KPI akan lebih kepada konten penyiaran, namun sifatnya memberi masukan terhadap perizinan, bukan sebagai penentu perizinan.
Sekedar diketahui, revisi UU Penyiaran sebenarnya sudah diagendakan sejak 2010 di masa tugas pertama Presiden SBY. Namun kuatnya tarik menarik antar berbagai kepentingan, terutama para pemilik modal yang menguasai jaringan TV nasional, membuat nasib Revisi UU Penyiaran terus menggantung hingga kini.
Sebagai menteri yang tak memiliki basis dan dukungan politik dari Parpol, Rudiantara tentu tidak memiliki daya tawar yang kuat dalam menghadapi para pemilik modal. Sehingga, bisa jadi target untuk menuntaskan Revisi UU Penyiaran hanya sekedar janji belaka.
Tarif Data
Kisruh tarif data yang sudah lama terjun bebas, mencapai puncaknya saat Direktur Indosat Ooredoo Alex Rusli, mengirimkan surat kepada Menkominfo Rudiantara (17/7/2017). Dalam suratnya, Alex menegaskan bahwa industri selular saat ini sudah dalam taraf mengkhawatirkan.
Persaingan yang ketat, membuat hampir semua operator tak punya pilihan selain menggunakan tarif murah sebagai senjata untuk meraih pelanggan. Namun ujungnya kinerja operator semakin terpuruk yang bisa mengancam kelangsungan industri selular secara keseluruhan.
Salah satu opsi yang dilayangkan untuk menghentikan perang tarif adalah pemberlakuan tarif bawah (floor price). Namun, Menkominfo Rudiantara tegas menolak usulan ini.
Alih-alih memberlakukan floor price, Rudiantara meminta agar BRTI segera merampungkan formulasi tarif data kepada BRTI. Rudiantara beralasan, pemerintah tak memiliki wewenang mengatur tarif, namun pemerintah berwenang merumuskan formula tarif, bukan tarif itu sendiri.
Sekedar diketahui, wacana penyusunan formulasi tarif data sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Sejak awal menjabat sebagai Menkominfo, Rudiantara juga menempatkan isu ini sebagai agenda yang akan ia tuntaskan. Bahkan, saat terjadi kasus peretasan terhadap situs Telkomsel pada April 2017 lalu, BRTI berjanji untuk segera mempercepat perumusan formula tarif data.
Merespon permintaan Rudiantara itu, Komisioner BRTI, I Ketut Prihadi Kresna menyatakan pihaknya akan segera mematangkan formula tarif sesuai amanat pasal 28 UU no.36 tahun 1999 tentang telekomunikasi. Khususnya, revisi PM 9/2008 untuk mengakomodir layanan data.
Jika tak ada aral melintang, BRTI menargetkan pada akhir 2017, formulasi tarif data, sudah rampung dan bisa menjadi acuan bagi seluruh operator dalam menerapkan tarif data kepada konsumen.
Apakah janji formulasi tarif data pada akhir 2017 dapat dipenuhi oleh Rudiantara? Kita tunggu saja.