Jakarta, Selular.ID – Jumat, 12 Juni 2015, menjadi episode baru bagi karir Merza Fachys. Bersama dengan lima rekannya yakni Christian Daigneault, Antony Susilo, Marco Paul Iwan Sumampouw, dan Roberto Saputra (kini bergabung dengan Coca Cola Indonesia), ia resmi diangkat menjadi bos baru Smartfren Telecom. Rapat Umum Pemegang Saham Terbatas (RUPST) menyetujui pria berkumis ini sebagai Presiden Direktur menggantikan Rudolfo Pagula Pantoja.
Merza memang bukan orang baru di Smartfren Telecom. Ia jadi salah satu sosok sentral di perusahaan milik Sinar Mas Grup itu sejak Smart Telecom resmi bergabung dengan Mobile-8 Telecom pada 2010 lalu.
Merza dulu merupakan Presiden Direktur di Mobile-8 yang lebih dikenal dengan merek dagang Fren. Perlu lima tahun baginya untuk kemudian kembali ke posisi puncak sebagai orang nomor satu setelah di Smartfren sekian tahun menduduki posisi sebagai Direktur Jaringan.
Memegang pucuk pimpinan Smartfren tentu menjadi hal yang tak disangka oleh Merza. Pasalnya, ia sempat ingin hengkang ketika Mobile-8 mengalami kesulitan finansial. Tetapi tanggung jawab sebagai pemimpin membuat Merza bertahan. Sampai akhirnya operator milik taipan Harry Tanusoedibyo itu, bersedia merger dengan Smart Telecom. Merza diminta menyatukan dua jaringan milik kedua operator yang saat itu babak belur.
Sebagai late comer, memang tak mudah bagi Smartfren untuk bersaing dengan operator GSM yang sudah lebih dahulu established. Kerasnya persaingan membuat pemain-pemain CDMA mau tak mau banting harga. Namun hal itu justru menjadi boomerang. Sejumlah operator berbasis CDMA di Tanah Air, akhirnya memutuskan menghentikan operasi dan menutup layanan.
Sebut saja, Flexi dan StarOne. Begitu pun dengan Esia. Pemain besar di segmen CDMA itu, tak kuat menanggung kerugian yang menggunung. Memasuki 2015, Esia yang dimiliki oleh Bakrie Telecom akhirnya juga membekukan aktivitasnya. Alhasil, tinggal Smartfren yang masih aktif beroperasi.
Seperti halnya pemain-pemain WiMax, nasib operator CDMA tak ubahnya kelinci percobaan. Selain kalah bersaing dengan operator GSM, pemicu lainnya adalah, bayangan kehadiran teknologi 4G (LTE), yang diperkirakan bakal menghentikan perkembangan teknologi CDMA yang ada saat itu.
Mau tak mau, Smartfren harus ikut arus, yakni menerapkan 4G LTE sebagai senjata untuk bersaing dengan operator GSM yang juga bersiap menggunakan teknologi yang sama. Padahal saat itu Smartfren sudah mengadopsi EVDO, yang merupakan teknologi teranyar CDMA.
Tak perlu berfikir panjang, Merza pun mengusulkan kepada para pemegang saham untuk segera berinvestasi ke LTE, sesuai road map teknologi selular di dunia. Meski harus menggelontorkan dana investasi yang tak sedikit, bos Sinar Mas Franky Wijaya pun menyetujui proposal yang diajukan Merza. Smartfren akhirnya migrasi ke 4G LTE dengan tetap mempertahankan jaringan bisnis CDMA.
Pada akhirnya, seperti kita ketahui, Smartfren menjadi operator pertama di Indonesia yang menggelar layanan 4G LTE secara komersial pada Agustus 2015. Operator yang bermarkas di Jalan Sabang, Jakarta Pusat itu, memanfaatkan lebar kanal 30 Mhz di frekwensi 2.300 Mhz yang bisa digunakan untuk layanan 4G, setelah pemerintah menetapkannya sebagai teknologi netral.
Meski demikian, Merza mengaku Smartfren belum akan mematikan layanan CDMA-nya. “Kami akan lihat dulu bagaimana perkembangan teknologi CDMA itu sendiri. Kalau memang sudah tidak berkembang buat apa diteruskan,” jelasnya.
Merza menambahkan salah satu pertimbangan sampai kapan layanan CDMA Smartfren akan terus dipertahankan atau dimatikan adalah nilai ekonomisnya. “Kalau skala ekonomisnya sudah tidak terpenuhi baru akan kami tutup,” pungkasnya dalam satu kesempatan.
Tiga Strategi
Dengan kecepatan mencapai 100 Mbps, tiga kali lebih cepat dibandingkan 3G, 4G LTE menawarkan kenyamanan akses internet yang lebih baik bagi pengguna. Alhasil, teknologi 4G memaksa semua operator dan penyedia layanan akses internet bermigrasi ke bisnis ini, jika ingin terus bersaing terutama di layanan data yang terus hype.
Tuntasnya refarming di frekwensi 1.800 Mhz, membuat semua operator GSM (Telkomsel, XL Axiata, Indosat Ooredoo, Three Hutchinson) terjun ke layanan 4G LTE. Menyusul Bolt Internux dan Smartfren yang sudah lebih dulu menggelar layanan 4G.
Wajar, mulai 2015 hingga kini persaingan layanan 4G semakin sengit. Termasuk Smartfren yang sejak awal menyatakan siap bertarung. Merza pun mengusung tiga strategi khusus.
Strategi pertama, memperluas cakupan layanan 4G. Agresifitas Smartfren memang terlihat mencolok. Hingga Mei 2016, layanan 4G Smartfren sudah menjangkau 188 kota. Merujuk pada data yang dikeluarkan OpenSignal, Smartfren menjadi operator yang paling luas coverage 4G-nya. 70% coverage Smartfren sudah ter-cover 4G LTE.
Strategi kedua, Smartfren memfokuskan pada Carier Aggregation. Yaitu penggabungan teknologi dan frekuensi 4G, sehingga kecepatan akses yang didapat bisa semakin cepat. Smartfren pun menjadi operator pertama yang mengembangkan LTE Advance.
Guna memberikan pengalaman berkomunikasi yang berkualitas kepada pelanggan, Smartfren juga memperkenalkan teknologi VoLTE, yaitu layanan video call berbasis data yang mengandalkan teknologi LTE dari jaringan 4G LTE.
Smartfren menjadi operator pertama di Indonesia yang menawarkan VolTE. Layanan VoLTE milik Smartfren ini telah dapat dinikmati sejak Februari 2016, didukung oleh jaringan 4G LTE Advanced terluas yang menjangkau puluhan kota di Indonesia.
Strategi ketiga adalah menyediakan perangkat 4G berkualitas terbaik namun dengan terjangkau. Harus diakui, smartphone 4G yang ada saat ini masih terbilang mahal. Solusinya, Smartfren menghadirkan mobile wifi, bagi pengguna yang belum ingin berganti ke smartphone 4G. Strategi itu sejalan dengan pola penjualan bundling atau open market handset (OMH) dengan berbagai brand global.
Menurut Merza, teknologi universal yang ditawarkan 4G LTE juga diakui memberikan keuntungan tersendiri bagi Smartfren mengingat dengan 4G LTE sudah tidak ada lagi perbedaan antara operator GSM dan CDMA. Smartfren pun tidak perlu menyiapkan sendiri perangkatnya seperti yang dilakukan saat teknologi selular yang diusungnya masih EVDO.
Selain menerapkan strategi OMH, Smartfren juga rajin menggelar program menarik, seperti paket internet True Unlimited untuk menggaet lebih banyak pelanggan. Paket ini menawarkan akses internet yang benar-benar bebas tanpa bataasan kecepatan ataupun kuota.
“4G itu dipersepsikan dengan tarif mahal dan kuota yang cepat habis sehingga membuat orang enggan meggunakan layanan ini. Dengan adanya paket tersebut diharapkan pelanggan yang belum mencoba 4G mau beralih menggunakan layanan ini,” ujar Merza.
Tiga strategi yang diusung Smarfren terbukti mampu mengatrol pengguna 4G secara signifikan. Saat ini terdapat 4 juta pelanggan aktif 4G dari total 11 juta pelanggan Smartfren.
Nafas Kuda
Meski sudah meluncurkan 4G LTE, harus diakui tak mudah bagi Smartfren bersaing dengan operator GSM, terutama dengan The Big Three (Telkomsel, Indosat Ooredoo, XL Axiata) yang menguasai 75% pangsa pasar. Jika bukan “nafas kuda”, nasib Smartfren boleh jadi akan bernasib sama dengan Esia yang sudah gulung tikar.
Sejak Smart Telecom dan Mobile 8 Telecom bergabung menjadi Smartfren pada 2010, perusahaan memang mengalami pertumbuhan yang signifikan. Positioning sebagai operator penyedia layanan data membuat Smartfren mampu mencatat pertumbuhan di atas rata-rata industri setiap tahunnya, sekaligus mengatrol pendapatan.
Tengok saja, sepanjang semester pertama 2016, Smartfren berhasil meraih pendapatan sebesar Rp 1,58 triliun naik 4,1% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp 1,519 triliun. Pasokan pendapatan didominasi layanan data sebesar Rp 1,32 triliun, suara Rp 139,45 miliar, SMS Rp 63,47 miliar, dan lainnya.
Meski demikian, investasi besar yang digelontorkan, mencapai USD 100 juta setiap tahunnya, terutama untuk menopang ekspansi layanan 4G LTE, membuat rapor Smartfren belum pernah biru hingga kini.
Sepanjang semester pertama 2016, Smartfren masih menelan kerugian Rp 667,7 miliar. Namun angka kerugian itu sudah lebih rendah dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp 815,5 miliar.
Walau pun belum meraih keuntungan, Merza sangat optimis bahwa suatu saat Smartfren akan mampu mengimbangi tiga besar operator yang saat ini masih menguasai pasar. Pasalnya, pertumbuhan layanan data yang merupakan masa depan operator, telah menyumbang sekitar 70% pendapatan perusahaan.