Minggu, 3 Agustus 2025
Selular.ID -

Jalan Terjal Rudiantara! (Catatan Akhir Tahun 2016)

BACA JUGA

Uday Rayana
Uday Rayana
Editor in Chief
Menkominfo Rudiantara (Foto: Hendra/Selular.ID)
Menkominfo Rudiantara (Foto: Hendra/Selular.ID)

Jakarta, Selular.ID – Tak terasa pada Oktober 2016, genap dua tahun Rudiantara menahkodai Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Lama berkecimpung di industri telekomunikasi, membuat Rudiantara mampu dengan cepat memetakan segudang masalah dan solusi yang ingin dicapai. Meski demikian, tak mudah memimpin kementerian strategis ini, mengingat tantangan yang dihadapi sangat kompleks.

Tantangan yang berkembang tak hanya menyangkut persoalan industri telematika (ICT), namun juga menyangkut kesiapan masyarakat dan lembaga-lembaga pemerintahan dalam menghadapi perkembangan teknologi digital yang datang begitu cepat. Sehingga menuntut kita untuk segera beradaptasi agar tak tercecer dalam persaingan global.

Untuk menjawab problematika tersebut, Rudiantara menyiapkan empat program besar yang saling bersinergi. Pertama, percepatan realisasi pembangunan pita lebar (broadband) melalui implementasi 4G dan peningkatan efisiensi industri.

Kedua, peningkatan pelayanan di bidang Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK) dengan memfokuskan pada program Cyber Security dan Governance, pelaksanaan e-Governance dan e-Commerce.

Ketiga, mempercepat migrasi penyiaran dari teknologi analog ke digital untuk meningkatkan efesiensi penggunaan spektrum frekuensi dan terbukanya peluang usaha baru di bidang penyiaran. Dan keempat, meningkatkan pengelolaan Komunikasi Publik melalui program Government Public Relations (GPR).

“Keempat program utama itu, merupakan bagian tak terpisahkan dari program prioritas pembangunan pemerintah secara menyeluruh yaitu pembangunan bidang Pertanian, Energy, Kemaritiman, Pariwisata, Infrastruktur, Perbatasan dan Pengembangan SDM,” ujar Rudiantara dalam satu kesempatan.

Mengacu pada empat program utama itu, Rudiantara pun segera menggeber berbagai program turunan. Diantaranya, penyusunan roadmap e-commerce, penataan registrasi kartu prabayar, sertifikasi SDM di bidang kominfo, literasi TIK bagi kalangan wanita, anak-anak, dan disabilitas, pemberdayaan TIK untuk kalangan usaha, serta penerapan kebijakan TKDN (tingkat kandungan dalam negeri) yang bertujuan untuk memajukan industri ponsel nasional.

Kemudian berlanjut pada penataan frekuensi 1.800 Mhz untuk 4G LTE, konektivitas nasional (melalui proyek Palapa Ring dan backbone pita lebar serat optik di Indonesia Timur), pelaksanaan kewajiban pelayanan umum (KPU/USO), penapisan situs bermuatan negatif, penetapan nomor panggilan tunggal darurat, dan revisi UU ITE.

Diantara program-program tersebut, keberhasilan penataan frekwensi 1.800 Mhz tergolong fenomenal. Pasalnya, terdapat 42 cluster ‎yang sukses ditata oleh empat operator (Telkomsel, XL Axiata, Indosat, dan Hutchison 3) menggunakan metode step-wise.

Banyaknya cluster membuat penataan frekuensi 1.800 MHz di Indonesia terbilang paling rumit sehingga punya resiko tinggi. Ini adalah kali pertama di dunia empat operator berpindah kavling di frekwensi yang sama agar saling berhadapan (contiguous). Umumnya penataan frekwensi di jaringan 1.800 Mhz untuk kepentingan LTE, hanya melibatkan dua atau tiga operator saja.

Meski sangat rumit dan berpotensi menimbulkan class action dari pelanggan, program refarming yang berlangsung Mei – November 2015, nyatanya berjalan sukses. Tak pelak hal ini menjadi sejarah tersendiri bagi Indonesia. Sekaligus dapat dijadikan benchmark oleh ITU (International Telecommunication Union) dan negara-negara lain.

Keberhasilan itu juga menjadi credit tersendiri bagi Rudiantara, pasalnya rencana penataan frekwensi 3G oleh Menkominfo sebelumnya Tifatul Sembiring gagal total. Belajar dari kasus sebelumnya yang cenderung top down, pendekatan yang dipilih Rudiantara lebih melibatkan keseluruhan operator. Mereka diminta bermufakat lebih dulu dan menyelesaikan persoalan secara bersama. Di sini peran pemerintah hanya sebatas fasilitator dan supervisi. Nyatanya, pendekatan ini lebih diterima oleh seluruh operator, sehingga penataan 1.800 Mhz dapat berjalan efektif tanpa timbul gejolak.

Sayangnya, ditengah deretan keberhasilan itu, pencapaian Rudiantara pada 2016 berbanding terbalik dengan tahun sebelumnya. Sejumlah kalangan bahkan menilai ini adalah tantangan terberat. Jika diibaratkan ini adalah jalan terjal, mengingat proses dijalankan sudah berjalan cukup lama. Menimbulkan gesekan yang tinggi, tak hanya kalangan industri sendiri namun juga antar lembaga pemerintahan, hingga parlemen.

Seperti kita ketahui, menteri yang akrab dipanggil Chief RA itu, masih punya dua PR besar yang hingga kini masih menggantung. Yakni, revisi tarif interkoneksi dan revisi PP 52/53 tentang network sharing dan frequency sharing.
Mandeknya aturan interkoneksi baru dan revisi PP 52/53, tak urung membuat kalangan industri bersuara, terutama operator penyokong kebijakan ini.

CEO XL Axiata Dian Siswarini, menyebutkan 2016 merupakan tahun perubahan di industri telekomunikasi. Dari sisi costumer, banyak pelanggan yang beralih dari layanan tradisional ke layanan data. Menggenjot layanan data tentu membutuhkan investment yang besar untuk membangun infrastruktur jaringan. Tak pelak, hal ini memaksa operator Tanah Air mencari strategi yang dinilai efisien dan investasi lebih murah untuk membangun infrastruktur. Cara yang dianggap terbaik dan efisien adalah melalui network sharing.

“Terkait dengan network sharing, makanya kegiatan kita sepanjang 2016 banyak melakukan kerjasama dengan operator lain. Bagaimana cara membangun bareng misalnya mau active sharing atau roaming seperti apa,” ujar Dian.
Akan tetapi untuk memuluskan rencana network sharing, tentu perlu izin dari pemerintah, dalam kaitan di sini Kemkominfo. XL sendiri mengaku sudah melakukan pendekatan dengan pemerintah meski hasilnya belum memuaskan.

“Sayangnya yang kita tunggu-tunggu dari sisi regulasi belum muncul. Rencana tentang interkoneksi yang pemerintah bilang akan terjadi tahun ini, tapi belum kejadian juga. Harapan kami yang dua ini (network sharing dan interkoneksi) supaya bisa benar-benar terlaksana, karena masih menggantung hingga saat ini. Kalau belum kejadian saya ‘gak tahu apakah memang masih banyak yang belum diselesaikan atau ada ketidakpahaman dengan pihak lain,” papar Dian.

Meski belum ada tanda-tanda kepastian, Dian menegaskan dalam mengembangkan broadband, XL akan terus berekspansi ke luar Jawa. Sehingga tidak lagi menunggu pelaksanaan network sharing. Sebagai contoh, September 2016, XL telah memperluas refarming spektrum 900mHz yang menjadikan jaringan 3G XL lebih luas.

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU