
Jakarta, Selular.ID – Dengan populasi terbesar keempat di dunia dan sifat masyarakat yang cenderung konsumtif, membuat pasar ponsel di Indonesia ‘nggak ada matinya. Meski banyak pemain yang telah terkubur karena ketatnya persaingan, pendatang baru tetap bermunculan. Memang tak mudah menaklukkan para pesaing yang sudah malang melintang duluan, namun mereka tetap punya keyakinan tinggi dapat merebut pasar.
Tengok saja langkah Vivo. Pada awal Juni 2015, Vivo, menggebrak pasar Indonesia. Brand smartphone asal Tiongkok itu meluncurkan model anyarnya, yakni X5Pro. Kendati baru resmi menggelar acara peluncuran flagship-nya, berbagai varian smartphone besutan Vivo sesungguhnya telah beredar sejak 1 September 2014 di Indonesia. Terdapat lima produk Vivo yang dijual di pasar, yaitu Vivo Xplay, X3S, Xshot, Y15, dan Y28. Banderolnya berkisar antara Rp1,7 juta, sampai Rp7 juta. Kelimanya dijajakan melalui berbagai channel, baik offline maupun online, baik outlet modern maupun tradisional.
Pihak Vivo mengklaim hingga awal Juni 2015, penjualan ponselnya di Indonesia sudah mencapai 1 juta unit. Dua varian masing-masing X3S dan Y15 menjadi favorit konsumen domestik. Dengan menggandeng mitra distributor di seluruh kota besar tanah air dan peluncuran model anyar X5Pro, petinggi Vivo yakin dapat melego 1 juta unit ponsel untuk bulan Juni saja. Mereka pun pasang target penjualan tinggi, yakni 2-3 juta unit smartphone per bulan, sekaligus mengincar posisi tiga besar merek smartphone di pasar Indonesia pada akhir tahun ini.
Terdengar muluk? Mungkin bisa disebut demikian. Namun tentu saja target tinggi Vivo bukan tanpa alasan. Alex Feng, Chief Marketing Officer Vivo Global mengatakan bahwa laporan hasil penelitian lembaga riset GfK, Vivo pernah memuncaki pasar smartphone domestik China dengan penjualan 30 juta unit selama 2014.
Sebagai informasi, Vivo memulai debutnya di industri smartphone pada 2011 dan memproduksi ponsel tertipis di dunia pada 2013 melalui model X3 (ketebalan 5,75mm). Saat ini produk Vivo sudah beredar di lima negara. Selain Tiongkok, ponsel Vivo tersedia di India, Myanmar, Thailand, Malaysia, dan sekarang Indonesia.
Tak mau kalah dengan pendatang baru, produsen asal Tiongkok lain, yakni Lenovo juga pasang target tinggi. Brand yang sebelumnya lebih dikenal dengan produk-produk laptop dan PC ini, terus memperluas jaringan pemasaran dengan menggandeng lebih banyak mitra. Kabar terbaru, Lenovo menggandeng Surya Citra Multimedia (SCM) sebagai distributor resmi. Hal itu disampaikan pada acara peluncuran smartphone anyar Lenovo S60 di Jakarta (23/6/2015). Dengan penunjukan SCM, kini Lenovo memiliki tiga distributor resmi, melengkapi Trikomsel dan TAM.
Manajemen Lenovo meyakini, penambahan mitra distribusi ini, akan mendorong produk Lenovo lebih meluas ke seluruh Indonesia, sekaligus meningkatkan penjualan. Dengan produk yang laris manis diburu konsumen, Lenovo optimis, pada akhir 2015, mereka akan merangsek sebagai pemain terbesar kedua di Indonesia.
Open Market
Dinamisnya pasar handset menunjukkan bahwa Indonesia masih menyimpan pertumbuhan. Meroketnya konsumsi data, membuat pasar optimis bahwa era second curve telah dimulai, menggantikan basic service (SMS dan voice) yang cenderung melandai sejak lima tahun terakhir. Pada akhirnya, kita melihat investasi di bidang ini tak pernah surut.
Pada 2012, lembaga riset terkemuka Frost & Sullivan mengungkapkan bahwa nilai bisnis industri selular di Indonesia mencapai Rp 134,5 triliun. Angka itu kemudian melonjak menjadi Rp 149,7 triliun pada 2013. Sedangkan laporan resmi yang dikeluarkan BKPM menunjukkan, tambahan nilai investasi telekomunikasi (digabung dengan transportasi dan pergudangan), mencapai Rp 15,7 triliun sepanjang 2014.
Walau tetap prospektif, industri selular di tanah air, sesungguhnya tergolong tak ramah, apalagi bagi pendatang baru. Pasalnya, model open market membuat kompetisi terbilang keras karena begitu banyaknya pemain di masing-masing bidang. Pun demikian, tak ada jaminan bagi pemain yang kampiun di close market untuk menuai sukses di open market.
Ambil contoh dua produsen Tiongkok, ZTE dan Huawei. Kedua pemain ini sudah cukup lama malang melintang di pasar domestik. Keduanya terkenal dengan berbagai handset bundling yang digelar bersama operator, memanfaatkan produk pendukung seperti modem untuk akses internet. Dan terbilang sukses.
Namun, saat memutuskan untuk masuk ke open market yang telah dijalankan sejak beberapa tahun terakhir, produk-produk besutan ZTE maupun Huawei belum mampu berkibar. Apa daya, publik lebih memburu Xiaomi, OPPO atau Lenovo, yang juga berasal dari Tiongkok.
Menariknya, di tengah superioritas brand-brand global, terutama asla Tiongkok, terselip brand lokal, yakni Evercoss. Merek ini sukses mempertahankan posisi di papan atas meski terus digempur para pesaing. Merujuk pada laporan lembaga riset Counterpoint yang dipublikasikan belum lama ini, diketahui bahwa Samsung masih menguasai 32,9% pasar smartphone Indonesia di Q1 2015, naik dari sebelumnya 26,4%. Di posisi runner-up ada brand lokal Evercoss dengan 13,1%, turun tipis dibandingkan pada Q4 2014 yang sempat mencetak market share 13,4%. Meski demikian, Evercoss sukses melewati Smartfren yang bergeser ke posisi ketiga dengan 12,8% pangsa pasar, Advan di posisi empat (7,1%) dan OPPO (6,1%) yang melengkapi daftar lima besar.
Sementara untuk pasar gabungan (feature phone dan smartphone), Samsung tetap menduduki posisi puncak dengan 21,2%. Evercoss pun masih nyaman di posisi kedua dengan 18,2%, kemudian disusul Microsoft (10,9%), Mito (8,5%) dan Smartfren Andromax (6,7%).
Mencermati hasil riset tersebut, keberhasilan merek-merek lokal seperti Evercoss, Mito dan Smartfren Andromax menembus posisi elit layak diberi kredit tersendiri. Pasalnya, tak mudah menangkis serbuan smartphone global yang terus memborbardir pasar dengan varian produk lengkap dan dibanderol dengan harga murah. Kondisi ini membuat market share ponsel merek lokal cukup tertekan. Untuk bisa bersaing, tak ada pilihan selain meningkatkan kualitas produk dan layanan purna jual.
Sebelumnya, ponsel lokal dikenal memiliki kekuatan pada harga yang murah, pilihan produk yang banyak, pemasaran dan distribusi produk yang luas, serta kemampuan produk yang tidak hanya terbatas pada fungsi komunikasi. Namun, dengan banyaknya ponsel murah dan kualitas dari brand global (terutama China dan Taiwan) dengan pilihan produk yang beragam, maka kekuatan ponsel lokal bisa dikatakan telah runtuh.
Dari sisi distribusi, ponsel merek asing kini telah menggandeng distributor lokal. Artinya merek global kini telah memiliki jaringan distribusi yang lebih baik( seperti yang dilakukan oleh Lenovo di atas). Apalagi soal kualitas dan fitur yang ditawarkan, merek global dinilai masih lebih baik dibanding merek lokal, meski dijual dengan harga miring.
Era 4G LTE

Seperti halnya vendor handset, persaingan sengit juga terus terjadi antar operator. Setelah pernah berdarah-darah gara terlibat perang tarif, operator kini lebih berhati-hati karena pertempuran di layanan data menuntut kualitas jaringan yang lebih mumpuni, tak semata tarif murah semata. Apalagi penerapan tarif murah sudah memakan korban dengan tumbangnya Bakrie Telecom (Esia) dan StarOne (Indosat).
Untuk bisa memenangkan pertempuran, operator mau tak mau harus terus memodernisasi jaringan karena era internet cepat berbasis 4G LTE sudah dimulai. Kondisi itu memicu operator untuk bekerjasama dengan vendor handset agar poupulasi smartphone berteknologi sama, minimal 3G, dapat lebih banyak tersedia di pasaran dengan harga yang lebih terjangkau. Kerjasama dengan pihak ketiga, seperti pengembang konten terus digalakkan demi meningkatnya pengguna data.
Hal yang sama juga berlaku bagi dengan vendor jaringan, penyedia prosesor, produsen OS (operating system), content/aplikasi, web browser dan industri pendukung lain. Senada dan seirama, jaringan pemasaran dari distributor hingga retailer, juga berbenah mengikuti selera pasar yang terus berubah.
Tak pelak kehadiran internet cepat yang bisa ngebut hingga 100 Mbps, membuat ekosistem digital bukan lagi angan-angan. Masyarakat semakin dimanjakan dengan beragam layanan digital yang semakin mumpuni, hasil kolaborasi para pemain di atas. Pada akhirnya, pilihan pun menjadi semakin beragam. Namun kualitas produk dan harga yang memadai tetap menjadi pertimbangan. Selebihnya persepsi pelanggan yang akan menentukan survive tidaknya suatu brand.
Seperti halnya saat industi selular memasuki generasi 2G, 2,5 maupun 3G, kehadiran teknologi 4G juga memberi kesempatan bagi challenger untuk meningkatkan market share. Siapa menyangka jika di era 3G, pasar memunculkan Samsung sebagai market leader dan bertahan hingga kini. Padahal di jaman bacis phone berbasis 2G dan 2,5G, Samsung adalah brand yang tergolong medioker. Popularitasnya jauh di bawah Nokia yang saat itu masih menjadi produk pertama pilihan masyarakat. Begitu pun di sisi operator, era 3G sukses menjadikan XL sebagai operator terbesar nomor dua menggusur Indosat.
Bagaimana pun kerasnya kompetisi, industri selular yang kini semakin konvergen dengan multimedia, menyimpan potensi yang sangat besar. Tengok saja di sisi handset, kapitalisasinya mampu mencapai US$ 4 miliar pada 2014. Ini adalah kue yang sangat besar. Wajar jika para challenger bernafsu menggusur market leader. Manuver mereka tak akan pernah surut demi ambisi menguasai pasar.
Apakah era 4G akan mengubah peta pasar? Tentu waktu yang akan menentukan, mana brand yang mampu bertahan dan kemudian unggul, mana juga brand yang keselip kemudian sempoyongan dan akhirnya tinggal sejarah. Apa pun itu, model open market dan regulasi yang kerap berubah membuat pasar tetap dinamis. Alhasil, hanya mereka yang adaftif dengan perubahan yang akan terus bertahan dan menjadi pilihan konsumen.