Asmiati Rasyid (Sumber: Facebook)
Asmiati Rasyid (Sumber: Facebook)

Bagi pebisnis telekomunikasi, khususnya operator dan vendor jaringan, nama Citrus (Center for Indonesian Telecommunications Regulation Study) pernah cukup lekat dalam ingatan. Dalam masa pemerintahan SBY Jilid II, Citrus yang dimotori oleh Asmiati Rasyid, seorang doktor lulusan Institut national des Télécommunications, Perancis, rajin memberikan masukan kepada pemerintah. Lewat Citrus, ia berharap pemerintah lebih serius dalam membangun industri ICT, melalui pengelolaan frekuensi yang adil dan transparan.

Asmiati optimis, jika dikelola dengan baik, ICT akan menjadi mesin pertumbuhan bagi Indonesia di masa datang. Hal itu bukan sesuatu yang muluk. Pasalnya, kemampuan kreativitas dan inovasi anak-anak Indonesia sudah terbukti dan tidak kalah pintar dengan orang-orang Amerika, Eropa, maupun China. Sayangnya, nilai Asmiati, pemerintah belum jeli melihat itu. Padahal dengan satu komputer dan kreativitas, mereka bisa menghasilkan produk-produk IT hebat, terutama berbasis brainware yang bisa menjelma menjadi competitive advantage sekaligus menjadi mesin uang.

Karenanya, guna mendorong keterlibatan pemerintah yang lebih intens terhadap pengembangan industri ICT, Citrus kerap terlibat dalam berbagai forum strategis, baik yang digelar kementerian terkait maupun lintas sektoral.

Awalnya, peran yang dilakoni Citrus sebagai think tank dan pressure group, berlangsung cukup mulus. Apalagi, Asmiati yang juga merupakan lulusan ITB didukung oleh banyak stake holder yang menempati posisi-posisi strategis di pemerintahan, termasuk Hatta Rajasa, Menko Perekonomian (saat itu), yang merupakan kakak kelasnya di ITB.

Salah satu rekam jejak keterlibatan Citrus dapat dilihat pada gelaran National Summit : Competition Policy and Regulation Review yang mengangkat tema “Spectrum Refarming Plan and Retail Tariff Issues for Driving Broadband Wireless Industries”, yang berlangsung di Hotel Shangrila, Jakarta (10/8/2011).

Dalam panel diskusi itu, hadir berbagai nara sumber top, seperti Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menkominfo Tifatul Sembiring, Ketua KPPU Nawir Messi, Dirjen Spektrum Kemenkominfo Budi Setiawan, dan Asmiati Raysid sendiri. Sementara di sisi round table, hadir juga Mendagri Gamawan Fauzi, Meneg BUMN Dahlan Iskan, Ketua Mastel Setyanto Santosa, jajaran manajemen puncak operator (Telkomsel, XL, Axis, Huawei, Ericsson, Esia) dan sejumlah anggota DPR.

Namun isu yang diangkat dalam panel diskusi itu cukup menyengat. Pasalnya, dalam kajian Citrus, terungkap bahwa alokasi spektrum di Indonesia sudah habis dibagi-bagi. Lisensi spektrum diobral begitu saja tanpa dasar kebijakan dan strategi negara yang jelas, tanpa ada perencanaan jangka panjang yang matang. Parahnya, spektrum yang merupakan SDA terbatas dan bernilai triliunan rupiah sudah habis dikavling-kavling pebisnis asing, sehingga rentan diperjualbelikan karena sangat menguntungkan para pemain.

Asmiati pun menunjuk paket bagi-bagi frekuensi tanpa ada tender. Seperti 100 Mhz pada band 3.3 Ghz telah dibagikan secara gratis, dengan Indosat Group mendapatkan kavling terbesar, yakni 25 Mhz dengan cakupan nasional. Sementara di band 2,3 Ghz, spektrum dikuasai oleh Grup Berca Hardaya Perkasa milik konglomerat Haryati Murdaya. Tak tanggung-tanggung di kanal ini, kelompok Berca memiliki 30 Mhz BWA TDD di 8 zone.

Nah, dengan alasan telah terjadi spectrum hoarding, Asmiati menegaskan pentingnya pemerintah untuk melakukan audit dan tata ulang spektrum. Regulasi un-bundling dan spectrum sharing perlu dikaji, sebagai solusi untuk operator-operator kecil yang sudah terlanjur banyak. Prinsipnya, pengelolaan spektrum seharusnya sesuai dengan ultimate goals dari kebijakan persaingan di industri strategis ini. Artinya tidak hanya menguntungkan pemain, namun yang lebih penting lagi harus memberikan manfaat untuk negara dan rakyat banyak.

Badan Spektrum Nasional

Seperti Srikandi dalam lakon pewayangan, Asmiati tak kenal lelah untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dan stake holder terkait, terutama dalam hal pengelolaan frekuensi yang lebih memihak kepentingan nasional. Berbagai forum, baik diskusi publik maupun seminar ia manfaatkan dengan baik. Pemahamannya yang lengkap terhadap industri telekomunikasi, membuatnya kerap bersikap kritisnya dan berseberangan dengan kebijakan pemerintah.

Puncaknya, terjadi saat ia menjadi salah satu pembicara dalam forum yang saya gagas, yakni Bincang Selular di Jakarta Media Center, Gedung Dewan Pers Jakarta, Kamis (4/8/2011). Mengusung tema “Mencari Format Ideal Frekuensi Selular Masa Depan”, Asmiati yang hadir bersama pembicara lain, yakni Akbar Faisal (DPR), melemparkan ide yang cukup kontroversial.

Belajar dari negara-negara maju seperti Perancis dalam pengelolaan frekuensi, ia mendesak pemerintah untuk segera membentuk Badan Spektrum Nasional (BSN). Lembaga ini diperlukan guna mengatasi carut marut penataan frekuensi di Indonesia. Spektrum juga terus diperebutkan banyak pihak karena besarnya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), sehingga rentan menjadi komoditas politik.

Tujuan dibentuk BSN, kata Asmiati, agar lembaga ini memiliki kewenangan yang lebih kuat. Terutama untuk melakukan re-farming band spektrum yang dikuasai oleh industri broadcasting, maupun band-band spektrum lainnya dimiliki Kementerian Pertahanan dan Kepolisian Negara.

Asmiati mengatakan, pengelolaan spektrum seharusnya bukan dibawah komando Menkominfo dan harus diposisikan lebih tinggi karena terkait lintas kementerian dan regulator atau dibawah langsung Presiden. BSN itu nantinya akan menggantikan posisi dan kewenangan yang masih dikendalikan oleh Dirjen Pengelolaan Sumber Daya Postel yang terdiri dari orang profesional dan pemerintah.

Dalam banyak hal, kekuatan dirjen tentu akan lemah jika ada banyak kepentingan, termasuk tekanan diterima oleh dirjen tersebut. Ini guna mengantisipasi berbagai konflik kepentingan, terutama menterinya yang dari partai politik.

Tak disangka, ide pembentukan BSN yang dilontarkan Asmiati dimuat oleh banyak media massa sehingga mendadak menjadi salah satu isu panas. Selaku penyelenggara sekaligus moderator di acara tersebut, saya sendiri cukup surprise, karena media massa menaruh perhatian yang cukup besar tentang ide yang sarat dengan terobosan ini.

Namun pemberitaan yang massif mengenai wacana BSN, membuat Tifatul Sembiring seperti tersambar petir. Tak ingin “lapaknya” terganggu, menteri asal PKS yang suka berpantun itu langsung memerintahkan jajarannya untuk membuat sikap resmi Kemenkominfo.

Dalam siaran pers yang diterbitkan pada Selasa, 8/8/2011, Tifatul menegaskan bahwa pemerintah tidak perlu menanggapi usul pembentukan BSN. Karena jika ide ini dilaksanakan, sama saja dengan membubarkan lembaga yang dipimpinnya.

Revenue Center

Setelah terbentuknya pemerintahan baru dengan Jokowi sebagai presiden dan Rudiantara sebagai Menkominfo, menjadi pertanyaan kemanakah Asmiati Rasyid? Bagaimana dengan nasib Citrus yang pernah disegani para pemain di industri selular?

Memang dalam beberapa tahun terakhir, kita tak pernah mendengar lagi nama Asmiati Rasyid dan Citrus-nya. Ia seolah lenyap begitu saja. Gone With The Wind, layaknya judul novel legendaris karya Margaret Mitchell. Namun, lewat seorang mantan petinggi operator selular, saya mendengar kabar bahwa ia sudah menikah kembali dengan seorang pria asal Kanada, dan langsung menetap di sana.

Dapat dipahami jika Asmiati pada akhirnya lebih memilih kehidupan yang tenang dan merintis masa depan baru, meski harus tinggal jauh dari Indonesia dan melupakan mimpi-mimpinya menjadi bagian dari pengembangan industri ICT yang tangguh.

Pandangannya yang kritis dengan kalangan pemerintahan, membuat ia tak cukup kuat untuk menahan tekanan, terutama setelah dirinya terseret dalam kasus yang melibatkan Indar Atmanto. Kesaksiannya yang menyebutkan bahwa telah terjadi kerugian negara dalam pemanfaatan frekuensi 3G oleh IM2, dijadikan dasar bagi Kejaksaan Agung untuk menahan mantan dirut IM2 itu.

Meski demikan, sejatinya tak ada yang sia-sia dalam perjuangan seorang Asmiati. Dalam kerangka yang berbeda, Rudiantara telah mengimplementasikan ide-ide yang pernah digagas Asmiati, namun tetap disesuaikan dengan tantangan dan peluang yang tumbuh saat ini dan di masa depan.

Sejak awal, menteri berlatar profesional ini menempatkan paradigma baru dalam menjalankan roda kementerian yang ia pimpin. Yakni, dari rezim perizinan menjadi rezim pelayanan. Seperti halnya korporasi, dengan paradigma ini, Rudiantara menempatkan perizinan bukan lagi sebagai komoditas, namun lebih kepada pelayanan yang bermanfaat bagi seluruh stake holder.

Rudiantara juga concern dalam pengembangan broadband untuk menjawab kebutuhan internet cepat, sekaligus mendorong efisiensi industri. Karenanya tak perlu heran, dalam masa 100 hari, menteri yang kerap dipanggil Chief RA ini banyak melakukan banyak terobosan.
(Baca juga: Rudiantara: Dari Prabowo Hingga Pabrik Ponsel)

Diantaranya, peluncuran teknologi 4G LTE oleh tiga operator (Telkomsel, XL dan Indosat) pada Desember 2014, refarming pita 1800Mhz yang sudah dimulai pada kuartal I- 2015, dan berlanjut kebijakan refarming 2,1 Ghz yang akan dilakukan di semester kedua 2015. Sedangkan di sisi penyederhanaan proses perijinan pada Januari 2015, Kominfo telah melakukan reformasi birokrasi dengan merombak delapan perijinan dan memangkas waktu untuk mendapatkan perijinan yang dimaksud.

Sementara itu, dalam waktu bersamaan, Rudiantara mewajibkan vendor ponsel untuk menggunakan TKDN hingga 40% pada Januari 2017. Tujuannya untuk mendorong efisiensi dan kemampuan produksi nasional. Dengan beleid itu, kelak Indonesia tak hanya dijadikan sekedar basis pasar semata, namun sudah menjadi pusat manufaktur. Kebijakan ini sekaligus menekan nilai importasi yang besarnya mencapai 3-4 miliar dollar AS per tahun, sekaligus mengurangi beban defisit transaksi berjalan yang ditanggung pemerintah.

Kebijakan yang ditempuh Rudiantara dan hasil yang kelak dicapai, jelas akan melampaui pencapaian Tifatul Sembiring yang sekedar menempatkan PNBP sebagai tujuan. Padahal industri telekomunikasi dan potensi yang menyertainya, lebih dari sekedar PNBP semata. Ibarat menjalankan korporasi, menteri yang akrab dipanggil chief RA itu, tengah mengubah industri ICT dari cost center menjadi revenue center.

Tak salah, demi mengejar kemandirian industri ICT dalam negeri, Rudiantara menempatkan broadband, dibarengi efisiensi dan produktfitas industri sebagai program utama dalam masa lima tahun kepemimpinannya.