“…..Yayasan Indonesia Peduli Anak Berkebutuhan Khusus (YIPABK) akan menggelar Konser Amal Peduli ABK dengan menampilkan “duel” piano dua generasi ABK, yaitu pianis internasional kenamaan asal Indonesia, Ananda Sukarlan, dan pianis cilik asal Indonesia, Michael Anthony. Kedua pianis tersebut menyandang kebutuhan khusus. Ananda Sukarlan, kelahiran Jakarta 10 Juni 1968 dan sekarang menetap di Spanyol ini, menyandang gangguan tumbuh kembang Rett Syndrome. Sedangkan Michael Anthony, yang baru berusia 10 tahun, menyandang kebutaan sejak bayi dan autis. Michael Anthony sendiri mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pianis tuna netra dan autis termuda yang mampu mempergelarkan sonata karya Wolfgang Amadeus Mozart. Selain itu, pada konser yang rencananya dihadiri oleh kalangan pengusaha dan pencinta musik klasik ini, juga akan tampil Boaz Sharon, pianis yang juga profesor piano di Boston University dan beberapa universitas lainnya. Beberapa waktu lalu, pianis dunia kebanggan Indonesia ini, tampil live streaming dari sebuah konser di Spanyol, berkat dukungan akses broadband, karya mereka bisa disaksikan oleh siapa saja, dimana saja, di belahan dunia manapun…”
Sepenggal kutipan diatas menjadi refleksi kondisi anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Anak berkebutuhan khusus merupakan anak-anak yang mengalami gangguan fisik, mental, sosial, dan emosional. Gangguan ini biasanya sudah terdeteksi pada masa kehamilan hingga usia dini tumbuh kembang. Di Indonesia dengan populasi terbesar keempat di dunia, jumlah anak berkebutuhan khusus ternyata cukup banyak.
Indonesia memang belum punya data yang akurat dan spesifik tentang berapa banyak jumlah anak berkebutuhan khusus. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, jumlah anak berkebutuhan khusus yang berhasil didata ada sekitar 1,5 juta jiwa. Namun secara umum, PBB memperkirakan bahwa paling sedikit ada 10 persen anak usia sekolah yang memiliki kebutuhan khusus. Di Indonesia, jumlah anak usia sekolah, yaitu 5 – 14 tahun, ada sebanyak 42,8 juta jiwa. Jika mengikuti perkiraan tersebut, maka diperkirakan ada kurang lebih 4,2 juta anak Indonesia yang berkebutuhan khusus.
Tapi dengan segala keterbatasan tersebut, bukan berarti anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) tidak bisa mengaktualisasikan dirinya. Contoh nyata pada Ananda Sukarlan, pianis dunia asal Indonesia tersebut, menunjukkan bahwa ABK pun bisa menjadi sorotan dunia dan kebanggan bangsa dengan kemampuan positif mereka.
Contoh sukses lain, adalah pada Alain Schrer, seorang tuna rungu asal Amerika, yang berhasil menjadi animator hebat yang telah membidani ratusan film animasi box office.
Hal menarik yang dapat diambil dari cerita Alain adalah bahwa awalnya ia belajar animasi melalui internet. Sebagai seorang ABK, ia menyadari bahwa peran teknologi sangat membantu dirinya dalam belajar. Ia menjelasakan, di Amerika, sejak 3G masuk, kemudian 4G, jelas koneksi data yang ia dapatkan kini menjadi lebih cepat serta beragam konten yang ditawarkan dari developer membuatnya lebih mudah dalam hal belajar dan menyerap tren baru tentang teknik animasi terkini.
Alain rajin mengikuti kelas e-learning untuk multimedia desain animasi. Ia mengaksesnya melalui tablet. Teman-temannya di studio banyak membantunya, khususnya untuk menjelaskan secara gerak dan visual, saat penjelasan tutor tidak bisa ia dengarkan secara jelas.
“Kini dengan melihat kisah sukses mereka, telah menjadi inspirasi bagi ABK di Indonesia, bahwa mereka bisa, mereka mampu, dan mereka diakui. Beberapa dari ABK, kami lihat, mereka bisa melukis, menciptakan lagu, menulis cerita, bahkan 1-2 anak mulai tertarik dengan animasi seperti Alain,” ujar Budiarti dari YIPABK Indonesia mengomentari tentang kesuksesan ABK yang mengaktualisasikan diri mereka di dunia.
“Untuk menghasilkan Ananda Sukarlan atau Alan Schrer di Indonesia, yang dibutuhkan bukan saja kemauan dan kepercayaan diri dari para ABK untuk maju, tapi lebih dari itu, mereka membutuhkan dukungan dari pemerintah dalam hal pendidikan serta peran swasta yang memberikan kemudahan akses teknologi bagi mereka,” jelasnya menggaris bawahi bahwa untuk itu diperlukan kerja sama dan dukungan dari banyak pihak.
Sinergi Pemerintah dan Swasta bagi Aktualisasi ABK
Menurut pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, bahwa jenis pendidikan bagi Anak berkebutuan khusus adalah Pendidikan Khusus. Pasal 32 (1) UU No. 20 tahun 2003 memberikan batasan bahwa Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Teknis layanan pendidikan jenis Pendidikan Khusus untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa dapat diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Jadi Pendidikan Khusus hanya ada pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Untuk jenjang pendidikan tinggi secara khusus belum tersedia.
Adapun bentuk satuan pendidikan / lembaga sesuai dengan kekhususannya di Indonesia dikenal SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.
Seharusnya Pemerintah dapat memberikan perlakuan yang sama kepada Anak Indonesia tanpa diskriminasi, kalau bisa mendirikan SD Negeri, SMP Negeri, SMA Negeri untuk anak bukan ABK, maka juga harus berani mendirikan SDLB Negeri, SMPLB Negeri, dan SMALB Negeri bagi ABK. Hingga Juni tahun 2013 di Provinsi Jawa Tengah dan DIY baru Pemerintah Kabupaten Cilacap yang berani mendirikan SDLB Negeri, SMPLB Negeri, dan SMALB Negeri masing-masing berdiri sendiri sebagai satuan pendidikan formal.
Dengan melihat jumlah ABK di Indonesia, proporsinya yang besar dari keseluruhan total penduduk menjadikan masalah ini ada dalam perhatian khusus. Alhasil masih banyak ABK yang gagal mengoptimalkan potensi diri sehingga dalam kehidupannya memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap orang lain. Dengan sedemikian banyak jumlah ABK, komponen pendidikan menyadari bahwa ABK pun harus diupayakan pengembangan intelektualnya agar dapat menjadi insan yang produktif.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka membangun pondasi konsep education for all melalui landasan hukum pun sangat kuat. Hal tersebut nampak dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dinyatakan bahwa “setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan”. Landasan hukum tersebut dipertegas dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no.20 tahun 2003 bagian ke-11 pasal 32 yang menyebutkan bahwa, pemerintah menyediakan layanan pendidikan Khusus. Secara rinci undang-undang tersebut berbunyi, “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”.
Memulainya dari Broadband
Adanya fondasi pendidikan yang kuat untuk ABK jelas akan membantu langkah mereka untuk maju dan mengaktualisasikan diri. Langkah selanjutnya adalah dukungan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) bagi para ABK ini. Dengan berkembangnya teknologi selular tentunya mereka membutuhkan peranti yang dapat membantu mereka untuk terhubung dengan informasi di luar.
“Apa yang telah dilakukan oleh Alain, terlahir sebagai ABK, ia berusaha menambah ilmunya sebagai bekal persaingan di dunia kerja, adalah dengan selalu terhubung dengan internet dari tablet-nya,” jelas Budiarti lagi. “Rajin mengikuti kelas e-learning dan dukungan developer yang menciptakan aplikasi khusus ABK jelas sangat membantu para ABK,”
Intinya adalah bahwa teknologi mestinya tidak lagi menjadi batasan dan pilihan. Tidak lagi harus anak yang normal dulu, atau si ABK nanti saja, atau di kota dulu, atau di pelosok, atau di tempat yang kaya dulu, atau lainnya. Tapi adalah bagaimana akses seluler dan internet bisa merangkul semua alias reach the unreached, termasuk sampai pada pemanfaatan broadband oleh ABK nantinya.
Posisi Indonesia dalam pemanfaatan TIK (internet) menurut data persaingan global berbasis TIK yang bersumber dari internetworldstats.com berada di posisi ke-5, setelah China (384jt), Jepang (96jt), India (81jt), Korea Selatan (37,5jt) dan Indonesia (30jt). Adapun penetrasi penggunanya adalah sebesar 12.3%, sedangkan Per Capita GDP sebesar US $2,858,000. Pengguna Facebook per tanggal 31 Agustus 2010 sebanyak 27,338,560 dengan penetrasi 11.3%, posisi ini menempati peringkat ke-2 dunia setelah Amerika Serikat.
Tak heran jika saat ini kebutuhan akses informasi ke seluruh tanah air bagi siapa saja terus diupayakan agar tercukupi. Melalui program “IndonesiaConnected” yang sudah diemplementasikan di berbagai desa, pemerintah menargetkan program “Indonesia Broadband” terealisasi pada tahun 2016. Jika semua provinsi sudah terlayani akan berlanjut pada program “Indonesia Digital” pada tahun 2018.
Karenanya potensi broadband sebagai poros pengembangan wawasan ABK, dapat mendorong industri selular sebagai salah satu fondasi lainnya untuk membantu ABK mengaktualisasikan diri mereka. Perusahaan seluler dapat membuat program-program terobosan yang dapat mendukung kegiatan belajar ABK.
Dengan mulai maraknya penggunaan ponsel cerdas Android dan tablet, maka peranti tersebut dapat dimaksimalkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu, tablet, misalnya, dapat berperan sebagai media pendidikan bagi ABK. Tablet dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran formal di kelas sehingga informasi-informasi dapat diperoleh dari berbagai sumber yang mendukung.
Peran selanjutnya adalah dari pembimbing, yakni dengan mengarahkan minat dan keahlian ABK. Menumbuhkan kepercayaan diri dari ABK adalah hal yang utama, karena hal tersebut dapat mendorong kreatifitas terpendam dari para ABK.
Anak-anak itu dapat menyalurkan dan mewujudkan ide kreatif melalui tablet dan dukungan broadband membantu mereka untuk mendapatkan tutorial dari dunia kelas virtual. Lalu ketika anak-anak itu menyerap ilmunya, mereka bisa mulai mempraktekkannya. Bahkan dengan adanya YouTube dan blog, kini mereka dapat mempromosikan kreatifitas mereka (menulis, melukis, bercerita, membuat animasi, dan lain-lain) kepada orang lain di berbagai belahan dunia. Tentunya melalui social media ini akan menjadi iklan gratis bagi mereka, untuk membuktikan bahwa ABK pun sama seperti kita dengan keahlian yang mereka miliki masing-masing hingga mereka dapat bersaing di dunia kerja.
Berkah Selular
Kini berkat telekomunikasi yang terjangkau dan tersedia dengan mudah di mana-mana (ubiquitous) membuat setiap orang di seluruh penjuru dunia kini dapat berpartisipasi secara global dalam pemanfaatkan teknologi selular pun termasuk bagi para ABK. Organisasi bagi ABK di Amerika, bahkan baru-baru telah menjalankan program multimedia mobile learning yang bisa diunduh dari Google Play dan iOS, yakni program pedidikan multimedia bagi siapa saja tanpa membedakan asal usul dan keterbatasannya.
Telekomunikasi dan teknologi informasi (TI) telah memompa globalisasi sepenuh-penuhnya, sempurna, menciptakan dunia yang datar, praktis tak berjarak, tak berjenjang, tak bersekat. Telekomunikasi, sebagaimana juga TI yang memberi nyawa pada kata absurd bernama globalisasi, sekarang memang sudah bisa dinikmati segala lapisan orang. Presiden atau kepala dusun, jenderal atau prajurit rendahan, direktur atau office boy, majikan sampai pembantu rumah tangga, tenaga relawan hingga petugas penjaga hutan, semuanya menikmati efek telekomunikasi. Jika dulu kita berkenalan dengan SMS, MMS, lalu masuk ke pesen messenger hingga era berkirim stiker ala emotikon yang impresif, semuanya menunjukkan bahwa peran selular telah dirasakan banyak manfaatnya bagi siapa saja.
Tentunya termasuk untuk ABK, kini telah dibekali dengan berbagai akses komunikasi mulai dari laptop lengkap dengan modemnya hingga dukungan ponsel pintar dan tablet. Jadi tidak heran jika mereka pun bisa mengirimkan informasi langsung via push email, mengupload foto dan video kreatif mereka, hingga meng-update dan berkomunikasi dengan orang lain tentang berbagai hal kreatif di berbagai dunia via social media.
Tak heran jika pemerintah punya cita-cita untuk mendorong Internet broadband bisa sampai ke setiap pelosok dan dinimati oleh siapa saja tanpa terkecuali. Kita tentunya menginginkan karya kreatif bangsa cepat dipromosikan dan diterima oleh belahan bumi yang lain. Boradband telah mendorong ABK untuk percaya diri dalam mengaktualisasikan diri mereka dan terhubung (always on) dengan teknologi selular. Indonesia, sebagai negara besar, dengan penetrasi selular dan pasar yang terus tumbuh ini jelas bisa mencontohnya ketika 4G nanti hadir di depan kita. Termasuk saat nanti kita melihat bangga karya kreatif dari ABK mendunia berkat broadband. Semoga. (Haryo Adjie Nogo Seno)