Selular.id – Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) sebut jika ekosistem penggunaan pita frekuensi 1,4 GHz masih rendah. Chariman of Working Group Spectrum ATSI (Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia), Rudi Purwanto mengatakan ada sejumlah isu teknologi saat ini. Isu tersebut di antaranya, kecepatan internet yang rendah dan latensi tinggi, harga layanan mahal terutama dalam layanan fixed broadband, sulitnya penggelaran infrastruktur telekomunikasi di daerah, pentingnya pengelolaan alokasi spektrum frekuensi.
Rudi menjelaskan Indonesia sangat membutuhkan tambahan spektrum baru 700 MHz, 2,6 GHz, 3,5 GHz dan 26 GHz untuk mengejar ketertinggalan untuk kecepatan internet hingga menggelar teknologi 5G. Dia juga mengungkapkan pita 2,6 GHz sudah digunakan di Vietnam, Thailand, Malaysia, Filipina, Myanmar, Singapura dan Laos. Untuk pita 3,5 GHz sudah digunakan di Filipina, sedangkan pita 26 GHz sudah Filipina dan Vietnam alokasikan.
Sementara untuk Indonesia, pita-pita tersebut sama sekali belum dialokasikan untuk penyelenggaraan teknologi maupun telekomunikasi. Rudi juga mempertanyakan kenapa pemerintah dalam hal ini Kemkomdigi justru lebih memilih mendahulukan lelang spektrum 1,4 GHz.
“Pita 1,4 GHz ini memang cepat untuk menggelar jaringan internet di Indonesia, tetapi kekurangannya yakni ekosistemnya sangat rendah. Dari Identifikasi perangkat baik Base Station dan CPE indoor yang akan digunakan saat ini belum di-support vendor teknologi seperti Huawei, ZTE hingga Ericsson yang juga masih butuh waktu untuk penyesuaian,” ujar Rudi.
Rudi menambahkan untuk CPE (Customer Premise Equipment) ada kemungkinan akan embedded dengan WIFI dan akan menggunakan RedCap CPE untuk mengejar biaya murah. “Vendor Utama dan Qualcomm memerlukan waktu untuk melakukan development dan re-engineering perangkat 1,4 GHz sampai siap untuk komersial dan biasanya berkisar satu sampai 1,5 tahun,” sambungnya.
Tantangan Spektrum 1,4 GHz
Julian Gorman, Head of Asia Pacific GSMA, menyoroti tantangan utama dalam pemanfaatan frekuensi 1,4 GHz, yaitu minimnya ekosistem pendukung. “Pita ini belum populer secara global, sehingga pasokan perangkat dan dukungan teknis masih terbatas,” katanya. Sebagai perbandingan, frekuensi 3,5 GHz dan 2,6 GHz lebih matang karena didukung rantai pasok global.
Dia menjelaskan bahwa setiap pita frekuensi yang dialokasikan membutuhkan ekosistem komprehensif agar dapat dimanfaatkan secara efektif—dari pembuat chip, antena, hingga produsen perangkat yang dapat mendukung spektrum tersebut. Di berbagai belahan dunia, pita frekuensi paling populer yang lebih dulu diadopsi secara masif adalah 3,5 GHz, diikuti dengan 2,6 GHz.
Pita-pita ini mendapat sambutan luas karena didukung oleh rantai pasok global yang matang dan biaya produksi perangkat yang efisien karena skala adopsi yang besar. Sebaliknya, pita 1,4 GHz hanya digunakan secara sporadis di beberapa wilayah dunia, sehingga keberadaan perangkat, chip, dan dukungan teknis lainnya masih relatif terbatas. “Kalau Indonesia memilih untuk mengembangkan layanan di pita ini, tentu kontribusi terhadap pembentukan ekosistem global sangat besar. Tetapi untuk saat ini, kurangnya skala adalah tantangan terbesar,” sambung Julian.
7 Perusahaan Bersaing di Lelang Spektrum 1,4 GHz
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) melalui Tim Seleksi Pengguna Pita Frekuensi Radio 1,4 GHz mengumumkan tujuh perusahaan yang telah mengambil dokumen sistem lelang elektronik (e-auction) untuk seleksi pengguna pita frekuensi tersebut pada 2025. Ketujuh perusahaan tersebut adalah PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, PT XLSMART Telecom Sejahtera, PT Indosat Tbk, PT Telemedia Komunikasi Pratama, PT Netciti Persada, PT Telekomunikasi Selular, dan PT Eka Mas Republik.
Lelang frekuensi 1,4 GHz ini menjadi sorotan industri telekomunikasi karena potensinya dalam memperkuat jaringan broadband dan 5G. Sebelumnya, proses lelang telah memasuki tahap pengunduhan dokumen, seperti dilaporkan dalam artikel Lelang Frekuensi 1,4 GHz Masuk Tahap Pengunduhan Dokumen.
Kinerja Finansial Peserta Lelang
Berikut rincian kinerja pendapatan terakhir dari perusahaan-perusahaan yang mengambil dokumen lelang:
- PT Telkom Indonesia (TLKM) – Membukukan pendapatan Rp73 triliun pada semester I/2025, dengan kontribusi terbesar dari layanan data dan internet (Rp44,25 triliun). Telkom juga memiliki infrastruktur serat optik terluas, mencapai 173.000–175.000 kilometer.
- PT XLSMART Telecom Sejahtera (EXCL) – Pendapatan kuartal I/2025 naik 1,93% menjadi Rp8,6 triliun. Perusahaan ini merupakan hasil merger XL Axiata dan Smartfren, dengan jaringan serat optik 165.000 kilometer.
- PT Indosat Tbk (ISAT) – Pendapatan semester I/2025 turun 3,1% menjadi Rp27,1 triliun, terutama karena penurunan pendapatan layanan seluler.
- PT Telemedia Komunikasi Pratama – Anak usaha PT Solusi Sinergi Digital (Surge/WIFI) ini mengklaim jangkauan jaringan di 150 juta populasi Jawa. Surge sendiri mencatat kenaikan pendapatan 66,17% menjadi Rp513,4 miliar.
- PT Netciti Persada – Fokus pada layanan FTTH dan broadband di wilayah utama seperti Jabodetabek, Jawa Barat, dan Bali.
- PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) – Pendapatan 2024 mencapai Rp113,3 triliun, tumbuh 10,7% didorong bisnis digital.
- PT Eka Mas Republik – Anak usaha PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) ini belum merilis laporan keuangan rinci.
Baca Juga:
Persaingan Ketat di Lelang 1,4 GHz
Lelang frekuensi 1,4 GHz ini menjadi ajang persaingan ketat antara operator besar seperti Telkom, Indosat, dan XLSMART. Seperti dilaporkan sebelumnya di Komdigi Buka Lelang Frekuensi 1,4 GHz, Nilai Belum Diumumkan, pemerintah belum mengungkapkan nilai lelang, namun frekuensi ini dinilai strategis untuk pengembangan jaringan broadband dan 5G.
Perusahaan seperti WIFI (Surge) memilih menggunakan anak usahanya, Telemedia, untuk berpartisipasi, seperti dijelaskan dalam artikel Tak Ada INET di Lelang Frekuensi 1,4 GHz, WIFI Gunakan Anak Usahanya.
Proses lelang akan berlanjut ke tahap berikutnya setelah peserta menyelesaikan pengajuan dokumen. Hasil lelang diharapkan dapat memperkuat infrastruktur telekomunikasi Indonesia, terutama dalam menghadapi lonjakan kebutuhan data dan layanan digital.