Jumat, 1 Agustus 2025

4 Alasan Mengapa Bank Digital Sulit Meraih Laba

BACA JUGA

Uday Rayana
Uday Rayana
Editor in Chief

Selular.ID – Seiring dengan tuntutan pelanggan yang terus berkembang dan upaya untuk mengatasi keterbatasan perbankan ritel tradisional, belakangan telah terjadi peningkatan signifikan dalam jumlah bank digital yang beroperasi di wilayah Asia Pasifik (APAC).

Dengan lebih dari 40 bank yang diluncurkan di seluruh wilayah sejauh ini, bank-bank digital bertujuan untuk memanfaatkan teknologi digital dan memenuhi preferensi pelanggan yang terus berkembang untuk pengalaman perbankan yang dipersonalisasi.

Laporan Quinlan & Associates Lanskap Bank Digital APAC mengeksplorasi tantangan yang dihadapi oleh bank digital di kawasan ini, dan strategi yang dapat mereka adopsi untuk mencapai profitabilitas.

Sementara lanskap perbankan digital di APAC sedang berkembang, profitabilitas tetap menjadi tantangan signifikan yang harus dihadapi bank-bank digital.

Dari 453 bank penantang secara global, hanya 20 yang menguntungkan pada 2022, dan 11 di antaranya berlokasi di kawasan Asia Pasifik.

Baca Juga: Deretan Raksasa di Balik Menjamurnya Bank-Bank Digital di Indonesia

Bank digital yang sudah mapan di pasar seperti Jepang, China Daratan, dan Korea Selatan telah berhasil menghasilkan keuntungan dan membangun basis pelanggan yang cukup besar.

Namun, data teranyar menunjukkan bahwa bank digital baru di negara-negara Asia Pasifik lainnya sedang berjuang untuk mencapai titik impas.

Di Indonesia sendiri, tercatat hanya Bank Jago yang memiliki kinerja menjanjikan. Berkat ekosistem yang dibangun bersama GoJek, Bank Jago mengklaim 2,3 juta nasabah per Maret 2023, naik 71% dibandingkan 1,4 juta nasabah pada 2021.

Tercatat Bank Jago membukukan laba bersih Rp41 miliar sepanjang semester I 2023. Capaian itu naik 40 persen dibandingkan laba bersih pada periode yang sama tahun sebelumnya senilai Rp29 miliar.

Quinlan & Associates menguraikan empat tantangan utama yang dihadapi oleh bank-bank digital yang tidak mudah dalam meningkatkan kinerja, terutama meraih laba.

Keempatnya adalah tantangan profitabilitas, biaya akuisisi pelanggan yang tinggi, tingkat simpanan rata-rata per pelanggan yang lebih rendah dibandingkan dengan bank tradisional, dan ketatnya kompetisi yang berdampak pada loyalitas pelanggan.

Mari kita telisik satu persatu tantangan-tantangan tersebut.

Profitabilitas – Perlu Waktu yang Cukup Lama Untuk Menghasilkan Laba

Bahkan di pasar maju seperti Hong Kong dan Singapura, bank digital baru yang berfokus pada segmen ritel menghadapi kendala dalam mencapai profitabilitas.

Misalnya, sejak mereka masuk ke pasar pada 2020, tidak satu pun dari delapan digibank di Hong Kong yang berhasil menghasilkan keuntungan.

Kerugian kumulatif di sana selama tiga tahun terakhir berkisar dari US$70 juta untuk PAObank hingga US$232 juta untuk Livi, menurut laporan tersebut.

Sementara beberapa bank digital Hong Kong telah sedikit mengurangi kerugian mereka pada 2022, para pengamat memperkirakan bahwa masih perlu beberapa tahun lagi bagi mereka untuk membangun model bisnis yang menguntungkan.

Biaya Akuisisi Pelanggan yang Tinggi

Salah satu tantangan signifikan yang dihadapi bank penantang di APAC adalah tingginya biaya akuisisi pelanggan atau customer acquisition costs (CAC).

Menurut perkiraan, CAC rata-rata di Hong Kong berkisar antara US$65 hingga US$90, jauh lebih tinggi daripada CAC di pasar negara berkembang (US$15-50) dan pasar perbatasan Asia (US$1-5).

Quinlan & Associates menyoroti adanya biaya tersembunyi, termasuk biaya tidak langsung dan biaya yang dikeluarkan untuk mengakuisisi pelanggan.

Selain itu, tingginya tingkat rekening bank yang tidak aktif di antara basis pelanggan bank digital di Hong Kong menyebabkan biaya akuisisi yang efektif hampir dua kali lipat dari biaya yang terlihat, secara rata-rata.

Tingkat Deposit Rata-Rata yang Lebih Rendah per Pelanggan

Bank digital di APAC juga menghadapi tantangan tingkat simpanan rata-rata per pelanggan yang lebih rendah dibandingkan dengan bank tradisional.

Di pasar maju seperti Hong Kong, Jepang, dan Korea Selatan, bank tradisional memiliki tingkat simpanan rata-rata per pelanggan lebih dari US$29.000, sedangkan bank digital hanya memiliki US$2.100.

Keterbatasan ini membatasi kapasitas pinjaman mereka dan kemampuan untuk memonetisasi simpanan menganggur melalui pendapatan berbasis biaya, seperti penjualan produk investasi atau asuransi.

Loyalitas dan Persaingan

Mendapatkan kepercayaan dari pelanggan ritel dan menunjukkan nilai tambah atas bank tradisional merupakan rintangan utama bagi bank digital.

Membangun langkah-langkah keamanan siber untuk melindungi data pengguna, menjaga kredibilitasnya, dan mematuhi persyaratan peraturan sangat penting dalam membangun kepercayaan.

Selain itu, bank digital menghadapi persaingan ketat tidak hanya dari bank digital lainnya, tetapi juga dari bank tradisional di APAC yang banyak berinvestasi dalam kemampuan digital mereka.

Ini mengintensifkan kebutuhan bank digital untuk memberikan pengalaman pelanggan yang unggul dan membedakan diri dari rekan tradisional mereka.

Baca Juga: Hanya Ada 11 Bank Digital Challenger yang Menguntungkan Di Asia, Bank Jago Diantaranya

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU