Sabtu, 2 Agustus 2025
Selular.ID -

Kisah Smartfren Menantang Hegemoni The Big Three

BACA JUGA

Uday Rayana
Uday Rayana
Editor in Chief
Ilustrasi booth Smartfren
Ilustrasi booth Smartfren

Esia, eee .. sia-sia”. Itulah akronim berbau lelucon yang dilontarkan seorang eksekutif operator GSM saat pertama kali Bakrie Telecom memperkenalkan brand Esia sebagai produk jualannya pada 2002. Dari nada yang diucapkan dibarengi tawa kecil, komentar tentang Esia itu sepertinya lebih terkesan becanda. Meski rada nyinyir dan tendensius, saya yakin tak ada maksud lebih jauh.

Namun, entah kebetulan atau tidak, faktanya satu dekade kemudian Esia terancam jadi produk sia-sia. Sejak beberapa tahun terakhir, sinar Bakrie Telecom terus meredup. Masa depan operator lokal yang bermain di ranah CDMA ini terus dispekulasikan, seiring dengan merosotnya kinerja perusahaan. Buntutnya, merek Esia kini sudah nyaris tak terdengar, tenggelam oleh hiruk pikuk brand-brand lain yang tetap eksis ditengah kerasnya kompetisi.

Memang sejak beberapa tahun terakhir, Bakrie Telecom tak mampu lepas dari kinerja negatif. Tengok saja, ada triwulan III-2014, anak perusahaan Grup Bakrie itu mencatat rugi Rp 2,2 triliun. Kerugian itu bengkak 46% dibandingkan kerugian di tahun sebelumnya pada periode yang sama Rp 1,5 triliun. Labanya pun turun sejalan dengan berkurangnya pendapatan bersih dari Rp 1,5 triliun menjadi hanya Rp 1 triliun.

Buntut dari kerugian itu, Bakrie Telecom dan afiliasinya dituntut oleh para investor pemegang obligasi US$ 380 juta ke pengadilan New York. Gugatan ini membuat manajemen Bakrie Telecom akhirnya menggelar pertemuan darurat dengan para kreditur di Singapura (30/12/2014).

Di luar urusan utang yang membelit leher perusahaan, Bakrie Telecom diketahui telah menjalin kerjasama jaringan dengan Smartfren Telecom pada November 2014. Kesepakatan tersebut diharapkan dapat menekan operational expenditure (Opex) yang ditanggung oleh Bakrie Telecom. Namun di sisi lain, mengharuskan frekuensi yang dimilikinya, yakni frekuensi 850 MHz (sama dengan Smarfren) dialihkan untuk Smartfren Telecom sebagai penyedia jaringan. Dengan kata lain, demi menyehatkan posisi keuangan, Bakrie Telecom terpaksa harus menggadaikan asetnya yang paling berharga, yakni frekuensi.

Saat ini kedua perusahaan masih terus mengkaji pola kerjasama yang paling pas. Namun apa pun opsi yang dipilih, baik merger, penggunaan frekuensi bersama, atau swap share, nama Bakrie Telecom kemunginan besar akan hilang dari peredaran. Jika benar-benar punah, Bakrie Telecom merupakan operator CDMA kedua yang harus lempar handuk, setelah Mobile 8 yang diakuisisi oleh Smart Telecom pada 2010 melalui skema swap share.

Nafas Kuda Smartfren
Berbeda dengan Bakrie Telecom, Smartfren Telecom masih bernasib lebih baik. Meski sebenarnya juga sudah ‘ngos-ngosan’, anak usaha Grup Sinar Mas ini, tetap bertahan meski terus didera kerugian. Tanpa menyebut berapa persisnya nilai kerugian, hingga akhir 2013 rapor Smart Telecom masih jeblok. Pun demikian, perusahaan yang berkantor pusat di jalan Sabang, Jakarta, berharap bisa mengakhiri kerugian keuangan itu dan mulai mengecap keuntungan mulai kuartal ke II-2014.

Dalam satu kesempatan, Direktur Keuangan Smartfren Antony Susilo sedikit buka-bukaan soal kinerja perusahaannya. Menurutnya, sejak Smart Telecom dan Mobile 8 Telecom bergabung menjadi Smartfren pada 2010, perusahaan mengalami pertumbuhan yang signifikan. Kerugian yang dialami juga terus menurun dari tahun ke tahun.

Pada 2011, laba perusahaan sebelum biaya bunga, pajak, amortisasi, dan depresiasi (EBITDA) masih minus Rp 1,171 triliun. Namun jumlah EBITDA minus itu terus menurun pada 2012 menjadi Rp 543 miliar, lalu di tahun 2013 menjadi Rp 100-150 miliar.

Dari sisi pendapatan, Smarftren juga mengalami pertumbuhan yang signifikan. Pendapatan di 2013 mencapai sekitar Rp 2,4 triliun atau tumbuh hampir 50 persen dibandingkan 2012 senilai Rp 1,649 triliun. Pertumbuhan sebesar itu, jauh melebihi operator lain yang rata-rata tumbuh 8- 9%, kecuali Telkomsel yang masih meraih double digit, 11%.

Dengan pertumbuhan yang jauh melebihi pertumbuhan rata-rata industri, Smarftren yang tak ingin kalah dalam pertarungan dengan the big three (Telkomsel, Indosat, XL), pada 2014 berani mengalokasikan investasi tak kurang dari 100 juta dolar AS. Capex sebesar itu digunakan untuk membangun jaringan, termasuk membangun 6.500 BTS sampai akhir 2014.

Meski belum meraih keuntungan, Smartfren sangat optimis bahwa suatu saat perusahaan akan mampu mengimbangi tiga besar operator yang saat ini masih menguasai pasar. Pasalnya, pertumbuhan layanan data yang merupakan masa depan operator, telah menyumbang sekitar 70% pendapatan perusahaan.

Itu sebabnya, agenda besar Smartfren sejak 2014 adalah menggelontorkan lebih banyak smartphone Android dan meningkatkan kualitas layanan data (internet). Keseriusan Smarfren membangun merek dagang Andromax, terbukti sukses menambah jumlah pengguna dan mengatasi masalah keterbatasan jumlah perangkat CDMA di pasar.

Tercatat, sepanjang 2014, Smartfren berhasil mem-bundling empat juta ponsel pintar Andromax. Meroketnya penjualan Andromax tak hanya menjadikannya sebagai smartphone terbanyak kedua setelah Samsung yang sukses di jual di pasar domestik, namun juga turut mendongkrak pertumbuhan pelanggan Smarfren menjadi 15 juta pengguna. Meningkat signifikan dibanding 11,3 juta pada 2013.

Demi mempertahankan momentum pertumbuhan sekaligus menantang hegemoni the big three, pada 2015 Smarfren mengusung tiga agenda besar. Pertama, menuntaskan proses migrasi dari 1.900 MHz (yang saat ini digunakan) ke 2.300 MHz atau 2,3 GHz. Dengan frekuensi baru tersebut, Smartfren mau tak mau harus beralih ke layanan 4G. Kedua, menyediakan smartphone 4G berharga murah dengan pola seperti Andromax. Ketiga, memperluas cakupan layanan 4G ke 10 kota-kota besar sekaligus di pulau Jawa pada semester kedua tahun ini.

Untuk menggelar layanan internet cepat ini Smartfren menggandeng Nokia dan ZTE sebagai vendor jaringan dengan nilai kontrak sebesar USD400-500 juta. Nokia sendiri akan berperan pada pembangunan jaringan di wilayah barat sedangkan ZTE memegang wilayah timur.

Selain itu, Smartfren yang bisa disebut sebagai satu-satunya operator CDMA yang mampu bertahan, juga akan menambah BTS nya di seluruh indonesia dari sebelumnya 6000 BTS yang dimiliki hingga 10.000 BTS tahun ini.

Langkah Smartfren yang punya nafas kuda, layak diapresiasi. Seperti halnya XL yang telah berani mengakuisisi Axis, Smartfren menjawab tantangan regulator agar operator bersedia untuk melakukan konsolidasi, demi menyehatkan struktur industri yang kelewat liberal.

Dalam berbagai kesempatan Menkominfo Rudiantara, menilai empat perusahaan operator selular di Indonesia sebagai jumlah ideal. Saat ini operator di Indonesia masih cukup banyak membuat industri telekomunikasi terlalu ramai dan tidak sehat. Strategi yang ditempuh, baik merger atau akuisisi, bukan lagi pilihan melainkan keharusan. Tanpa bermaksud mengecilkan operator gurem lainnya, yakni Three (yang kini senyap), keberanian dan strategi bisnis yang telah ditempuh Smarfren, menjadikan operator ini penantang serius the big three di era data yang kini tengah hype.

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU