Selular.id – Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) resmi membekukan sementara Tanda Daftar Penyelenggara Sistem Elektronik (TDPSE) milik TikTok Pte. Ltd.
Langkah ini diambil setelah TikTok dinilai tidak dapat memenuhi permintaan data lengkap dari pemerintah.
Meski izin operasionalnya dibekukan, layanan TikTok dipastikan tetap dapat diakses oleh pengguna di Indonesia seperti biasa.
Juru Bicara TikTok menyampaikan pernyataan resmi menanggapi pembekuan ini.
Perusahaan menyatakan menghormati hukum dan regulasi di negara tempat mereka beroperasi.
“Kami bekerja sama dengan Komdigi untuk menyelesaikan isu ini secara konstruktif, sekaligus terus berkomitmen untuk melindungi privasi pengguna serta memastikan platform kami aman dan bertanggung jawab bagi komunitas TikTok di Indonesia,” ujar Juru Bicara TikTok, (3/10/2025).
Alexander, perwakilan dari Komdigi, menjelaskan bahwa meskipun status TDPSE TikTok dinonaktifkan sementara, masyarakat tidak akan merasakan dampak langsung.
“Selama pembekuan (TDPSE), layanan TikTok masih dapat digunakan masyarakat, meski secara hukum statusnya non-aktif sebagai PSE terdaftar,” jelas Alexander dalam keterangan yang diterima pada Sabtu (4/10/2025).
Ia menambahkan bahwa TikTok telah melakukan komunikasi dan koordinasi intensif untuk memberikan solusi konstruktif guna memenuhi kewajibannya.
Penyebab Pembekuan Izin TikTok
Pembekuan sementara TDPSE TikTok bermula dari ketidakmampuan platform tersebut memberikan data yang diminta Komdigi.
Data yang diminta mencakup informasi traffic, aktivitas siaran langsung (live streaming), serta data monetisasi, termasuk jumlah dan nilai pemberian gift (hadiah) selama siaran.
Komdigi telah memanggil TikTok pada 16 September 2025 untuk memberikan klarifikasi langsung mengenai temuan tersebut.
TikTok diberi tenggat waktu hingga 23 September 2025 untuk menyampaikan data secara lengkap.
Namun, melalui surat resmi bernomor ID/PP/04/IX/2025 tertanggal 23 September 2025, TikTok menyatakan tidak dapat memenuhi permintaan data tersebut.
Alasan yang dikemukakan adalah kebijakan dan prosedur internal perusahaan yang membatasi penyerahan data tertentu.
Menurut Alexander, sikap TikTok yang tidak kooperatif ini melanggar Pasal 21 ayat (1) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.
Pelanggaran inilah yang menjadi dasar hukum bagi Komdigi untuk membekukan sementara izin TDPSE milik TikTok.
Alexander menegaskan, “Jika kewajiban ini dipenuhi, status pembekuan dapat segera dipulihkan.”
Baca Juga:
Dugaan Monetisasi Konten Ilegal
Alexander mengungkapkan latar belakang permintaan data Komdigi kepada TikTok.
Pihaknya menemukan dugaan monetisasi aktivitas siaran langsung dari akun-akun yang terindikasi terlibat dalam perjudian online.
Aktivitas ini terpantau saat terjadi unjuk rasa pada periode 25-30 Agustus lalu.
Temuan inilah yang mendorong Komdigi untuk meminta data lengkap mengenai mekanisme monetisasi dan aktivitas live streaming di platform TikTok.
Permasalahan data dan kepatuhan platform digital terhadap regulasi lokal bukan hal baru di Indonesia.
Sebelumnya, Komdigi juga aktif mengkaji berbagai kebijakan untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih tertib, termasuk usulan kebijakan satu orang satu akun media sosial.
Isu monetisasi konten digital juga semakin relevan seiring maraknya penggunaan berbagai metode pembayaran digital, termasuk layanan PayLater dan fintech lainnya.
Komitmen TikTok untuk berkoordinasi dengan Komdigi menunjukkan keseriusan platform dalam menyelesaikan masalah ini.
Pernyataan resmi mereka menekankan pentingnya kolaborasi dengan pemerintah setempat sembari menjaga komitmen terhadap keamanan dan privasi pengguna.
Pendekatan semacam ini sejalan dengan tren global di mana regulator semakin ketat mengawasi operasional platform digital besar.
Dampak dan Proses Penyelesaian
Pembekuan TDPSE TikTok kali ini berbeda dengan pemblokiran layanan sepenuhnya.
Pengguna TikTok di Indonesia masih dapat mengakses semua fitur dan konten seperti biasa.
Status pembekuan lebih berdampak pada aspek legalitas operasional TikTok di Indonesia, bukan pada akses pengguna.
Situasi ini mirip dengan kasus di negara lain dimana regulator mengambil tindakan tegas terhadap platform teknologi besar, seperti yang terjadi dalam perlawanan terhadap monopoli grup Meta di Uni Eropa dan AS.
Proses penyelesaian sengketa ini sepenuhnya bergantung pada kemampuan TikTok memenuhi kewajiban yang diminta Komdigi.
Alexander menegaskan bahwa pembekuan bersifat sementara dan dapat dicabut kapan saja setelah TikTok memberikan data yang lengkap.
Mekanisme semacam ini memberikan ruang bagi kedua belah pihak untuk menemukan titik temu tanpa harus mengganggu pengalaman jutaan pengguna TikTok di Indonesia.
Koordinasi antara TikTok dan Komdigi masih terus berlangsung.
Kedua pihak dikabarkan sedang mencari formula terbaik untuk memenuhi kepentingan regulasi tanpa mengorbankan privasi pengguna dan operasional bisnis.
Penyelesaian konstruktif seperti ini diharapkan dapat menjadi preseden baik bagi hubungan antara platform digital global dengan regulator di Indonesia.
Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa meski ada ketegangan regulasi, komunikasi antara TikTok dan pemerintah Indonesia tetap berjalan positif.
Kedua belah pihak sama-sama memiliki kepentingan untuk menjaga keberlanjutan operasional platform di Indonesia, salah satu pasar digital terbesar di dunia.
Penyelesaian isu ini akan menjadi ujian penting bagi model regulasi platform digital di era modern.