Kamis, 9 Oktober 2025
Selular.ID -

Google Didenda Rp 56 Triliun, Terbesar Kedua Sepanjang Sejarah Uni Eropa

BACA JUGA

Selular.ID – Bayangkan sebuah perusahaan teknologi yang begitu mendominasi hingga mampu mengendalikan hampir seluruh rantai bisnis iklan digital di dunia. Itulah Google, yang baru saja diganjar denda sebesar 2,95 miliar euro atau setara Rp 56,6 triliun oleh Komisi Uni Eropa.

Denda ini bukan hanya angka fantastis, tetapi juga menjadi yang terbesar kedua dalam sejarah antimonopoli Uni Eropa. Sebuah pukulan keras bagi raksasa teknologi yang selama ini dianggap “too big to fail”.

Kasus ini berawal dari penyelidikan panjang sejak 2021, di mana regulator Eropa menemukan praktik tidak sehat dalam industri periklanan digital atau adtech.

Google dituduh menyalahgunakan dominasinya dengan memprioritaskan layanan miliknya sendiri dan secara sistematis menyingkirkan pesaing. Bukan kali pertama perusahaan ini berhadapan dengan otoritas antimonopoli, namun skala denda kali ini benar-benar membuat dunia terhenyak.

Lantas, apa sebenarnya yang dilakukan Google hingga pantas menerima denda sebesar itu? Bagaimana dampaknya terhadap ekosistem digital global? Dan yang paling penting, apakah hukuman ini akan mengubah cara Google berbisnis?

Menguak Praktik Monopoli di Balik Layar Iklan Digital

Komisi Uni Eropa dalam pernyataan resminya menjelaskan bahwa Google mengendalikan berbagai alat penting dalam rantai bisnis iklan digital.

Mulai dari server iklan untuk penerbit hingga platform lelang iklan (ad exchange), semuanya dikuasai oleh perusahaan berbasis Mountain View ini. Alih-alih membuka ruang persaingan sehat, Google justru memberi keistimewaan pada produknya sendiri seperti AdX.

Praktik ini membuat iklan dari kompetitor sulit tampil, yang pada akhirnya meningkatkan biaya pemasangan bagi pengiklan dan mengurangi potensi pendapatan bagi penerbit. Wakil Presiden Eksekutif Komisi Eropa, Teresa Ribera, dengan tegas menyatakan bahwa konsumen di Eropa ikut menanggung beban melalui harga barang dan layanan yang lebih tinggi.

“Google menyalahgunakan kekuatannya dengan mengutamakan layanan iklan miliknya sendiri, merugikan pesaing, pengiklan, penerbit, hingga konsumen,” ujarnya.

Kasus ini mengingatkan kita pada berbagai insiden serupa di berbagai negara. Seperti ketika deretan negara lain yang juga mendenda Google karena monopoli dagang, atau saat Rusia mendenda Google hingga Rp3,3 triliun karena melanggar aturan. Tampaknya, masalah dominasi pasar telah menjadi persoalan global yang terus menghantui Google.

Denda dan Ultimatum: Perubahan atau Pemisahan Bisnis

Selain denda yang sangat besar, Komisi Uni Eropa juga memberi waktu 60 hari bagi Google untuk menghentikan praktik monopoli tersebut dan mengajukan rencana perbaikan. Yang menarik, regulator bahkan mengancam akan mengambil langkah lebih keras jika rencana yang diajukan dianggap tidak memadai.

Teresa Ribera secara eksplisit menyebut opsi pemisahan unit bisnis adtech Google sebagai solusi paling efektif.

“Pada tahap ini, satu-satunya cara untuk benar-benar mengakhiri konflik kepentingan adalah pemisahan struktural, seperti menjual sebagian bisnis adtech,” tegasnya. Pernyataan ini menunjukkan betapa seriusnya Uni Eropa dalam menangani masalah dominasi pasar digital.

Ancaman pemisahan bisnis ini bukan hal sepele. Bagi Google yang telah membangun ekosistem iklannya selama puluhan tahun, memisahkan unit adtech bisa berarti kehilangan sumber pendapatan utama. Bagaimana perusahaan akan merespons ultimatum ini?

Reaksi Google dan Dampak Global

Google tentu saja menolak tuduhan tersebut. Lee-Anne Mulholland, Vice President dan Global Head of Regulatory Affairs Google, menyatakan bahwa keputusan Komisi “salah” dan perusahaan akan mengajukan banding. “Denda ini tidak adil dan perubahan yang dipaksa justru akan merugikan ribuan bisnis Eropa karena membuat mereka lebih sulit menghasilkan uang,” kata Mulholland.

Yang lebih menarik, putusan ini memantik reaksi dari mantan Presiden AS Donald Trump. Dalam unggahan di Truth Social, Trump menilai langkah Uni Eropa “sangat tidak adil” terhadap perusahaan teknologi Amerika.

Ia menuding Komisi Eropa sengaja membebani perusahaan-perusahaan AS dengan denda dan pajak tambahan, bahkan mengancam akan mengambil langkah hukum untuk membatalkan keputusan tersebut. Ancaman balasan Trump terhadap Uni Eropa menunjukkan bagaimana isu ini telah menyentuh sensitivitas geopolitik antara Amerika Serikat dan Eropa.

Pertanyaannya sekarang: apakah denda sebesar Rp 56 triliun akan efektif mengubah perilaku Google? Ataukah ini hanya menjadi bagian dari biaya operasional bagi raksasa teknologi yang pendapatannya mencapai ratusan miliar dolar per tahun?

Yang pasti, keputusan Uni Eropa ini menandai babak baru dalam regulasi teknologi global. Otoritas di seluruh dunia kini semakin berani mengambil tindakan tegas terhadap praktik monopoli digital. Bagi pelaku industri, ini adalah sinyal bahwa era dominasi tanpa batas mungkin akan segera berakhir.

Bagaimana dengan konsumen? Dalam jangka pendek, mungkin tidak ada perubahan signifikan yang langsung terasa. Namun dalam jangka panjang, persaingan yang lebih sehat di industri adtech bisa berarti pilihan yang lebih banyak, harga yang lebih kompetitif, dan inovasi yang lebih cepat. Setidaknya, itulah harapan dari regulator Uni Eropa.

Google kini berada di persimpangan jalan. Perusahaan harus memilih antara mempertahankan model bisnis yang telah memberinya keuntungan besar atau beradaptasi dengan tuntutan regulasi yang semakin ketat. Apapun pilihannya, dampaknya akan terasa di seluruh ekosistem digital global.

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU