Jumat, 1 Agustus 2025

4 Program Strategis Budi Arie yang Mangkrak, Jadi Warisan yang Harus Dituntaskan Meutya Hafid

BACA JUGA

Uday Rayana
Uday Rayana
Editor in Chief

Inilah keempat program Budi Arie yang bisa dibilang sekedar gimmick belaka.

  1. Pemberian Insentif 5G

Dalam upaya mengejar kecepatan internet hingga 100 Mbps, sekaligus memperluas jaringan internet ke seluruh Indonesia, Budi Arie menjanjikan insentif 5G kepada operator selular.

“Jadi negara investasi dulu tidak usah bayar sehingga bisa lebih murah operator mau melakukan investasi dalam jumlah yang besar,” kata Budi di Jakarta, Kamis (28/09/2023).

Dengan pemberian insentif 5G, Budi menargetkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk peringkat ke-4 dunia dapat menempati peringkat ke-10 di dunia dalam penyelenggaraan jaringan 5G.

Tentu saja, iming-iming insentif 5G disambut baik oleh operator selular.

Sejak lama operator telah lama meminta kepada pemerintah agar mau memberikan insentif, mengingat  industri telekomunikasi yang kini tengah suffer.

Tercermin dari pertumbuhan yang kini mentok single digit, sejak beberapa tahun terakhir. Meski pun trafik komunikasi terutama data, terbang tinggi.

Alhasil, untuk memuluskan rencana tersebut telah dibentuk task force bersama, antara operator selular dan Kominfo.

Sayangnya, hingga lengser dari kursi Menkominfo, rencana pemberian insentif 5G yang dijanjikan oleh Budi Arie masih belum menemukan titik terang hingga kini.

Untuk diketahui, demi mendorong keberlanjutan industri, operator selular diketahui meminta penurunan BHP spektrum lama sebesar 20%.

Sedangkan untuk BHP spektrum baru, operator meminta kepada pemerintah agar diberikan grace period antara 3 hingga 4 tahun.

Di sisi lain, insentif 5G yang diminta operator dapat berdampak pada target PNBP yang sudah dipatok Kemenkominfo. Sehingga berpotensi mengurangi setoran kepada pemerintah.

Baca Juga: Budi Arie Klaim Selesaikan 4 Tugas Penting Menkominfo, Tapi Ada Catatan Minus

Untuk diketahui, kementerian yang dipimpin Budi Arie menargetkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada 2024 sebesar Rp 25,58 triliun. Target itu meningkat sebesar Rp 471,21 miliar dibandingkan 2023.

Ironisnya, sebagian besar dari PNBP itu berasal dari lelang spektrum yang dibayarkan operator pemenang lelang. Padahal operator kini tengah ‘kembang kempis’.

Dengan pertumbuhan yang tak lagi mewah, wajar jika operator mendesak Kominfo agar mengubah mekanisme lelang yang sesuai dengan kondisi industri saat ini. Baik dari sisi harga yang lebih terjangkau maupun metode pembayaran.

Namun karena menyangkut kepentingan PNBP, janji Budi Arie hanya sebatas janji. Tak ada sepotong pun insentif 5G, seperti yang dijanjikan. Operator pun tidak punya pegangan hingga kini.

Wajar jika penetrasi 5G masih sangat terbatas, karena operator enggan menambah investasi. Apalagi berbagai use case yang diusung oleh teknologi 5G belum menguntungkan operator.

  1. Lelang Spektrum 700 Mhz

Pasca tuntasnya program ASO (analog switch-off), Budi Arie menjanjikan spektrum frekuensi 700 Mhz untuk 5G sudah bersih dan siap dilelang.

“Saat ini, kita sudah menyelesaikan program ASO sehingga spektrum frekuensi 700 Mhz (low band) untuk 5G sudah bersih dan dapat dilelang. Demikian juga dengan spektrum 26 GHz (mid band) atau millimeter wave spectrum,” kata Budi Arie.

Hal itu disampaikan Budi Arie dalam “The 2nd MASTEL’s 5G Summit – Acceleration of 5G Network and AI Towards Indonesia as Digital Economy Country” di Jakarta, Kamis (21/12/2023).

Budi Arie mengatakan pihaknya berupaya agar spektrum frekuensi tersebut dapat dilelang atau dialokasikan kepada para operator selular dalam waktu yang tidak terlalu lama, dengan mempertimbangkan kelayakan bisnis.

Pemerintah, tambah Budi, akan terus mempercepat implementasi 5G, melalui penyediaan dan pemerataan infrastruktur digital dari hulu hingga hilir.

“Semua upaya tersebut ditujukan agar masyarakat dapat menikmati layanan internet yang lebih cepat”, ujar Budi Arie.

Merujuk pada data Open Signal 2023, kecepatan download internet di Indonesia rata-rata hanya berkisar 15 hingga 22 Mbps.

Dengan adanya teknologi 5G, pengguna dapat merasakan kecepatan yang meningkat 3 sampai 4 kali dibandingkan kecepatan 4G saat ini dengan latensi rendah.

Baca Juga: Target 100 Hari Menteri Komdigi, Meutya Hafid Janjikan Ini

Namun, lelang frekwensi 700 Mhz yang ditargetkan dapat secepatnya dijalankan, ternyata banyak menemui hambatan.

Pasalnya, operator lebih memilih bersikap “wait and see”. Ini berbeda dengan lelang-lelang sebelumnya yang selalu disambut antusias.

Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa operator tidak terlalu bernafsu mengikuti lelang spektrum 700 Mhz dan 26 Ghz.

Ketiga faktor tersebut adalah pertama, BHP (Biaya Hak Penggunaan) frekwensi yang sudah kelewat mahal.

Kedua, pemanfaatan spectrum 700 Mhz yang lebih condong ke 4G bukan 5G.

Ketiga, kewajiban operator membangun jaringan broadband desa-desa terluar jika memenangkan lelang frekwensi 700 Mhz. Sehingga menambah beban investasi di tengah menurunnya kinerja operator.

Belakangan, operator secara resmi meminta kepada pemerintah untuk menunda lelang spektrum 700 Mhz hingga akhir Desember 2024, setelah terbentuknya pemerintahan baru.

Alhasil, seperti halnya rencana pemberian insentif 5G, hingga lengser dari jabatan Menkominfo, program lelang frekwensi 700 Mhz dan 26 Ghz yang diusung Budi Arie tidak pernah kesampaian.

  1. Upaya Memangkas Regulatory Charges

Di sela-sela “AI Banking Day” di Jakarta (9/9/2024), Direktur dan Chief Business Officer Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) Muhammad Buldansyah, memprediksi bahwa pertumbuhan industri telekomunikasi khususnya selular sampai akhir 2024 masih sama dengan 2023, yaitu 5%.

Hal ini dipicu oleh tidak signifikannya penambahan jumlah pelanggan baru dan ketatnya persaingan antar operator selular.

Selain pasar yang telah jenuh dan persaingan yang memicu rendahnya tarif data/internet, pertumbuhan operator yang stagnan, juga dipicu oleh tetap tingginya beban regulatory charges.

GSMA, asosiasi operator selular global menyebutkan komposisi rata-rata BHP terhadap pendapatan di Asia Pasifik mencapai 8,7%, sedangkan secara global hanya sebesar 7%.

Sementara di Indonesia, regulatory charges yang dibayarkan operator kepada pemerintah, terutama dalam bentuk lisensi spectrum dan dana USO terbilang tinggi, melebihi indeks global.

Dalam catatan ATSI, regulatory charges rata-rata berkontribusi 20% sampai 25% dari total biaya operasional (opex).

Otomatis beban BHP di Indonesia yang terlampau tinggi, sudah masuk pada fase tidak mendukung keberlanjutan industri.

Itu sebabnya, penggelaran jaringan 5G menjadi mandek, karena beban investasi yang sangat besar yang harus ditanggung oleh operator.

Menyadari hal itu, Budi Arie bersedia untuk memberikan solusi. Terdapat dua opsi yang ditawarkan untuk mendorong empat operator selular tersisa saat ini: Telkomsel, Indosat, XL Axiata, dan Smartfren untuk menggelar teknologi terbaru.

Insentif tersebut berupa keringanan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi ataupun rumusan perhitungan ongkos regulator (regulatory charges) yang diperbaharui.

Budi mengakui, industri telekomunikasi kini sedang berdarah-darah karena regulatory charges yang terlalu besar.

Baca Juga: Menkomdigi Meutya Hafid Punya Tugas Berat, Kominfo Sebelumnya Gagal Lakukan

Padahal di sisi lain, Indonesia membutuhkan penggelaran jaringan yang lebih masif dan merata. Agar layanan internet dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Meski menyadari bahwa regulatory charges terlampau tinggi, Kominfo tidak bisa sendirian dalam memutuskan pengurangan beban biaya yang mencekik operator telekomunikasi itu.

Kominfo beralibi, penerapan regulatory charges terkait dengan PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak). Dengan demikian, untuk setiap perubahan skema harus mendapat persetujuan dari lembaga lain, terutama Kementerian Keuangan.

Sayangnya, seperti halnya lelang spektrum 700 Mhz dan pemberian insentif 5G, rencana Budi Arie untuk mengurang beban regulatory charges yang membuat pertumbuhan industri selular tidak sedang baik-baik saja, juga tidak pernah terwujud.

Saat menghadapi Kementerian Keuangan dan DPR, Budi Arie tampaknya tidak berani pasang badan. Lagi-lagi operator selular hanya diberi “angin surga”.

Rencana pemangkasan regulatory charges, hanya pepesan kosong belaka.

Baca Juga: 5 Kegagalan Menkominfo Budi Arie di Akhir Jabatan, Ini Paling Krusial

  1. Pengaturan Pemain-pemain OTT

Sejak lama para pemain OTT (Over The Top), terutama milik perusahaan teknologi global, dianggap sebagai parasit bagi operator selular.

Meski layanan OTT berdampak pada kenaikan trafik, namun para pemain tersebut hanya menumpang di jaringan yang dibangun operator, tanpa ikut berkontribusi misalnya dalam pembayaran BHP frekwensi.

Saat ini perkembangan bisnis telekomunikasi telah terdisrupsi oleh perusahaan OTT yang membuat trafik voice dan SMS menurun.

Perusahaan telekomunikasi hanya seperti penyedia pipa (dumb pipe) dengan Capex dan Opex yang besar. Sementara OTT berselancar di atas jaringan yang dibangun perusahaan telekomunikasi, tanpa sepeser pun keluar uang.

Penyedia OTT kakap, seperti WhatsApp, Facebook, X (dulu Twitter), Instagram, TikTok, Youtube, dan lainnya, memang membayar pajak karena terdaftar sebagai PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik), sesuai ketentuan regulasi. Namun mereka tidak membayar PNBP seperti operator telekomunikasi.

Padahal, operator kini sangat terbebani oleh tingginya regulatory charges yang mencapai 12%. Lebih besar dari beban rata-rata global yang hanya sekitar 7%.

Selain itu, layanan WhatsApp juga mirip dengan layanan yang ditawarkan oleh operator, seperti telepon, video call dan kirim pesan pendek.

Alhasil, pengguna depan cepat beralih ke layanan yang ditawarkan oleh WhatsApp karena tidak mengeluarkan biaya.

Polemik OTT yang telah mendisrupsi industri telekomunikasi dan membuat pertumbuhan operator menjadi stagnan, juga menjadi perhatian Budi Arie.

Dalam RDP (Rapat Dengar Pendapat) di Komisi 1 DPR yang membahas perizinan Starlink di Indonesia, Budi Arie menilai aplikasi WhatsApp lebih berbahaya dari Starlink soal keamanan data konsumen.

“Memang ini OTT harus kita atur, terutama WhatsApp. Jadi kalau saya mau katakan, lebih bahaya mana Starlink (sama WhatsApp), lebih bahaya WhatsApp,” kata Budi Arie, Senin (10/6/2024).

Budi menjelaskan, saat ini pengguna WhatsApp sudah menyentuh angka 250 juta pengguna di Indonesia.

Jumlah itu lebih banyak dari pengguna Starlink, layanan internet berbasis satelit milik Elon Musk yang juga telah masuk ke Indonesia.

“Jadi kalau mau ngomong kedaulatan data, sudah 250 juta orang Indonesia (menggunakan) WhatsApp, Starlink baru 1.000 2.000, WhatsApp 250 juta (pengguna),” lanjut Budi Arie.

Untuk itu, Budi pun meminta agar diskusi untuk mengatur regulasi platform OTT ini segera dilakukan bersama Komisi I.

“Makanya soal OTT diatur, kita perlu diskusi khusus. Ini soal kedaulatan, termasuk soal mindahin data centernya dia nih ke Indonesia,” tuturnya.

Namun lagi-lagi, hingga lengser dari kursi Menkominfo, pengaturan OTT hanya sekedar gimmick dari Budi Arie. Tak pernah ada pembahasan khusus lanjutan, mengenai polemik OTT.

Hingga kini OTT global bebas melenggang, tanpa ada payung hukum atau aturan khusus. Terutama kebijakan mengatur kesetaraan dengan penyelenggara telekomunikasi lainnya di Indonesia.

Padahal kehadiran OTT telah banyak merugikan operator selular, karena hilangnya pendapatan.

Tengok saja langkah WhatsApp yang juga menawarkan aplikasi khusus untuk bisnis yang ingin menggunakan platform tersebut untuk berkomunikasi dengan konsumen.

Di sisi lain, pemerintah sejauh ini belum mengambil kebijakan tegas terhadap keberadaan OTT.

Hal ini sangat disesalkan mengingat OTT seperti WhatsApp tidak membangun infrastruktur telekomunikasi dan tidak memiliki kontribusi yang jelas bagi negara.

Sehingga harus ada aturan yang membuat layanan OTT seperti WhatsApp ini bekerja sama dengan operator telekomunikasi sehingga terjadi pembagian pendapatan secara adil.

Sejatinya Indonesia bisa meniru kebijakan yang diterapkan negara-negara lain dalam menghadapi OTT agar tidak terjadi ketimpangan dengan operator selular.

Austria, Prancis, Hungaria, Italia, Polandia, Portugal, Spanyol, Turki dan Inggris, adalah sebagian negara yang telah menerapkan pajak digital yang sangat besar terhadap para penyelenggara OTT.

Kebijakan itu dibarengi dengan regulasi yang ketat. Terutama dalam melindungi data pribadi dan perlindungan anak.

Platform yang tidak menjalankan ketentuan mendapat sanksi berupa denda uang yang besar hingga ancaman pemblokiran.

Pembayaran pajak digital juga menjadi kompensasi dari OTT yang telah menumpang di jaringan milik operator selular. Sekaligus meningkatkan pendapatan dari sektor digital, di mana para pemain global telah mendominasi pasar.

Baca Juga: Menkomdigi Meutya Hafid Janjikan Internet yang Berkeadilan Untuk Indonesia

- Advertisement 1-

BERITA TERKAIT

BERITA PILIHAN

BERITA TERBARU